Cindelaras

        Sumber foto : audiobuku

Pada suatu waktu di masa lalu di Jawa Timur aku hidup dalam lingkungan sebuah kerajaan bernama Jenggala. Perkenalan dengan Kangmas Raden Putra yang tidak sengaja merupakan awal kedekatan kami. Kemudian beliau menjadi sering mengirim hadiah yang ditujukan untukku, bapak serta ibu. Kiriman dari Raden Putra tidak sedikit sehingga selalu aku bagi dengan tetangga, terutama mereka yang hidupnya kurang mampu.

'Kamu harus selalu berbagi, Nduk.'

Berdasar pesan ibu itulah aku kemudian merasa bersyukur ketika Raden Putra datang ke rumah bertemu ibu dan bapak untuk melamar. Dan restu orang tua mengawali niat untuk melakukan hal baik ke depan. 

Langkah pertama, permohonan kuajukan pada Kangmas Raden Putra agar tidak mengadakan pesta berhari-hari. Meskipun permintaanku diiyakan Kangmas Raden Putra, tapi kenyataannya pesta  hedonistik kerajaan diadakan tujuh hari tujuh malam.

“Kangmas, mengapa pesta pernikahan kita diadakan besar-besaran?” tanyaku.

“Sudahlah, Dinda, pesta ini juga mengundang rakyat kok. Sekali tempo kita berbahagia bersama rakyat, kan, nggak apa-apa.” Kangmas Raden Putra memang mempunyai banyak alasan untuk mempertahankan pendapat.

Namun, aku terusik ketika seorang tabib istana berlaku kurang baik terhadap rakyat yang memikul makanan untuk memenuhi kebutuhan pesta pernikahan rajanya. Juga tingkah seorang wanita berkebaya dengan belahan dada terlalu rendah membuat mata lelaki yang ada di sana tidak tenang. Keduanya kompak memerintah orang-orang di dapur dengan membentak dan menendang.

Aku harus bertindak. Minimal menegur wanita itu. Orang-orang sudah menyisihkan waktu dan tenaga untuk membantu agar pesta berlangsung tanpa kekurangan makanan malah diperlakukan kasar. 

Aku dekati seorang bapak-bapak bertubuh kurus memikul pikulan berisi enam buah kelapa hijau yang masih utuh sedang bersandar di salah satu pilar besar di ruang belakang.

“Pak Tua, ini minum dulu. Bapak kelihatan sangat lelah.” Aku mengulurkan botol minum yang tadi kuambil di meja tengah.

“Matur nuwun, Ndoro Putri. Terima kasih.”

Protes kedua aku lontarkan di kesempatan berikutnya.
“Kangmas, aku merasa kurang enak kita menikah demikian mewahnya.”

“Dinda Sayang ... ini moment sekali seumur hidup jadi aku ingin semua menikmati kebahagiaan kita,” jawab Kangmas Raden Putra.

Sebenarnya aku senang mendengar jawaban Kangmas Raden Putra. Pernikahan sekali seumur hidup. Istri manapun akan berbahagia jika mendengar kalimat itu keluar dari mulut suami. Apalagi Kangmas Raden sebagai seorang raja yang biasanya mempunyai banyak istri ternyata mempunyai ucapan yang mampu membuat istri merasa sangat dihargai.

Tetapi ada satu hal yang masih menganggu benakku. Melihat pesta demikian lama pasti memakan biaya tidak sedikit. Belum lagi ada tabib yang berani seperti itu membuat pikiranku menjelajah berbagai kemungkinan. Aku takut ada oknum yang memanfaatkan keadaan dengan menggelembungkan dana untuk memperkaya diri sendiri. Atau ada pungutan liar pada rakyat alih-alih membantu memeriahkan pesta pernikahan raja dan ratu mereka.

“Kangmas, kasihan rakyat jika hasil bumi mereka kirim ke dapur istana saat ini. Nanti keluarga mereka makan apa?” tanyaku.

“Dinda jangan cemas, ada paman Prasojo yang mengatur keuangan kerajaan.” Kangmas mencium keningku mungkin untuk mengusir rasa gelisah di dada.

Ketika berpapasan dengan wanita itu aku merasakan desir aneh yang tidak kumengerti. Cemburu? Bukan. Curiga? Entahlah....

Upacara pernikahan berjalan lancar dan meriah. Di setiap sudut ruangan dipenuhi senyum.

Awal pernikahan merupakan madu bagi setiap pengantin baru. Seperti juga Kangmas Raden memanjakan dan memujaku. Apalagi rakyat yang menyambut aku sebagai istri raja dengan tangan terbuka. Hari-hari begitu indah ku lalui.

Tak terasa pernikahan sudah memasuki tahun kedua, tapi di dalam perutku belum ada tanda-tanda kehidupan. Karena hal itu pulalah Kangmas Raden Putra mengajakku ke suatu tempat yang indah dan nyaman untuk bulan madu kedua. 

“Dinda, kita akan ke taman firdaus untuk bulan madu kedua,” kata Kangmas Raden Putra tersipu.

Kurang lebih tiga minggu acara bulan madu kedua kami berjalan dengan menyenangkan. Kangmas Raden Putra memperlakukanku sangat romantis. Segala perasaan cinta tertumpah selama bulan madu itu.

Sudah beberapa bulan sejak bulan madu tetapi belum juga ada tanda-tanda kehidupan di dalam rahimku. Sejak itu pula Kangmas Raden Putra mulai sering berburu. Tidak pulang berhari-hari. Kadang dua sampai tiga bulan beliau izin berburu. Meskipun hanya membawa seekor rusa saja. Mengapa Kangmas begitu rajin berburu? Aku sempat mencari adakah perilakuku yang membuat beliau tersinggung. Hingga suatu hari aku dipanggil Kangmas di ruang kerjanya.

“Kanjeng Ratu ditunggu Raden,” kata paman Patih.

“Baik, Paman.” Kata-kata Raja adalah perintah bagi rakyatnya, dan aku pun harus mentaati agar kewibawaan Kangmas Raden terjaga. 

“Bibi Inang, tolong semua sayur dan mentimun direbus ya, lalu bumbu pecelnya diuleg.” Hari ini aku ingin sekali makan pecel resep dari ibunda Kangmas Raden. Selesai mendapat anggukan dari bibi Inang aku mengikuti langkah paman Patih.

“Monggo, Kanjeng Ratu.” Paman Patih berhenti di depan pintu ruang kerja raja yang masih tertutup. Setelah membuka pintu, dia mempersilakan aku masuk sendiri. 

“Matur nuwun, Paman. Terima kasih,” kataku.

Kangmas Raden segera berdiri menyambut kedatanganku. Beliau meraih tanganku dan menuntunnya untuk duduk di kursi tamu. Perlakuan Kangmas Raden selama ini sangat baik. Tetapi entah mengapa kali ini aku merasakan debur ombak demikian besar di dalam dada .

Kangmas duduk berhadapan denganku di sofa panjang. Beliau menatap penuh cinta. Dan aku merasa jengah mendapat tatapannya. Aku ingin segera tahu apa yang akan Raja titahkan.

“Kangmas Raden, ada apa?”

“Dinda, aku sangat menyintaimu, menyayangimu....”

“Kangmas sudah membuktikan itu selama ini,” jawabku sambil menahan debur ombak yang makin kencang.

“Hari ini aku ingin jujur padamu, Dinda. Tanpa mengurangi rasa cinta dan sayang untukmu....”

Aku kuatkan hati membalas genggaman tangan Kangmas Raden. Kutatap dalam manik hitamnya. Ada riak di dalam jiwa Sang Kesatria.

“Katakanlah, Kangmas,” jawabku.

Kangmas Raden menundukkan kepala sambil menghela napas sebelum bicara.

“Aku mohon izin untuk menikah lagi.”

Duarrrr!

Bagai ombak laut selatan menghantam dinding hati membuat jantungku serasa mencelos keluar. Tiba-tiba tangan dingin dan dada terasa sesak. Sekuat tenaga ku tahan amarah agar tidak tumpah bagaikan sampah dan air mata agar tidak menetes. Bukankah seorang ratu yang baik harus kuat dan tegar? Agar mampu mengimbangi kewibawaan junjungan jiwanya, garwa nya di mata orang-orang?

“Nduk, kamu sudah yakin ingin mendampingi Raden Putra?”

Maksud pesan ibu waktu itu mungkin inilah waktunya.

“Sekalipun jika Sang Raja ingin... menikah lagi...”

Kalimat ibu ini cukup membuat kaget. Tatapan marahku dilawan oleh ketegaran tatapan seorang ibu penuh kasih pada anak gadisnya. Waktu itu.

“Terus...? Jika itu benar terjadi aku harus bagaimana, Bu?”

Ibu membelai pipiku, mencium keningku lalu kedua tangannya mencakup wajahku sambil berkata dengan lembut tapi mengandung aura hipnotis yang tinggi. 

“Kamu besarkan hati untuk menanyakan alasannya. Lalu kamu ikhlaskan dia melakukan itu. Kamu tanggapi permintaannya seakan dia anakmu yang paling kamu sayangi.”

Makna hidup saling menyayangi dan rela berkorban untuk sang pemilik surga bagi istri adalah semua kalimat ibu sebelum menikah dengan Raden Putra terjadi.

“Hanya dengan keikhlasan dan ketulusan itulah seluruh jiwa dan cinta suami tidak akan meninggalkanmu. Dan kekuatan alam pasti akan menjagamu, Anakku.” 

Mengingat semua pesan ibu adalah kekuatanku untuk menghadapi permintaan suami tentang hal yang paling menyakitkan dirasa oleh istri.

“Kalau boleh tahu siapa wanita yng mendapatkan anugerah sebesar itu dari Kangmas setelah dinda?” tanyaku setenang mungkin.

“Maemun Laili,” jawab Kangmas Raden. Wajahnya masih tertunduk.

“Kangmas menyintainya?” Kalimat tanya yang paling susah akhirnya mampu ku keluarkan dengan setenang mungkin. Dua tangan Kangmas Raden kuusap penuh sayang.

“Maafkan aku, Dinda. Aku khilaf ketika rombongan berburu beristirahat di pondok Kuning dekat hutan jati.” Kepala Kangmas Raden menunduk semakin rendah di hadapanku.

“Maksud, Kangmas?” Telingaku seperti baru disinggahi hentakan petir menyambar daun telinga.

Pondok Kuning terkenal tempat surga dunia bagi lelaki yang mampir. Konon kabarnya semua lelaki yang mampir ke pondok itu tidak ada yang mampu menolak pesona yang disajikan. Minuman arak, perempuan-perempuan, meja judi dan kekuatan magis yang menyelimuti pondok.

“Aku menghamili Mae....” Kali ini wajah suamiku jatuh di tautan tangan kami, di pangkuanku. Mendengar kata-kata Kangmas aku merasakan letusan gunung Bromo menimpaku. Sesak dan terhimpit. Sakit luar biasa. Tetapi segera kusadarkan diri karena keadaanku yang sampai sekarang belum juga hamil. Padahal tiga bulan lagi memasuki usia pernikahan ketiga tahun.

Lebih sakit lagi mengetahui wanita yang akan disunting raja adalah wanita dari pondok Kuning, bukan gadis lugu dan baik dari rakyat umumnya. Desir lara bagai bilah bambu menggores jiwa yang paling dalam. Perih dan panas. Tetapi apalah arti amarah dan penyesalan. Semua sudah terjadi. Dan Kangmas Raden telah jujur pada istrinya.

“Nduk, anakku, jika suamimu melakukan kesalahan dan mengakuinya jangan kamu hakimi. Anggaplah dia anak kecil yang salah melangkah. Jadi... rangkul dia, beri dia tempat yang nyaman untuk mengungkapkan penyesalannya. Berkompromilah dengan waktu ... untuk melupakan kesalahan itu pelan-pelan.”

Ibu bukan istri raja tapi selama ini memang mampu membuat bapak tidak bisa jauh dari ibu, dari pernikahannya bersama ibu. Pesan ibu kembali menguatkanku.

“Kapan Kangmas akan menikahinya?” tanyaku lirih.

Tiba-tiba Kangmas Raden menjatuhkan tubuhnya di kakiku. Kepalanya jatuh di pangkuanku. Tangis pecah di ruangan itu. Bukan tangisku, tapi tangis suamiku.

“Dinda... maafkan aku istriku....” Aku hampir tidak percaya melihat rengekan Raden Putra, raja Jenggala.

“Dinda saja yang menentukan waktunya," lanjut Kangmas Raden lirih.

Benar kata ibu. Dan aku sudah mendapatkan hati suami seutuhnya. Seumpama badai menghantam dan memisahkan dia dariku ... itu hanya perpisahan sementara.

Terima kasih, Ibu!

Pernikahan siri terjadi antara Kangmas Raden dengan Maemun Laili. Kembang paling ranum di pondok Kuning. Tidak semua pejabat atau orang penting dapat menyentuhnya. Itu kabar yang kudapat dari Paman Hulubalang.

Pernikahan yang tidak aku hadiri berlangsung singkat. Tetapi Paman Hulubalang sang abdi setia pada kebaikan memberi rekaman prosesi acara itu. Tidak banyak yang hadir memang, tapi cukup untuk mengangkat derajat wanita yang biasa dipanggil Mae.

Dua bulan setelah pernikahan siri itu Mae diboyong Kangmas Raden ke istana. Aku memilih dua dayang untuk menjaga dan meladeni Mae yang sedang hamil muda.

Sudah satu bulan Mae tinggal di istana, tapi aku belum sekalipun bertemu muka wanita itu. Paman Arsitek memang diminta Kangmas membuat bangunan terpisah dari istana untuk tempat tinggal Mae.

“Baginda Raja yang mengatur seperti itu agar Kanjeng Ratu tidak terganggu,” kata Paman Hulubalang.

“Baginda belum pernah menginjakkan kaki ke tempat tinggal Maemun sendirian, Kanjeng Ratu,” kata Paman Hulubalang lagi.

Abdi istana yang paling rajin memberi kabar seputar istri siri suamiku. Paman Hulubalang juga salah satu abdi setia yang dimiliki raja Jenggala, sejak usia muda dia sudah tinggal di istana.

Hingga suatu pagi aku sedang memotong bunga-bunga di taman sari didatangi wanita. Dari jauh aku tahu Mae melihatku di taman tanpa bibi Inang dan tebakanku benar ketika Mae sudah berdiri di sampingku.

“Kanjeng Ratu menyukai mawar kuning ternyata.” Aku yakin itu cara Mae membuka percakapan dengan.

“Hai, Mae, selamat pagi,” jawabku bersahabat.

“Selamat pagi, Kanjeng Ratu. Maaf jika aku lancang masuk ke taman sari tanpa izin.”

“Ndak apa-apa, Mae. Jika kamu suka silakan saja kita merawat bersama,” kataku.

Mae mendekati keranjang bunga. Setangkai sedap malam diambil lalu diciumnya.

“Kanjeng Ratu, boleh aku minta satu tangkai sedap malam?”

“Monggo... silakan.”

“Matur nuwun... terima kasih.”

Keranjang sudah penuh aku harus menata di meja kerja Kangmas Raden mengganti bunga lama. Sebentar lagi Kangmas bangun.

“Mae... aku tinggal dulu ya,” kataku. Mae mengangguk sambil tersenyum.

Aku meninggalkan Mae setelah sempat kulirik perut wanita itu. Untuk kehamilan usia tiga atau empat bulan itu terlihat rata. Tetapi mungkin karena tubuh Mae langsing.

Bunga sudah tersusun rapi mengganti bunga lama. Setelah bibi Inang membersihkan sisanya aku segera menuju kamar. Kangmas Raden masih terbaring. Tetapi ada buku dan kaca mata di pelukan Kangmas. Pasti tadi subuh Kangmas sempatkan membaca. 

“Kangmas... Kangmas....” Aku tepuk pelan pipinya. Buku dan kaca mata segera ku pindah ke meja kecil di samping ranjang. Perlahan kucium kening sang raja.

“Din... Dinda....” Suara parau Kangmas terdengar. Matanya mengerjap sambil berusaha tersenyum. Tangannya berusaha melingkar di pinggangku yang duduk di bibir ranjang.

“Aku siapkan air panas untuk mandi Kangmas dulu.”

Rutinitas pagi yang tidak berubah. Sambil menunggu Kangmas mandi dan rapi dengan baju yang telah kusiapkan di atas ranjang, aku membantu bibi Inang menyiapkan meja makan seisinya.

“Kanjeng Ratu, meniko unjukan Baginda,” kata bibi Inang. Nampan kecil berisi secangkir minuman yang masih mengepulkan asap diserahkan padaku. Aroma kopi jahe memenuhi udara melegakan pernapasan.

“Hemmm... wangi jahenya enak, Bi,” kataku.

“Injih, Kanjeng Ratu... Minuman biasanya Baginda suka,” jawab Bibi Inang sopan.

“Terima kasih, Bi... matur nuwun,” bisikku.

Bibi mengangguk takjim.

Hari berlalu begitu cepat. Beberapa kali aku bertemu Mae tapi tidak melihat perubahan perutnya. Untuk sebuah kesempatan aku beranikan diri bertanya.

“Mae, bagaimana keadaan kandunganmu?”

Tidak kuduga Mae marah.

“Kenapa, Kanjeng Ratu?!” Mae menatap tajam. Kubalas tatapannya dengan berusaha tidak terpancing emosi.

“Kanjeng Ratu takut Kangmas Putra lebih sayang sama aku jika anak ini lahir?!" Nada sinis terlontar jelas.

“Mae....”
Belum selesai aku bicara sudah dipotong Mae, “Ndak usah berdalih, Kanjeng! Atau aku laporkan pada Kangmas Putra!”

“Ya sudah, ini aku buatkan susu kedelai dari peternakan paman Hulubalang.” Maksudku untuk mengalihkan pembicaraan agar tidak terjadi bentrokan, tapi ternyata lain tanggapan Mae.

“Jangan sok perhatian, Kanjeng. Susu yang dibelikan Kangmas Putra masih cukup untuk satu bulan ini.”

Rupanya Mae sudah dikuasai emosi, entah mengapa dia bisa seperti itu. Apakah karena dia terlalu lama hanya berdiam di rumah saja? Bukankah setiap pagi Pak Kusir mengantarnya berbelanja di pasar tradisional sekitar istana? Bukankah Mae juga diperbolehkan mandi lulur di rumah Nyai Kembang? Sedangkan aku hanya luluran di rumah dirawat oleh bibi Inang. Lulur resep ibu terbuat dari beberapa rempah yang dijual bebas di pasar rakyat. Lalu ditumbuk halus menjadi satu dengan sedikit tetesan minyak zaitun. Cukup membuat Kangmas menyukainya.

“Kulit Dinda begitu halus dan harum,” kata Kangmas Raden.

Sepertinya ada yang selama ini tidak Maemun tunjukkan apa adanya. Tetapi aku tidak dapat menemukan itu apa.

Suatu senja tiba-tiba istana geger. Orang berlarian menuju bangunan indah tempat Maemun tinggal bersama dua inangnya. Setelah merapikan diri karena habis mandi aku pun mengajak bibi Inang menuju ke tempat Mae.

Sesampai di sana aku lihat Mae tergeletak bersimpah keringat dengan bibir membiru. Ada darah keluar di sela kakinya. Kangmas Raden baru datang langsung mengangkat kepala Mae dan bersila untuk meletakkan kepala Mae di pangkuannya. Kangmas Raden tidak rajin mengunjungi Mae di bangunan indah ini. Dia selalu memaksaku untuk ikut menengok keadaan Mae. Tetapi melihat kondisi Mae seperti sekarang tetap saja membuat nalurinya sebagai suami bertanggung jawab cepat bereaksi. Bagaimanapun wanita itu tetap istri sirinya, selir suamiku.

Tatapanku bersirobok dengan tatapan Mae. Tak lama wanita itu berteriak histeris.

“Kanjeng Ratu! Dia! Dia yang memberiku susu itu!”

Aku kaget dan bingung. Ada apa ini? Teriakan itu membuat banyak mata beralih ke arahku. Bahkan Kangmas Raden pun demikian. Aku segera mendekat pada Kangmas Raden yang sedang memangku kepala istri sirinya.

“Mae? Ada apa ini? Kamu kenapa?”  Mae memejamkan mata menanggapi berondongan pertanyaanku.

Lalu aku menatap Kangmas Raden.
“Kangmas... Mae kenapa?”

“Kanjeng Ratu jangan pura-pura sedih. Ini semua karena ulah Kanjeng!” jeriak Mae. Aku menjauhkan badan dari tubuh wanita itu.

“Kangmas...?” Aku meminta penjelasan dari suami.

Kangmas Raden menghela napas lalu beralih menatap Mae.

“Mae! Tenang, Mae, bicara yang jelas. Jangan asal menuduh,” kata suamiku tegas.

“Kangmas Putra, Kanjeng Ratu yang memberi aku susu basi hingga aku muntah-muntah.” Penjelasan Mae membuat bulu kudukku berdiri.

“Tidak. Mae! Mengapa kamu bicara seperti itu?” tanyaku.

“Kanjeng Ratu pasti cemburu sehingga sengaja ingin menggugurkan kandunganku.”

“Mae!” seruku. Dari wajah Kangmas aku melihat gurat tidak suka. Entah tidak suka pada Mae atau kemakan ucapan istri sirinya.

“Kangmas....” Aku berpaling memohon kebijaksanaan suami.

“Mae, kamu jangan asal bicara.” Kangmas Raden meletakkan kepala Mae pada bantal yang baru saja diletakkan Paman Patih di lantai.

“Perlu kamu tahu, Mae. Yang menyuruh aku menikahimu itu Kanjeng Ratu. Aku membawamu ke istana ini juga karena permintaan Kanjeng Ratu. Beliau merasa kasihan pada janin di rahimmu yang notabene dia adalah anakku. Calon penerus pemimpin kerajaan Jenggala.”

“Kanjeng Ratu, kan juga manusia biasa, Kangmas. Yang punya rasa iri dan dengki. Sepertinya Kanjeng Ratu tidak kuat melihat aku akan melahirkan calon pangeran.” 

“Tidak, Kangmas. Aku tidak melakukan itu. Sumpah.”

Badanku langsung lemas mendengar tuduhan Mae. Meskipun gelagat yang membuat keningku berkerut sudah sering aku lihat, tapi tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Maemun Laili mempunyai hati sebusuk ini.

“Kalau Kangmas tidak percaya, panggil tabib untuk memeriksa isi gelas itu,” kata Mae.

“Tidak perlu, Mae. Cukup kita saling mengerti satu sama lain saja. Ini masalah keluarga tidak perlu disebarkan,” kata Kangmas Raden Putra sebagai Raja yang terkenal bijaksana.

“Tapi Kangmas, aku keguguran!” seru Mae.

“Kangmas, aku setuju usul Maemun, panggil saja paman Tabib,” kataku.

“Tidak! Jangan paman Tabib, tapi harus tabib di luar istana sehingga tidak mudah dipengaruhi,” kata Mae.

Aku, Kangmas Raden, paman Patih, beberapa punggawa dan pejabat di kalangan istana salung berpandangan mendengar usul Mae.

“Baik. Siapa yang mempunyai kenalan seorang tabib suruh datang ke sini,” kata Raden Putra.

Namun, tak ada satu pun suara yang menanggapi. Pertanyaan diulang oleh Raja, tetap tidak ada yang angkat bicara. Melihat situasi demikian Mae berseru, “Kangmas Putra, bibi Mula kelihatannya mempunyai saudara seorang tabib.”

“Bibi Mula?” Suara Raden Putra begitu berwibawa.

“Sa—saya, Baginda,” kata bibi Mula. Salah satu inang yang menjaga Mae berpamitan memanggil tabib yang dimaksud junjungannya.

Sambil menunggu tabib kenalan bibi Mula, aku minta tolong paman hulubalang dan anak buahnya untuk memindahkan Mae ke tempat tidurnya.

Ketika tabib datang tak sabar Mae meminta segera diperiksa sisa susu dalam gelas dan keadaan dirinya.

“Maaf, Baginda Raja. Ibu Ratu keracunan dan penyebabnya adalah karena dia meminum susu di gelas itu,” kata Tabib.

“Paman yakin?”seru Raden Putra.

“Saya yakin, Baginda.” Paman Tabib mengangguk hormat.

Dengan wajah memerah menahan marah, Raden Putra menatapku tajam. Seakan tak bersisa setitik pun rasa cinta dan kepercayaan Kangmas Raden terhadapku.

“Dinda Ratu! Kamu harus keluar dari istana! Aku tidak mau ada pembunuh di sini ini!”

“Paman Patih!” seru Kangmas Raden.

“Hamba, Baginda,” seru paman Patih.

“Buatlah pasukan kecil untuk mengeksekusi Kanjeng Ratu di hutan Hitam," perintah Raja.

"Baginda sebaiknya jangan tergesa mengambil keputusan. Kanjeng Ratu wanita sopan dan tidak pernah berkata kasar." Aku dengar paman Patih berusaha menenangkan rajanya.

"Maksud paman, Kanjeng Ratu tidak bersalah?"

"Hamba mohon maaf jika lancang, tapi hamba berani jamin kalau Kanjeng Ratu tidak bersalah." Paman Patih memang terkenal tidak mudah percaya pada orang yang baru dikenalnya.

"Tidak, Paman." Kangmas Raden Putra berbisik pada paman Patih yang tidak kudengar.

"Kangmas... Dinda mohon jangan berkata seperti itu. Selama ini kita hidup bahagia dan Kangmas selalu bijaksana menyelesaikan masalah." Aku masih berusaha mengetuk hati Raden Putra. Entah kekuatan apa yang membutakan hati Kangmas Raden sehingga beliau tidak mau mendengar kata-kata istrinya.

Tanpa melihat ke arahku lagi, Kangmas Raden mengikuti Maemun yang digotong menuju istana.

"Kanjeng Ratu, maafkan hamba terpaksa harus membawa Anda ke hutan Hitam," kata paman Patih takjim.

Aku hanya mampu mengangguk lemah sambil mengelus perut.

Paman Patih membawa rombongan kecil, tapi setelah jauh dari istana pasukan bertambah banyak. Ada tiga gerobak yang mengikuti di belakang gerobak yang dikendarai paman Patih bersamaku.

"Paman Patih, mengapa gerobak yang mengikuti kita bertambah?" Akhirnya aku beranikan diri bertanya.

"Maafkan hamba, Kanjeng Ratu. Hamba tidak akan tega meninggalkan Kanjeng Ratu sendirian di hutan."

"Lalu mereka siapa?"

"Mereka tukang kayu yang akan membuat rumah untuk Kanjeng Ratu tinggal. Ada beberapa kursi dan meja, juga kami bawakan tempat tidur yang nyaman beserta peralatan dapur. Dua saudara hamba akan tinggal bersama Kanjeng Ratu. Sebuah delman beserta kudanya juga nanti hamba tinggalkan untuk transportasi ke desa terdekat," kata paman Patih yang membuatku terharu. 

Paman Patih menunggu semua tertata rapi. Lalu berburu beberapa kelinci untuk santapan Kanjeng Ratu bersama dua pengikutnya. Setelah semua pembangunan rumah selesai datanglah sebuah delman dengan sais dan kuda yang gagah. Dua wanita muda duduk di sana. Setelah paman Patih memberi pengarahan pada Nining, Siti, dan Sais kemudian berpamitan.

''Maafkan hamba jika hanya mampu membuat fasilitas sederhana sebagai tempat tinggal Kanjeng Ratu."

"Terima kasih, Paman," jawabku haru.

Sepeninggal paman Patih, aku memulai hari-hari bersama Nining dan Siti. Pak Sais hanya datang dua hari sekali bersama delmannya untuk mengajakku jalan-jalan. Tentu ditemani dua gadis manis Nining dan Siti.

Seiring berjalannya waktu kandunganku semakin membesar. Diperkirakan Mbah Muni kelahiran anakku  paling lama tiga minggu lagi. Itu berarti bisa sewaktu-waktu sebelum tiga minggu ke depan. Maka dari itu Nining berpesan pada pak Sais untuk datang pagi dan sore hari.

Ketika perutku mulai mulas, Nining segera menyiapkan peralatan persalinan. Tak lama pak Sais datang dan terdengar langkah kaki kuda menjauh lagi.

"Pak Sais akan menjemput Mbah Muni, Kanjeng Ratu," kata Siti.

Tak lama mbah Muni pun datang dan kelahiran anakku lancar.

"Kanjeng Ratu melahirkan seorang anak laki-laki. Tampan seperti Raden," kata Nining hati-hati.

"Kanjeng Ratu akan memberinya nama siapa?" tanya Siti.

Tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok. Aku terdiam sejenak.

"Siti, mana Nining?" tanyaku.

"Baru membersihkan putra Kanjeng Ratu."

Aku mengangguk sebelum melanjutkan pertnyaan, "Apa nama desa ini?"

"Desa Cinde, Kanjeng Ratu."

"Siti, nanti Nining biar membuat bubur putih merah karena nama pangeran sudah ada."

"Injih Kanjeng Ratu... kalau boleh tahu nama pangeran kecil siapa?"

"Cindelaras," jawabku mantap.

Anakku tumbuh menjadi anak yang gesit dan cerdas. Setiap dikenalkan nama-nama benda di sekitarnya selalu mudah diingatnya.

Tak terasa hari melaju cepat melangkahi minggu, bulan dan tahun. Cindelaras tumbuh menjadi anak yang sehat dan baik.

"Ibu! Ibu!" Teriakan gembira bocah berusia tiga belas tahun membuat senyum sang ibu merekah.

"Ada apa, anakku?"

"Aku menemukan ini." Sebuah telur ada di genggaman.

"Hei ...." Aku mengusap telur di tangan Cindelaras. "Dapat dari mana, Sayang?"

"Seekor burung menjatuhkannya," kata anakku.

"Ibu... boleh aku memeliharanya agar menjadi ayam?" pinta Cindelaras.

"Tentu boleh, Anakku." Aku meraih Cindelaras lalu mencium keningnya.

"Sana minta tolong mbak Siti menyiapkan jerami dan lampu minyak. Kita akan membuat telur ini menetaskan ayam yang sehat dan tidak ada duanya."

"Hore! Terima kasih, Ibu."

Akhirnya telur menetas menjadi ayam yang sehat. Setelah besar menjelma ayam jago yang gagah dengan warna warni bulunya sangat indah. 

Pagi yang cerah aku lihat Cindelaras sedang memandang ayamnya di dalam kurungan.

"Pagi, Ibu!" seru Cinde melihatku berdiri di depan pintu belakang.

"Pagi, Sayang...."

Ketika badanku berbalik dan kaki hendak melangkah masuk rumah tiba-tiba ayam jago gagah itu berkokok aneh.

Cindelaras! Rumahnya tengah hutan... Anaknya Raden Putra!

Tenggorokan tercekat dan aku segera membalikkan badan. Cindelaras pun terlihat kaget. Anak itu berdiri dan mundur  beberapa langkah sebelum berpaling ke arahku.

Cindelaras! Rumahnya tengah hutan, anaknya Raden Putra!

Kokok aneh itu berulang tiga kali.

"Ibu!" Cindelaras berlari ke arahku.

"Ibu... ayam jagoku bicara? Apa artinya, Ibu?" Cinde menatapku penuh harap. Aku sendiri tidak tahu ini pertanda apa.

"Anakku, coba kamu pergi ke arah kerajaan Jenggala bersama paman Sais."

"Baik, Ibu. Cinde berangkat besok pagi."

"Hati-hati, Anakku." 

Keesokan paginya Cindelaras membawa ayam jagonya pergi mencari kerajaan Jenggala. Pak Sais yang setia mengantar langkah anak muda berikat kepala itu.

Aku yakin ayam jago Cindelaras akan bereaksi jika menyaksikan pertarungan auam-ayam jago di beberapa desa yang dilaluinya. Ayam jago anakku bukan ayam jago biasa.

Di setiap desa yang mengadakan persabungan ayam jago pasti akan terjadi perubahan setelah Cindelaras dan ayam jagonya mampir. Aku yakin itu.

Perkiraanku benar dan buktinya adalah ketika pasukan paman hulubalang menjemputku. Paman tidak ikut, tapi mungkin karena usianya sudah uzur sehingga tidak dapat melakukan perjalanan jauh ke hutan.

Cindelaras... omah e tengah alas, putrane Raden Putra.
(Cindelaras, rumahnya tengah hutan,

Tiba di istana semua sudah berkumpul menyambutku. Paman Hulubalang, Paman Tabib, Maemun, Kangmas Raden Putra, Cindelaras dengan kokok yang sama belum berhenti hingga aku bicara,

"Ada apa Raden memanggil hamba?"

Kokok ayam jago Cindelaras berhenti.

"Dinda... Dinda Ratu, maafkan Kangmas yang meragukan, Dinda."

Permintaan maaf Kangmas Raden Putra membuatku terharu.

"Paman Patih sudah menceriterakan semuanya. Sekali Kangmas mohon maaf, Dinda. Terima kasih Dinda bawa Cindelaras kembali ke istana."

Aku hanya menatap Kangmas Raden dengan maaf.

"Maemun! Kamu, tabib dan bibi Mula silakan tinggalkan istana!" Amarah Raja Jenggala tidak tertahan.

"Paman Adipati! Bawa tiga orang jahat itu keluar istana!" seru Raden Putra.

"Ayahnda, Bunda ... tapi aku tidak ingin tinggal di istana," pinta Cindelaras.

Aku melihat Kangmas Raden kaget.

"Kenapa, Anakku?" tanya Kangmas Raden.

"Aku sudah berjanji pada warga desa Biru di pinggir Hutan akan membangun peternakan ayam, Yahnda."

"Hmmm... boleh juga." Lalu Kangmas Raden menatapku, "Dinda Ratu, aku ingin tinggal bersamamu di rumah kalian selama ini...."

"Ayahanda serius?" seru Cindelaras.

Kangmas mengangguk dan Cindelaras memeluk erat ayahnya.

Ayam jago Cindelaras berkokok nyaring membelah angkasa seakan memberi kabar pada alam kembalinya kasih sayang yang pernah terpisah.

---------------------------

#Cerita ini sudah diubah ending-nya oleh penulis untuk mengikuti tantangan pekan ke 4 ODOP7.

#Tulisan ini dibuat untuk melengkapi persyaratan menulis ODOP7.

#

#oktober
#tantanganmingguke4
#legendaindonesia

#OneDayOnePost

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah