Menikah (5) Tamat

Menemukan pendamping atau sahabat lawan jenis yang mampu berpikir positif dan tanpa timbul getar suka itu tidak mudah. Begitu juga sebaliknya. Mau setiap hari bertemu atau dijodohkan sekuat tenaga pun jika tidak ada getar rasa juga tidak akan terjadi apa-apa.

Saran Wika dan ibu sudah dilakukan Rendra, tapi tetap saja tidak ada rasa nyaman berdekatan dengan Laksmi. Hari ini Laksmi mengajak tunangannya itu untuk bertemu di sebuah tempat makan di pantai. 


"Tempat ini ternyata indah benar ya, Mas? Sesuai dengan testimoni orang-orang di medsos," kata Laksmi. Pandangannya menyapu pantai dan laut jauh di depan. 

"Iya," jawab Rendra singkat. Laksmi mencuri pandang pada wajah tunangannya. Kening wanita itu berkernyit tapi tak lama senyum merekah. 

Ketika pesanan makan malam datang. Pasangan yang dijodohkan untuk menjadi suami istri itu menghentikan bincang-bincangnya.  Aroma gurami bakar dengan sambal tomat dan lalapan menggelitik lubang hidung. Tak lupa tempe goreng tanpa tepung kesukaan Rendra. Eh tapi ... Sepertinya bukan kesukaan Rendra meskipun termasuk favorit laki-laki berjambang itu. Tatapan Rendra beralih, meluncur menyusuri garis cakrawala di ujung pantai. 


"Ren, nanti makan di rumah saja ya?" 

"Siap, Wik. Kamu yang masak, kan?" 

"He'eh."

"Lodeh terong, sambal terasi, tempe goreng?" 

"He'eh." Wika tersenyum dan pipinya memerah. 

"Sudah nggak sabar aku, Wik." 

"Tempe gorengnya aku banyakin, biar kamu kenyang," kata Wik sambil tersenyum menggoda. 

"Hahaha...." 

"Mas, Mas Rendra?" Suara Laksmi membuat Rendra menoleh. 

"Iya."

"Kok senyum-senyum sendiri? Ingat Mbak Wika ya?" Tebakan Laksmi tepat mengenai sasaran dan wajah laki-laki berjambang itu kembali memerah. 

"Kita makan dulu saja, Mas. Nanti kita bicara hubungan ini," kata Laksmi. 

Aku mengangguk setuju dengan usul Laksmi meskipun wajah Rendra terlihat bingung. 

Sambil makan sesekali Laksmi melempar pertanyaan. Beberapa dijawab Rendra sehingga menjadi bahan diskusi keduanya.


"Aku rasa masakan di sini cukup lumayan ya, Mas?" 

"Iya," jawab Rendra singkat. 

Laksmi melambaikan tangan pada seorang gadis remaja berseragam restoran tersebut. Kedatangan mbak-mbak pegawai restoran diminta nota pembayaran dan Laksmi memesan keripik nangka dan keripik sukun untuk menemani perbincangan selanjutnya. 


"Mas Rendra... Aku ingin mendengar kejujuran, Mas, dalam hubungan kita ini." Laksmi langsung melempar kalimat pembuka berupa pertanyaan.


Rendra masih terdiam sambil menatap hamparan air biru bergelombang. Laksmi memperhatikan setiap gerakan tunangan yang dijodohkan itu. 

"Mas Rendra... Bagaimana kabar Mbak Wika? Kapan program magister nya selesai?" 

Reaksi Rendra adalah kepedihan jiwanya. "Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan, Laks?" tanya Rendra.  

"Satu bulan lagi kita menikah, Mas. Dua minggu lagi undangan disebar...," kata Laksmi. Matanya redup penuh duka. 

Rendra mengangguk sebelum.bertanya, "Lalu?"

"Mas... Aku ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua, tapi...." Laksmi memalingkan muka dari tatapan Rendra. Wajah laki-laki berjambang itu mengeras. 


"Laksmi, silakan tumpahkan ganjalan yang kamu rasakan." Rendra menyeruput teh botolnya. 


"Aku sudah bertemu mbak Wika, Mas." Rendra kaget mendengar ucapan Laksmi. Dia tidak menyangka gadis itu telah banyak tahu tentang dirinya. 

"Jangan khawatir, Mas. Sekarang aku tahu mengapa Mas Rendra mempertahankan mbk Wika dengan sekuat tenaga." 

Laksmi membalikkan badan berhadapan dengan laki-laki berjambang. 

"Aku wanita, Mas, tanpa cerita pun mudah meraba apa yang ada di benak Mas."

Wajah tunangan Laksmi melunak. Untuk kesekiankali Rendra menghela napas sebelum bicara. 

"Aku minta maaf jika kamu terganggu dengan sikapku selama ini. Jujur, perasaan kita sama, ingin berbakti pada orang tua." 

"Sekarang aku akan dengar apapun keputusanmu, Laks," kata Rendra. 

"Kita tunggu mbak Wika datang. Mas Johan tadi menjemputnya."

"Laksmi?" Mata Rendra membulat. Ada kelegaan yang meluncur bebas. 

"Iya ...." Laksmi tersenyum dewasa sambil mengangguk. 

"Aku akan menikah dengan Mas Johan," kata Laksmi tenang dan mantap. 


------------- Tamat ------------

#Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tantangan menulis ODOP7. 

#oktober 
#nulisodop7
#tokyo 

#OneDayOnePost 









 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah