Retak - 3

Tiba-tiba aku mendengar namaku disebut-sebut. Perlahan punggungku sandarkan di tembok sebelum masuk ke ruangan meeting yang jarang dipakai. Ruangan yang jika tidak digunakan membahas masalah yang terjadi di cabang-cabang perusahaan ya sehari-hari digunakan untuk salat atau makan.  

"Mana mungkin Mbak Bria mau begitu saja." Itu suara Bima. Nada curiga terdengar jelas. 

"Tapi tidak ada yang bisa menjelaskan keadaan mbk Bria sekarang." Suara Untung terdengar kebingungan. 

"Aku setuju dengan Bima. Keadaan mbk Bria sangat aneh. Dari yang dulu sangat 
menjaga jarak tiba-tiba pasrah begitu saja. Terkesan murahan malah." Apa yang Alif katakan hampir membuatku muncul dari persembunyian. Tapi aku masih harus mendengar lebih banyak lagi. 

"Itu bukan mbak Bria." Nada suara Alif terdengar menahan marah dan bingung. 

Ada getar haru, tapi sikap ragaku menolak semua keprihatinan mereka. Apa yang ingin kulakukan mengapa tidak didukung anggota tubuh yang lain? Ada yang tidak beres sedang terjadi dalam diriku. Kata hati bertolak belakang dengan sikap. 

Mungkinkah Bima, Untung dan Alif tahu sesuatu yang sedang aku alami? 

-----------------------------------------

Satu bulan yang lalu ....

Sudah tiga kali pak Leman datang pagi bersama Nor. Bisa-bisanya mereka berboncengan. 

"Nor nggak mungkin menolak. Dia kan dikejar waktu," kata Alif.

"Jam setengah enam pagi dia datang harus beraih-bersih lau setengah delapan sudah harus menyiapkan minum untuk semua karyawan di lantai ini," sambung Untung. 

"Sekali ban kempes, ketemu Nor bonceng sampai kantor" kata Alif. 

"Bima berpapasan dengan mbak Bria di pintu masuk itu berarti sudah kali kedua pak Leman duduk di kursi mbak Bria," sambung Untung.

Aku memperhatikan tiap kata dalam pembicaraan itu. 

"Setelah dapat nomor gawai Nor lalu dia  selama empat hari minta dijemput dengan alasan apa lagi, Nor?" tanya Untung.


"Macam-macam, Pak. Alasan motor macet, ban kempes, masuk bengkel nggak beres-beres," jawab Nor. 


"Kamu nggak curiga?" tanya Alif.

"Ndak, pak Alif. Saya iyain saja." Wajah Nor polos khas anak muda lugu dari desa yang kerja di kota. 

"Aku tidak percaya laki-laki itu benar-benar iblis." Alif terlihat benar-benar marah. 

Aku sangat ingin melakukan sesuatu, tapi entah mengapa seperti ada yang menghalangi. 

"Kasihan mbak Bria. Dia seperti orang linglung." 

Mereka tidak tahu apa yang bergejolak di dalam diriku. Hati dan nurani serasa tidak akur lagi. Batin jadi tersiksa. 

"Lihat, mbk Bria menangis, tapi tatapannya kosong." 

Bima, Alif, Untung, aku tahu dan aku mendengar semua yang  kalian ucapkan. Tapi ....

"Alif tolong temani Bima ke pak Haji Mabrur. Aku sama Nor mau main ke mes pak Leman."

"Mumpung pak Ade pulang ke Sunda?" tanya Bima. Untung mengngguk. 


-------------------

Tiga minggu yang lalu....

Saat mata terbuka timku sudah berkumpul. Nor dan pak Haji duduk di sisi kanan, Bima dan Untung di sisi kiri, sedangkan Alif dekat kaki. Retinaku menangkap sosok wanita berhijab duduk lesehan bersama yang lain. Seingatku dia istri Bima. 

"Pak, Bu Bria sudah bangun." Suara Nor karena dia satu-satunya yang memanggilku bu. 

"Mbak ... Mbak Bria ...." Bima mengguncang lenganku.

Aku menatap Bima lalu tersenyum. Istrinya duduk berhimpitan di belakangnya. 

"Alhamdulillah...," kata Pak Mabrur. Kedua tangannya langsung diangkat membentuk posisi berdoa. Mata terpejam dan mulut komat kamit lalu diusapkan kedua tangan di wajah setelah mengucapkan amin. 


"Assalamuallaikum, mbak Bria," panggil pak Mabrur. 

"Wa--llaikum--sa--lam, pak--Ha--ji." 

Sekuat tenaga aku berusaha menjawab salam pak Haji Mabrur. Entah mengapa mulut dan tenggorokan terasa berat untuk bicara membuka. Bahkan seluruh tubuh pun ikut lemas. Tiba-tiba pak Mabrur mengangguk lalu menyodorkan gelas putih berisi cairan hitam pekat. 

"Nak Bima, tolong bantu mbak Bria meminumnya," pinta Haji Mabrur. 

"Iya, pak ...." 

Sementara Bima dan Untung membantu meminumkan minuman dengan posisi tubuhku yang hanya bisa telentang, pak Mabrur kembali mengucap solawat dan beberapa surat pendek. Suara alunan doa laki-laki separuh baya itu menembus gendang telingaku bagai menyusupi kulit tubuh membuat pori-pori sepertinya terbuka. Perlahan hawa panas dan perih diterasa meluncur ke kaki. Alif terperanjat sambil menjerit kecil. Aku melihat dia menarik tangan dengan cepat dari kakiku yang sedari tadi dipegangnya. Tubuh Alif terdorong ke belakang.  

"Maaf, pak Mabrur...," kata Alif. "Saya...." Belum selesai kalimat Alif sudah dijawab orang tua itu dengan tatapan dan anggukan. Alif mengikuti langkah pak Mabrur berdoa mengucap shalawat Nabi.

______________________
bersambung 

#lanjutan dari tantangan 7 

@Achmad Ikhtiar


#Tulisan ini dibuat guna memenuhi tantangan menulis ODOP7. 

#oktober 
#tokyo 
#nulisodop7 
#nulis5paragraf 
#minimal5paragraf 

#OneDayOnePost











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes