Risalah Hati (2)

Aku masih tersudut dalam ruanganku sendiri. Seingatku seharusnya kebebasan berpikir dan berpendapat merupakan salah satu obat penyehat jiwa.

Ada yang mengakaiku, cuma pinternya omong doang, omong tok!

Dua hari setelah kata-kata itu masuk dalam otak hingga kini terus berlanjut proses cerna. Mengapa aku dipersalahkan demikian? Akhirnya kesimpulan muncul sepengertianku. Itu pun masih berupa pertanyaan-pertanyaan.

Kesimpulan sementara : aku suka memperhatikan seseorang melalui perkiraan-perkiraan yang muncul di pikiran. Berdasar cerita orang tersebut maupun masukan dari beberapa pihak luar. Kadang juga berdasar pengalaman sendiri.

Yang paling ngeri adalah ketika aku bisa menyimpulkan orang terdekat. Jika orang itu tidak keras kepala, dia hanya mampu hanya mengambil isi dari kata-kataku. Tetapi jika orang itu sombong dan tidak terbuka terhadap pandangan orang lain, apalagi jika orang tersebut mempunyai pikiran persaingan dan merendahkan, maka dia akan menganggapku munafik.

Lihat! Kelakuan dan omonganmu tidak sama. Kamu tidak bisa berlaku seperti yang kamu omongkan. Kamu sok suci. Kamu sok pinter. Memang kamu cenayang?

Berbagai umpatan seperti di atas sudah pasti akan memberondongku. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa tiba-tiba seperti itu. Tiba-tiba tenang lalu berubah gelisah dengan tiba-tiba pula. Berbagai hal tentang ilmu jiwa atau psikologi dan juga kemungkinan-kemungkinan ruqyah aku pelajari. Kali-kali ada makhluk lain yang masuk di tubuh. Tetapi hasilnya nul.

Kemudian berlanjut dengan menyibak sedikit demi sedikit tentang lingkungan terdekat. Lingkungan yang mampu mempengaruhi jiwa. Dan ... sepertinya ada satu hal yang ditemukan yang telah mempengaruhi jiwa.

bersambung ....
--------------------------------

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7

#oktober
#nulisodop7
#tokyo

#OneDayOnePost

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah