Satpam Baru

Pagi tidak terasa dingin sepertinya. Aku melangkah ke halaman pun tak ada semilir udara pagi. Beruntung bunga wijaya kusuma sudah mulai muncul kuncupnya. Bunga yang dapat membangkitkan semangat. Semangat untuk bangun, semangat untuk menanti pukul dua belas demi menyaksikan kelopaknya mekar.

Tali sepatu kets kujalin sebelum melangkah keluar pagar rumah. Tapi, hei! Di pos sepertinya ada sosok baru. Langkah berbelok ke bangunan berukuran  2x3 meter.

"Pagi, Mbak Vina." Orang baru dengan kepala plontos menyapa yakin, seakan sudah lama kenal aku. 

"Pagi," jawabku singkat. Tatapan menyelidik sosok tinggi tegap itu tertangkap oleh retina si plontos. Lengkuk di dada yang terbalut kaos warna armi tanpa krah pasti bak roti bantal jika telanjang dada.
Ah! Pikiran ngawur.

Laki-laki plontos itu tersenyum menyadari ada mata yang menyapu sosoknya. Dan mungkin wajahku pun memerah.

"Kamu masuk kapan?" Aku kira sudah tidak perlu basa-basi lagi.

"Kemarin siang, Mbak."

"Pak Rosyad mana?" tanyaku.

"Beliau sudah pulang," jawabnya.

Aku mengangguk sambil berlalu dengan langkah bergegas sebelum lari santai. Kenapa papa tidak memberi tahu aku dan mama? Ada situasi genting macam.apa hingga ada penambahan keamanan.

Tiga kali mengitari komplek perumahan cukup membasahi tubuh. Beberapa orang yang bersepeda ontel pun ikut olah raga pagi.

"Pagi, Mbak Vin...."
Aku hapal suara sopran milik mama Oneng. Perempuan satu ini suka dipanggil mami sejak suaminya kerja di luar negeri.

"Mbak, kelihatannya ada satpam baru ya?"

Aku meringis menjawab pertanyaan mami Oneng.

"Memangnya kenapa, Mami?"

"Nggak apa-apa, dia ganteng." Suaranya dilirihkan entah menghindari apa. Semua orang di komplek permahan mega biru sudah hapal tinggah istri pak Marsam ini.

"Mari mami...." Aku menepuk pundak mami Oneng sambil melanjutkan lari santai. Mami melambaikan tangan melihatku menjauh.

Tiba-tiba aku harus menghentikan langkah. Di depan mata terjadi kerumunan massa. Sedianya aku akan berbalik arah saja. Toh mereka bukan urusanku, tapi hati nurani menolak melakukan itu.

Kudekati kerumunan itu. Orang terluar dari kerumunan itu yang paling dekat dengan posisiku adalah seorang lelaki setengah dengan uban mewarnai rambutnya.

"Maaf, Pak, ada apa ya?"

"Anu, Mbak ... Ada laki-laki tergeletak dk tengah jalan sebelum akhirnya diangkat ke tepi," jawab lelaki tua beruban.

Aku merasa wajahku menegang padahal belum melihat. Jantung berdebar hebat. Ada apa ini? Pelan dan sedikit berjingkat aku berusaha mengetahui sosok itu.

Betapa kaget setelah tahu siapa yang tergencet badan truk. Bisik-bisik warga di TKP terdengar bagai sekumpulan lebah. Saking ramainya.

Hei, itu satpam barumu! Lelaki plontos telentang di atas jalan aspal yang baru tadi aku kenal.

Tiba-tiba dadaku sesak ingin tumpah uneg-uneg di dalamnya.

Tidaaaak!

Aku menjerit sekuat tenaga sambil menangis. Semua orang berbalik menatap. Tubuhku terjatuh. Tetapi kemudian sebuah guncangan kecil di tubuh kurasakan.

"Mbak Vin! Mbak Vina ...."

Perlahan kubuka mata, dan lelaki bertubuh tinggi tegap berkepala plontos sedang menahan tubuhku di satu lututnya sambil tangan kekar lelaki itu mengguncang tubuhku.

Ups! Ternyata aku tadi mimpi.

---------------------------

#Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan menulis ODOP7. 

#oktober
#nulisodop7

#OneDayOnePost

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah