Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Jim

Sejauh ini senja kurang obyektif dalam memandang sesuatu. Dia seharusnya belajar bahwa tidak selalu kisah sedih mengantar kemunculannya. Hanya, harus ada cerita indah sebagai penyeimbang. Senja ini Jim sedang duduk di kedai kopi Arabica. Selalu saja cappucino menjadi kopi pilihannya di kala senggang. "Jim, sekali-kali coba kopi Arabica asli, heh?"   Laki-laki berambut ikal meletakkan secangkir kopi di meja, satu cangkir lagi dipegangnya lalu duduk berhadapan dengan Jim. Sesekali ujung cangkir didekatkan mulut, ditiup lalu diseruput sedikit demi sedikit. "Kamu yakin, Jim?" "Ya,'' jawab Jim. Laki-laki itu menatap tepat di bola mata orang dihadapannya. "Kamu harus bisa mengubur masa lalumu," kata lelaki berambut ikal. "Itu butuh kekuatan besar," lanjut lelaki itu. Tatapan Jim tertuju pada pemain piano di ujung ruangan. Laki-laki bertubuh tambun dengan jas biru memainkan jemari dengan lincah. Cuping telinga Jim bergerak menangkap

Risalah Hati (1)

Pada titik tertentu aku merasa enggan melakukan apapun. Tidur. Yah, tidur yang panjang tanpa memikirkan apa-apa. Seperti hari ini, aku malas keluar rumah. Mengapa ruang ini begitu pengap? Hampir jengah aku diam di dalamnya. Sebenarnya aku heran dengan diriku saat ini. Kungkungan ini membelenggu langkah, tapi aku tidak mampu berteriak. Apalagi memberontak. Pagi yang seharusnya disambut dengan semangat, minimal ciptakan senyum, tapi   kelelahan ternyata merenggut semuanya. Malu bertemu orang-orang, enggan berbasa-basi pula. Aku hanya ingin mengurangi isi kepala. Mungkin mengharapkan sedikit beban saja agar kepala mampu tegak menatap langit. Namun, kenyataan tetaplah kenyataan. Hal yang tak mampu dibohongi. Sekarang tidak hanya kepala yang memberatkan. Hati dan nurani juga ingin saling memberontak sementara aku sudah tidak punya kata. Semestinya aku berani jujur pada diri sendiri bahwa semua ini harus disudahi. Diselesaikan dengan hati-hati. Mampukah aku merayu waktu agar mau memihak

Kabar dari Laut.

Angin menyusupi dedaunan cukup keras. Beberapa rantingnya terayun membantu bunyi gemerisik tercipta. Sementara debur ombak nan jauh di laut lepas kembali menghempas pantai untuk kesekian kalinya. Di batas cakrawala tak ditemukan satu perahu pun. Mungkin saat seperti inilah para nelayan beristirahat. Mereka sudah kenal baik kapan perahunya harus dijauhkan dari laut. Namun, wanita muda bergaun merah itu masih tidak mampu menjauh dari laut. Duduk di pasir hangat menatap birunya hamparan air asin seakan takut samudera itu hilang tiba-tiba. Orang-orang menyebutnya Dewi Laut. Bukan karena tubuhnya bersisik, atau di antara jari-jari tangan dan kakinya berselaput, tapi karena dia benar-benar menunggui laut. Sepeda jengki berkeranjang di belakangnya sudah ambruk karena pasir menenggelamkan standar yang terlalu lama parkir di atasnya. Wanita muda itu tidak pernah mengalihkan pandangan.  Walaupun angin begitu kencang menghantam tubuh langsingnya. "Bayu... sudah tahun kelima Mbakyu mu mas

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes

Ramadhan 2012 Hari ini, aku masih di bulan besar - MU Hari ini... Hari kesembilan dalam ramadhan Semua sendiku lunglai, Langkahku gemetar, Seruan asma - MU... Melemahkan hatiku Beri aku waktu... Beri aku kesempatan... Sujudku hanya karena - MU... *** Kamu Saat Ini Aku masih selalu pandangi sosokmu, Dan kutemukan jemarimu meloncat-loncat di atas meja, irama hatimu Aku masih selalu pandangi jiwamu Dan kutemukan riak di matamu Aku masih selalu memandang langkahmu Dan aku temukan ada yang melambat Aku masih selalu pandangi tekadmu Kutemukan dihampir ujungnya melemah Aku masih ingin mengintip dibalik dadamu, Akankah aku temukan hatimu yang masih merona Akankah desah hidupmu menguatkan lekuk liku cintamu Haruskah aku masih memikirkan tentang janjimu? Haruskah aku menghampirimu dengan harapan itu? Haruskah aku genggam kuat lenganmu karena melemahnya tautan jemari kita? Haruskah aku berdiri berhadapan denganmu? Untuk memastikan bahwa masih ada kita di jiwamu. *** Wa