Kecamuk Benak Yati.

Rintik hujan mulai menari di atap rumah Yati. Satu satu air menyentuh atap seng menimbulkan suara denting membunuh kesunyian. Sementara bunyi teriakan atau dendang binatang malam tertelan oleh dinginnya hati. Yah... Yati terbangun tepat pukul dua malam. Separuh hatinya terasa ada yang kosong. Helaan napas mengantarnya melangkah mendekat ke kamar anak-anaknya. Tangan perempuan berusia 33 tahun itu menyibak tirai kamar. Tiga bocah lelaki sedang terlelap di atas kasur busa tanpa dipan.

Perempuan berhijab itu melepas kerudungnya sebelum menghampiri kamar 3x4 meter. Gerakan perlahan bola matanya tidak mampu menutupi keresahan di hatinya. Tatapannya berpindah dari anak sulung pada dua anaknya yang lain.

Yati memang sudah dua tahun berpisah dari Sastro, suami yang sudah dua belas tahun mendampinginya. Tetapi resmi bercerai juga belum. Tiga bocah lelaki di hadapan perempuan berkulit sawo matang itu tidak pernah menanyakan bapaknya lagi. Tidakkah mereka merindukan Sang Bapak? Tentu mereka merindu, tapi Yati sudah mengunci rasa itu pada anak-anaknya.

"Kamu, ndak usah lagi memikirkan bapakmu, Man," kata Yati pada Maman. Anak sulung yang diajak bicara ibunya hanya mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku di tangannya.

"Alim, hapus nomor gawai bapak. Dia tidak pantas kamu hubungi." Yati memergoki anak keduanya sedang asyik memainkan jemari di layar gawai dengan lelaki yang pernah meminangnya empat belas tahun lalu.

Yah, dua tahun hidup berjauhan dengan Sastro belum ada kejelasan apa nama hubungan jarak jauh itu. Dua tahun lalu Yati pergi meninggalkan rumah kontrakan tanpa seizin suami. Hari itu puncak kejelasan dan sakit hati Yati setelah tiga malam berturut terjadi pertengkaran hebat. Siapa yang tidak marah melihat suami makan malam berdua dengan wanita lain di restoran mahal sementara Sang istri belum pernah sekali pun diajak ke sana?

Setelah Yati mengajak Eni, sahabatnya, untuk bertemu. Seorang istri yang menceritakan semua kekesalan hati pada seorang sahabat.

"Ti, untuk sementra kamu pulang saja ke rumah ibumu bawa semua anak-anak. Biarkan suamimu merasa kehilangan, biar tumbuh kesadaran lalu menjemput kamu dan anak-anak." 

Entah apa yang ada di kepala Yati ketika usul Eni dilakukannya. Pertengkaran seru dengan suaminya membuat kesadaran Yati tertutup oleh emosi tak terkontrol. Sehingga perempuan itu melupakan watak asli Sastro. Bapak dari tiga anak itu lelaki keras kepala dan mempunyai ego yang tinggi. Kepergian Yati bersama anak-anak dirasakan Sastro mencoreng harga dirinya. Dan Yati dianggap istri berani menantang suami.

Namun, ketika sudah dua minggu tidak ada usaha apa-apa dari Sastro akhirnya Yati mengikuti saran ibunya.

"Sudah dua minggu... mungkin kamu harus menghubungi suamimu," kata orang tua Yati.

''Jemput?!" Sinis kata itu keluar dari mulut suaminya.

"Kamu minta jemput?! Istri macam apa kamu pergi pergi sendiri kok minta jemput!"  

Hardikan Sastro membuat emosi Yati ikut meninggi kembali. Dia langsung matikan gawai ketika terdengar suaminya hendak melanjutkan bicara.

''Dasar lelaki egois!" Rutuk Yati dalam hati.

Kemudian satu bulan berlalu. Yati pun berusaha menghubungi Sastro untuk kedua kalinya.

"Anak-anak loh, Pak, harus sekolah. Kasihan mereka tertinggal pelajaran."

Atas saran ibunya Yati menggunakan kepentingan anak-anak. Sebelum langkah itu dilakukan Yati sudah berdoa setiap malam agar hati suaminya sedikit melunak. 

"Kasihan anak-anak?!" Kalimat Sastro terdengar mengejek lawan bicaranya.

"Baru sekarang kamu memikirkan anak-anak?! Biar mereka tahu sebodoh apa ibunya bertindak tanpa memikirkan sekolah anak-anaknya!" 

Yati berusaha menahan emosi seperti pesan ibunya. Karena sudah tabiat Sastro jika marah akan memaki dan menghina.

"Tapi dia, kan, anak kandungmu, Pak," protes Yati.

"Kalau kamu merasa itu juga anakku kenapa kamu bawa mereka tanpa seizinku?!"

"Mana hasil salatmu, ngajimu, jika kamu tidak tahu arti ayat-ayat al quran yang kamu lantunkan! Dasar istri bodoh?!"

Jauh dari suami membuat Yati berpikir. Dia merasa mengambil saran yang keliru. Meskipun waktu itu Eni bilang bahwa dulu kiat itu dia lakukan dan berhasil membuat rumah tangga mereka baik lagi ketika Awan, suaminya, tertarik pada wanita lain.

Kini Yati sadar bahwa masalah yang sama pada suatu keluarga dengan keluarga lain, tetapi penyelesaiannya berbeda.  

Akhirnya diam-diam Yati memindahkan anak-anaknya ke kota ibunya. Berkat bantuan tetangga lamanya dan bantuan kakak iparnya anak-anak mendapat sekolah di tempat neneknya.

Kenapa ibu atau kakak Yati tidak datang melabrak Sastro? Seperti dulu waktu Sastro memacari Yati selama tiga bulan tak kunjung melamar? Pada waktu anaknya dekat dengan pemuda bernama Sastro yang kemudian sering membuat Yati sedih, peringatan dari Sang ibu sudah pernah dilontarkan.

"Ti, yakin kamu menyintai Sastro? Dia gampang tertarik pada perempuan."

Kakaknya juga pernah ikut bicara, "Sastro besar di napsu kelihatannya."

Sejak anak-anak pindah sekolah, Yati tidak berhenti berdoa untuk kejelasan rumah tangganya. Hingga suatu hari, setelah satu tahun lebih doa Yati melangit hampir tiap malam datanglah Sastro. Alasannya kangen pada anak-anak. Satu hari dia memang bermain dan jalan-jalan bersama anak-anak. Sepercik nyala asa menyelinap di relung hati seorang istri yang sudah merasa satu tahun digantung status oleh suaminya. Lalu di hari kedua Sastro meminta waktu bicara dengan Yati.

"Yat Yat... bagaimana jika kita rujuk?"

Jantung Yati bagai mencelos keluar. Doa tiap malam yang dipanjatkan mungkin terjawab dari untaian kalimat yang keluar dari mulut Sastro yang memiliki keras kepala? Jujur, istri mana yang tidak bahagia mendengar kata rujuk keluar dari bapak anak-anaknya dengan panggilan kesayangan.

"Nggak usah tergesa, kamu pikir dulu, besok aku ke sini lagi."

Kening Yati berkernyit melihat sosok Sastro bicara demikian tenang dan lembut. Hampir saja perempuan berkulit sawo matang itu menerima tawaran lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu ketika tiba-tiba ibunya muncul membawa baki berisi dua cangkir minuman yang masih mengepulkan asap. Dari aromanya tercium wangi teh melati. Di belakangnya menyusul Yu Larti, kakak Yati.

"Minum, Nak Sas, hanya teh," kata ibu mertua Sastro.

"Makasih, Mak," jawab Sastro.

Yu Larti yang sedari tadi memperhatikan Sastro dengan tajam menangkap gelagat suami adiknya itu tidak akan menyentuh tehnya.

"Cicipi tehnya, Sas, keburu dingin," kata Yu Larti.

"Ndak, Yu," jawab Sastro jujur. Dari awal lelaki itu memang tidak berniat meminumnya.

"Oh... takut diguna-guna, Sas?"

Pernyataan murahan keluar dari mulut Yu Larti. Dan Sastro sudah hapal perilaku kakak iparnya ini. Mungkin karena tidak pernah mengenyam bangku sekolahan dan juga lingkungan telah membentuk karakternya sedemikian Yu Larti memang lebih kasar dan sinis ucapannya jika sudah tidak menyukai orang.

Sastro kemudian berpamitan untuk besok datang lagi. Suami Yati itu menginap di rumah kakaknya.

Pagi-pagi Sastro sudah muncul di rumah orang tua Yati. Ingin mengantar anak-anak berangkat sekolah sekalian pamit pulang siangnya soalnya pasti nanti anak-anak belum pulang sekolah.

Tidak ada cangkir berisi teh di atas meja ketika Sastro dan Yati berbicara.

"Tapi aku tidak mau kembali ke kotamu, Pak," kata Yati.

"Loh? Pekerjaanku, kan, di sana?" jawab Sastro. Tidak ada emosi seperti saat Yati menelpon dulu.

"Bapak bisa cari kerja di sini. Apa saja yang penting halal." Kata-kata Yati keluar tanpa mengingat siapa Sastro.

Sastro tidak mungkin meninggalkan posisinya yang sekarang di kantornya. Posisi yang diminati banyak karyawan di perusahaan tempatnya bekerja.

"Kalau Bapak tidak mau ya terserah. Pokoknya aku sama anak-anak tetap di sini."

"Kamu mulai berani membantah dan mendikte aku, Yat Yat."

"Semua ini terjadi karena tingkah Bapak sendiri."

"Kamu yang tidak bisa menjaga diri sendiri. Tidak bisa mengikuti perkembangan zaman," balas Sastro.

Keduanya mulai dengan saling menyalahkan. Lalu mereka terdiam ketika ibu Yati masuk sambil melempar salam.

"Assalamuallaikum...."

"Wallaikumsalam." Hampir bersamaan Yati dan Sastro menjawab salam.

Ibu mertua Sastro duduk di kursi goyang kesukaannya. Tempatnya tidak jauh dari kursi tamu tempat Sastro berbincang dengan istrinya.

"Sudah sudah ... tidak ada habisnya saling menyalahkan. Yang jelas kita sama-sama salah. Tapi aku tidak bisa meninggalkan ibu sendirian di rumah. Kamu sudah tahu itu," kata Sastro mengakhiri perdebatan.

Jeda tercipta di antara keduanya. Tak lama Sastro menghela napas untuk bicara.

"Sekali lagi aku mengajakmu rujuk, Yat Yat," kata Sastro tegas.

"Selamanya aku tidak mau kembali ke kotamu, Pak," kata Yati tak kalah tegas.

"Pokonya sudah dua kali aku mengajak rujuk, jangan harap akan ada ajakan yang ketiga kali," kata Sastro.

Suami istri itu terdengar saling balas kekerasan kepala. Berusaha mempertahankan keinginan masing-masing.

"Kalau Bapak tidak setuju ya ceraikan aku saja, tapi aku tidak mau datang ke kotamu. Bapak urus surat-suratnya nanti aku tinggal tandatangan."

Emosi kembali menguasai mereka. Pembicaraan tidak mengarah pada percakapan yang baik. Tak lama kemudian Sastro pamit. Mungkin sikap Yati kali ini muncul karena selama ini tertindas oleh kekerasan kepala dan keegoisan sikap Sastro.

Pernyataan Yati, sekali lagi, dianggap tantangan oleh Sastro. Diuruslah perceraian itu. Sastro menyewa pengacara untuk keperluannya di Pengadilan Agama.

"Pak Ajib, tolong diuruskan, ya? Berapapun biayanya yang penting perceraian saya dikabulkan."

---------------------
bersambung ....

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7.

#oktober
#nulisodop7
#OneDayOnePost




Komentar

  1. Bagus, Mbak.
    Tapi kalau boleh tahu, kenapa kok ada dialog yang tegak, ada yang dicetak miring? bedanya apa ya? hehe

    BalasHapus
  2. 👍😊bagus .. Mengalir. Penasaran juga kenapa dialognya beda tulisannya?🙏😊

    BalasHapus
  3. Tinggal menunggu waktu saja, pernikahan tanpa komunikasi yang baik akan berakhir menyakitkan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah