Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

#2tahun storial #bnns217

Gambar

Kenanganmu karya : Gendhuk Gandhes

Akhirnya aku menginjakkan kaki kembali di pelataran monumen gagah simbol keperkasaan perjuangan para pejuang negeri ini. Sebuah monumen yang dimulai pembangunannya saat negeri ini memperingati hari kemerdekaan yang ke enam belas. Tanggal 17 Agustus 1961. Aku sengaja memilih hari ini, tanggal 17 untuk menatapnya. Puluhan tahun yang lalu aku menapaki lorong memasuki tugu simbol perjuangan, duduk melingkar bersama orang-orang dan teman-teman dalam satu hati, satu niat, mendengarkan gema suara Sang Proklamator. Bersama menggenggam merah putih. Ketika Kau simpan merah putih di tugu di hadapanku, tidak ada yang mampu mengulikmu. Pimpinan negeri berganti, tapi merah putih masih tenang di dalam sana. Hanya seorang ajudan yang Kau percaya untuk mengetahuinya. Dadaku berdebar, hatiku bergetar, tanganku mengepal kuat. Berdiri tegak menatap iringan Ki Jaga Raksa sang kereta kencana dari Kabupaten Purwakarta disiapkan untuk menyambut bendera pusaka sang merah putih. Bersama sepasukan Tentara Nas

Siapkah Aku Menemuimu Bulan Depan?

Ditulis : Gendhuk Gandhes ° Tak terasa sudah satu warsa kau pergi, Tak terasa satu bulan lagi kau akan kembali, Kembali tidak hanya untukku, Kembali untuk semua yang mengharapkan ampunan-NYA. • Tahun ini kau kembali datang, Seperti biasa membawa semua yang indah dan teduh, Aku masih menunggumu meski dengan iman tercabik, Menunggu yang sebenar-benarnya, Aku ingin selesai sampai akhirnya, • Jika semua berakhir, Mampukah aku berbangga, Mampukah aku meyakini ampunan-NYA, Sedang gejolak alam mulai menjawab satu-satu kegelisahan ini, • Nyaliku bergetar ketika kau diambang pintu, Mampukah mataku menembus niat ikhlasmu, Masihkah hati mampu berpasrah dalam sujudku, • Kedua lututku tersapu semilir tatapanmu, Meluluhkan sendi-sendi diri, Badan ini menjadi tersungkur di setapak kedatanganmu, • Ketika kau masih tegak belum bergerak melangkahi pintu itu, Aku benar-benar tidak mampu menggenggammu, Maafkan aku jika tidak mampu berdiri, Maafkan aku menjadi takut, • Mata

Masih Tentang W

Mobil berhenti di depan kosku. Masih dalam diam kami bersitatap. Sejenak retina mata kami saling menjelajah pikiran masing-masing akan kemungkinan-kemungkinan sikap yang tiba-tiba akan dilakukan. Tidak kulihat W akan bereaksi. Sepertinya kata-kata tertelan rasa enggan memulai satu sama lain. Jeda kuakhiri dengan menepuk benda bundar pengendali mobil dan pintu kubuka. "Hati-hati." Kutinggalkan kata sebelum seluruh badan benar-benar pindah di luar mobil. W mengangguk. Bergeser duduk ke kursi menggantikan posisiku. Pintu tertutup kembali, tapi jendela dia biarkan terbuka. Aku mundur satu langkah memberi ruang untuk mobil melaju. Mobil bergeming. Begitu pun wanita di dalamnya. Kedua tangan kumasukkan saku celana menunggu mobil bergerak. Tetiba W menoleh memandangku yang tidak kupahami maknanya. "Dio ...." W menyebut namaku kemudian terdiam kembali tanpa menjauhkan tatapannya. Aku mendekat, membungkuk, meletakkan kedua tangan di tempat kaca tenggelam. Bibir ku tangku

Mantan

. "Maksud, Mas?!" Kedua alis wanita hitam manis bertubuh subur itu hampir b ertemu di atas hidungnya. Ekspresi seperti itu pasti diiringi degub di dadanya. . "Kita balikan," jawaban laki-laki yang rambut di kepalanya sudah dua warna. . "What?!" Mata Inun mencari kebenaran di tatap laki-laki di depannya. . "Aku ingin kita berkumpul kembali." Kalimat seperti itu memang terdengar indah jika meluncur dari orang yang mencintai kita ... dan kita mencintainya Kulit cokelat wanita bertubuh subur terlihat mengkilat oleh cipratan rembulan yang hampir sempurna. Dua manusia yang lama tak bersua itu saling menatap. "Inung?" Panggilan nama seperti itu membuat angan wanita subur itu menjelajah waktu beberapa saat ke belakang. Ada yang berusaha menariknya untuk menikmati masa itu. Namun, Inun tersentak. Ada tangan dingin menindih telapak tangannya berusaha menyusup di antara jemarinya. Secepatnya dia menjauhkan tangan dari penyusup. . &qu