Retak - 1

"Leman sudah tahu, Mbak?" 
Laki-laki bertubuh tinggi besar ini biasanya tidak lepas dari canda, tapi kali ini dia pasang mimik serius memandangi selembar kertas lusuh dan selembar lagi di tangan kanan sebuah akta cerai.  

"Tidak, Pak." Aku menatap tajam Pak Ade yang asli Sunda. 

"Mbak Bria tahu reaksi Leman nanti, kan?"

"Tidak." 
Aku memang tidak tahu apa yang akan terjadi pada Leman, tapi pastinya dia tidak akan berani melawan. 

"Leman akan marah besar," kata laki-laki di hadapanku.

"Oh ya?!" Jujur, jawabanku sinis. 

Dua bola mata pak Ade membulat menatapku tajam. 

"Leman tidak pernah diremehkan seperti ini," kata pak Ade. Tatapannya memaku retinaku. 

"Kali ini dia salah bertemu wanita." Kalimat itu sengaja aku ucapakan dengan intonasi tegas. 

Kepala pak Ade meneleng seakan menunggu kalimat berikutnya dari mulutku. 

"Jika Leman marah silakan ajukan tuntutan. Dia akan ketemu saya di pengadilan." Kata-kata selanjutnya benar-benar mewakili rasa sakit dan marah yang selama ini berusaha aku tahan. 

"Kamu serius, Mbak?!" Tatapan pak Ade sedikit meredup. 

"Ya!" 

"Jika Leman melakukan itu, saya juga akan tuntut dia." 

"Maksud, Mbak Bria?" Rasa penasaran terlihat jelas di wajah pak Ade. 

"Tolong sampaikan pada Leman, Pak... Apa yang selama ini seharusnya dia lakukan tapi tidak dilakukan, akan saya tuntut secara perdata. Dan apa yang seharusnya tidak dilakukan, tapi dia lakukan saya tuntut secara pidana." 

-----------------------

Sudah empat tahun mas Kris tenang di tempat NYA. Kata ibu aku harus move on. 

Setelah ku cerna, benar kata ibu, aku harus bangkit dari masa lalu. Ibu adalah ibu. Seorang wanita yang menginginkan anaknya bahagia. Terutama hidup dengan laki-laki yang tulus mencintai dan dapat memberi kenyamanan. Dan ibuku mempunyai alasan mengapa ada  permintaan mive on tersebut. 

"Bria, Janto pernah datang menanyakan alamatmu." 

"Terus Wira, yang sampai sekarang masih sendiri, juga sering main ke sini. Tanya-tanya tentang kamu." 

"Yang anak pak Lurah itu siapa namanya? Yo-- Yo-- Yoyok. Ya! ... Dia jelas-jelas melamarmu." 

Aku seharusnya sudah hapal bagainana ibu, tapi aku ingin selalu positif tentang hal-hal yang diinginkan ibu. Meskipun kalau boleh jujur semua cerita ibu tentang teman-teman sekolahku membuat jengkel. Belum lagi ketika seorang laki-laki berseragam loreng datang ke rumah ibu dengan mengendarai mobil ber-DNA rally warna putih. Sosok mobil sport yang gagah segagah pengemudinya. 


"Dia namanya siapa, Bu?" tanyaku. 

"Ibu lupa menanyakan, Bri." 

"Padahal ibu sudah berbincang lama tapi tidak tahu namanya?" 

"Habisnya dia tanya-tanya tentang kamu dan statusmu yang sendiri dengan satu anak." 

Kan? Seperti itulah ibu. Banyak informasi tentang aku sudah diberikan pada laki-laki yang baru beliau kenal, tapi tidak tanya tentang nama orang yang mencari tahu anak wanitanya. Siapa yang tidak ingin menangis coba? Tapi wanita setengah baya itu ibuku. Yang melahirkan dan mengasuhku hingga dewasa. Aku tidak mampu memarahinya. 


Akhirnya aku mengajukan surat permohonan mutasi ke luar kota dan disetujui pihak perusahaan. Mungkin dengan berjauhan kehidupan batin ibu dan anak bisa sehat. 

Di tempat baru banyak yang tidak tahu statusku yang sebenarnya, karena cincin kawin dari Mas Kris masih melingkar di jari manis. Namun, rahasia demikian tidaklah bertahan lama. Kasak kusuk mulai mampir di telinga. 

"Bria benar janda?" 

"Lihat jari manisnya ada cincin kawinnya kok."

"Tetapi kenapa suaminya tidak pernah menjemput, ya?" 

Kemudian beberapa orang kantor ada yang datang ke rumah mengirim laporan kerja. Ada juga yang minta konsultasi sebelum melakukan tugas survey ke lapangan. Jadilah mulai banyak yang tahu jika papanya Moza sudah dipanggil Sang Khaliq. 

Prinsipku cukup kuat selama ini, tidak akan menjalun hubungan dengan teman sekantor. Apapun jabatannya. 

Namun, Tuhan menggariskan lain untuk babak selanjutnya hidupku. Seorang laki-laki ditugaskan di perusahaanku untuk membuat surat antar bagi produk-produk perusahaannya yang menggunakan jasa pengiriman dengan armada perusahaanku. 

"Bria, ini pak Ade Suparna dan pak Leman Riziq dari PT. Indom Persada," kata pak Riyan. 

Aku berjabat tangan dengan dua tamu sebelum pak Riyan melanjutkan bicara. 

"Bapak-bapak ini menempati ruang baru yang menghadap gudang. Tolong jajaranmu dikondisikan, Bria." 

"Baik, pak Riyan. Alhamdulillah semua sudah kami persiapkan."

"Saya tidak bisa membayangkan jika Bria tidak ada. Dia salah satu kepala divisi yang cukup membantu," kata pak Riyan di depan dua tamunya. 


"Wah, saya sangat terhormat bisa berhubungan dengan divisi bu Bria," kata pak Ade Suparna.

"Terima kasih, Pak, tapi jangan terlalu percaya pak Riyan. Kadang beliau suka terpapar gosip teman-teman." Pak Riyan tertawa bersama dua tamunya. 

Banyak karyawan menyukai gaya pimpinanDia selalu berusaha bersikap akrab dan suja bercanda dengan kepala bagian-kepala bagian. 


"Mbak Bria ini cantik dan pintar. Saya pasti betah ditugaskan di sini," kata pak Leman. Mungkin maksud dia bergurau tapi aku membenci itu. 

Pak Riyan dan pak Ade tertawa. Meskipun terdengar dua tawa berbeda. 

"Pak Riyan, saya permisi kembali ke rungan." Pak Riyan mengangguk sambil mengulurkan tumpukan map padaku. 

"Tinggal tanta tangan, Bri," kata pak Riyan.

"Baik, Pak. Mari Bapak-bapak." Aku meninggalkan ruangan pak Riyan dengan dua tamunya.  

-----------------------------------

"Gus, titipan saya sudah diterima Bu Bria, kan?" 

"Sudah, pak Leman." 

"Tadi bu Bria bertemu saya kok diam saja ya?" 

"Bu Bria memang seperti itu, Pak. Tidak mudah akrab dengan laki-laki."

"Gitu ya?" 

Aku sengaja menghentikan kegiatan untuk mendengarkan percakapan Agus dan pak Leman. Untung ruang foto kopi agak menjorok ke dalam jadi kalau mesin tidak dinyalakan ya tidak ada yang tahu jika di ruangan ada orang. Seperti aku saat ini.

Karyawan di kantor yang tidak pernah terpengaruh dengan gosip-gosip di kantor ya Agus itu. Aku suka cara kerja Agus. Meskipun termasuk orang pendiam, tapi rasa solidaritasnya tinggi. Dia memang tidak pernah mencampuri urusan pribadi orang lain. 

Di lain kesempatan aku juga mendengar tentang pak Leman. Kali ini dari Alif. Karyawan lapangan yang membagi surat jalan untuk para pengemudi. 

"Pak Leman mengatakan mbak Bria itu sombong. Dia penasaran." 

"Hati-hati, mbak Bri ... Pak Leman terkenal suka menggoda perempuan," kata Untung. Ini juga karyawan lapangan. 

Aku hanya menanggapi dengan senyum tipis. Hingga suatu hari Bima dan Alif mampir ke rumah. 

"Mbak Bria, ini laporan surat jalan dua hari. Maaf Mbak, nitip daftar uang jalan ya." 

"Kalian jangan lama perginya."

"Cuma dua hari, Mbak, kamis sudah ngantor di sini lagi. Itu berarti selama dua hari mbak Bria akan selalu bertemu Pak ade dan pak Leman," kata Alif. 

"Ada jalan lain yang bisa menghindari mereka, kan?" 

Bima dan Alif tertawa. 

"Mbak Bria jangan pindah ke gudang baru di Sukabumi ya?" pinta Alif dan Bima.

"Kenapa?" 

"Takut bos baru nggak kayak mbak Bria." 

"Sudah sudah... Mana laporanmu coba." Aku mengalihkan pembicaraan dengan menerima beberapa lembar kertas A4. 

Namun, tetap saja dua rekan kerja itu saling sikut sambil berbisik, saling membuat kode dari anggukan kepala. 

"Eh? Ada apa kalian kok kayak boneka Jepang, menggeleng dan menggangguk?" 

"Anu ... Anu mbak Bria...." Alif terbata. Dia dan Bima bersikap aneh. 

"Kalau ada yang mau dibicarakan ya segera, Bim, Lif."

"Mbak Bria harus hati-hati dengan pak Leman." Alif langsung menyeka keringat di dahi. 

"Bapak satu itu tukang petualang, Mbak. Jadi jangan kaget dengan ketenangan mbak akan membuat pak Leman mencari segala cara demi membuat perempuan memperhatikan dan memujanya." 



___________________
bersambung 


@Achmad Ikhtiar 

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tanyangan menulis ODOP7. 

#oktober 
#nulisodop7 
#tokyo 

#tugas10paragraf

#10paragraf
#cerpen
#cerpenbebas 

#Tantangan 7 
#minggu7

#OneDayOnePost 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah