Potret

Beberapa bagian hidup memang ada yang tidak dapat aku ingat. Tetapi ada juga kejadian kecil yang masih lekat di ingatan. 


Kata Ibu,
Aku lahir empat tahun setelah Bapak menikahi Ibu. Lima tahun memang tidak sebentar untuk yang namanya menunggu sebuah kehidupam di dalam rahim. 


Masih kata Ibu. 
Kelahiranku sangat dinanti banyak orang. Terutama mbah Uti yang berharap mendapat cucu perempuan. Yang belum dimiliki memang itu. Anak-anak mbah Uti semua laki-laki. Masing-masing mempunyai satu anak laki-laki. Anak saudara dekat yang rumahnya berdekatan dengan mbah Uti juga laki-laki semua. 

Begitu mbah Uti mendengar tangis pertamaku, beliau kira aku laki-laki. 

Apalagi ketika mbah Kung mengucap, "Uti, jangan-jangan cucumu laki-laki lagi."  Itu karena suara tangisku keras memecah malam. Hehe ....

Saat perawat bilang bahwa cucunya perempuan, sehat dan sempurna, mbah Uti sujud syukur dan mbah Kung meneteskan air mata. Selesai aku dibersihkan langsung digendong mbah Uti karena ibu belum siuman. Ya! Aku lahir melalui perut ibu yang dibedah dan dijahit sebanyak sebelas jahitan. Meninggalkan keloid sepanjang dua puluh sentimeter. 

Ibu juga cerita, kalau mbah Uti menggendongku sambil menunggu ibu siuman. Sambil mengipasi tubuh ibu yang dikerubuti nyamuk. Kamar rumah sakit ada penyejuk ruangannya, tapi tetap saja nyamuk berpesta melihat tubuh tak bergerak.

Yang aku tanyakan ke ibu, "Memang nyamuknya nggak pingsan setelah menyesap darah ibu?" 

Ibu, mbah Uti dan mbah Kung terbahak menjawab pertanyaanku. Mbah Kung yang paling cerdas menangkap isi pertanyaanku.

"Nduk, ibumu operasi caesar memang dibius, tapi bukan berarti nyamuk yang meminun darah ibu juga ikut kebius." 

"Mbah Kung tahu nyamuknya nggak pingsan?" 

Lucu ya? Anak kecil memang lugu dan murni. 

Kehidupan balitaku penuh cinta. Ibu menjaga dan merawatku penuh kasih. Seperti ibu-ibu lain yang sangat bahagia akan kelahiran darah dagingnya, begitu pula dengan ibuku. Melindungiku dengan segenap jiwa raga. Sedikit terdengar patriotik memang. Seperti membela ibu pertiwi. 


Ibu banyak cerita. Tentang sikap mbah Uti menyuruh ibu dan bapakku melahirkan lagi karena aku akan mereka bawa ke desa. Tetapi ibu memang sudah puluhan tahun berdoa agar jika dititipi anak, ibu hanya minta satu saja. Beliau pun memberi alasan mengapa ada doa seperti itu. 


Proses sebelum bapakku dipanggil Tuhan pun ibu cerita. Bahkan enam bulan sebelum waktu ketetapan kepergian bapak, ibu cerita kalau bapak minta adik untuk teman aku. Tapi ibu menolak dengan alasan pastinya. Ibu adalah orang yang selalu punya alasan di tiap langkahnya. Itu dilakukan hingga sekarang....


Sebentar lagi umurku sah dikatagorikan dewasa menurut undang-undang. Dan ibu menjanjikan satu cerita yang berhubungan dengan keberadaanku di rahimnya.


"Besok, kalau kamu sudah dewasa ibu akan ceritakan."

_________________________

#Tulisan ini dibuat guna memenuhi tantangan menulis ODOP7. 

#oktober 
#nulisodop7 
#tokyo 

#OneDayOnePost 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes