Percakapan Diri


Aku menatap wajah serupa dengan diriku di cermin kotak seukuran badan orang dewasa. Layaknya cerita tentang kerajaan yang mempunyai cermin ajab dan diajak bicara. Aku pun merasa seperti putri di istana megah. Meskipun dalam kenyataan aku si cantik cucu pemilik cermin.

"Hei! Mengapa kamu tersenyum?" Wajah di cermin menatapku sambil tersenyum. 

Tidak ada jawaban.

Aku menundukkan kepala membungkus risau dalam tautan dua tangan yang saling meremas. Bola mataku mencuri pandang ke cermin. Dan rasa kaget menguasai diri.

"Hei! Kamu! Mengapa masih tersenyum?"

"Kata orang cermin adalah sahabat sejati. Tetapi tidak denganmu,''  kataku sinis.

Beberapa hari ini memang aku kehilangan senyum. Bukan karena sakit gigi atau pun sakit hati. Bukan juga karena kehilangan Mas Bima. Bukan.
Laki-laki penyabar itu sudah hampir delapan tahun tenang di sisi Penciptanya.

Hari ini aku baru sadar, bahwa sebuah keputusan yang salah telah ku ambil. Jean telah menunggu tiga tahun untuk aku mengucapkan kata, "Aku bersedia."

"Hei! Mengapa berhenti tersenyum? Mau mengejekku?!"

Pikiranku benar-benar kacau. Ada yang tersenyum marah, tidak tersenyum juga membangkitkan emosi. Mungkin aku sudah mulai stres. Masak Jean menghipnotisku? Nah kan, aku hampir gila.

"Dengan tersenyum mungkin akan lebih merendahkan tekanan darahmu, ternyata aku salah."

"Kamu bicara!" seruku sambil menatap cermin.

"Ya. Aku ingin mendengar apa yang sebenarnya kamu inginkan," kata wajah di cermin.

Aku kembali menundukkan kepala sambil mempermainkan jemari kedua tangan.

"Kali ini kamu harus berani bicara. Mungkin ini menjadi kesempatan terakhirmu."

"Aku tahu kakek Kipo akan menjualmu, tapi ...."

"Tapi apa?! Masih mau sok tegar? Sok kuat? Jangan Munafik, Bre." Wajah di cermin menatapku serius.

"Apa yang kamu rasakan tiga tahun setengah dekat dengan Jean? Dan mengapa selama ini kamu bertahan dengan laki-laki playboy itu. Lalu ... mengapa sekarang kamu menyesali keputusanmu?"

"Entah, tiba-tiba datang keraguan," jawabku.

"Meragukan Jean?"

"Tidak." Aku terdiam sesaat sebelum wajah di cermin mendekatkan wajah ke depan. "Meragukan diriku sendiri."

"Keraguan diri pada calon suami itu refleksi dari kekecewaan yang menumpuk karena kita tidak mampu meluapkan emosi."

"Entahlah...."

"Ini pernikahan keduaku dan sudah dua kali Jean kepergok main mata dengan wanita lain."

"Jean sudah mengaku dan minta maaf, kan?"

Aku mengangguk.

"Lalu?"

"Tugas seorang suami itu tidak mudah, kan? Bukan hanya wajib menafkahi lahir batin, tapi harus mampu mengendalikan emosi agar pasangannya tidak mendendam saat dia marah sambil mencaci." Terasa ada beban separuh sudah terselesaikan.

"Mau kah Jean menempatkan keluarga barunya sebagai sebuah tim," kataku.

"Hemmm, karena semua kakak Jean perempuan?" Tebak wajah di cermin.

"Salah satunya," jawanku.

"Oke... kamu butuh tenggat waktu untuk membuktikan keraguanmu yang itu."

"Mungkin...."

-----------------------------

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7.

#oktober
#nulisodop7

#OneDayOnePost
#tantangannulis

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah