Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

Menikah

Sudah satu minggu aku di rumah Uti. Semilir angin masih terasa sejuk. Suara debur ombak sayup terdengar jika malam begitu sepi. Aroma laut kadang mampir ke hidung terbawa embus angin di senja hari. Saat ini di rumah Uti benar-benar menentramkan. Menyingkirkan deru hasrat laju kota untuk sementara. Infrastruktur yang digalakkan pemerintah belum menyentuh desa Menir tempat tinggal Uti dan Kung. Sebenarnya hampir tidak ada perubahan yang berarti. Atau memang masyarakat mempertahankan untuk tetap seperti ini?  Rumah Kung rumah khas seorang lurah pada masa lalu. Halaman luas dengan pendopo di depan rumah induk. Juga tiga pilar yang menyangga bangunan seluas 400 m2 yang tidak cukup dalam pelukan tangan orang dewasa sekalipun. Kemudian ruang dapur di belakang terpisah dari rumah induk juga sangat luas. Ada dua kotak kolam yang masing-masing berisi ratusan ikan bandeng. Saat ini siap panen. "Kungmu itu salah satu orang berpendidikan dan tidak sombong jadi beliau menang saat dicalonkan

Percakapan dengan Sahabat

Aku pernah membenci seseorang karena dia anak tunggal, fasilitas lengkap, otak encer dan tidak pernah makan di tempat rakyat jelata makan. Tidak sehat, tidak pantas, dan kotor. Aku benci dia. Laki-laki yang terlalu steril itu bernama Dodit Subahar. Awalnya aku tidak memperhatikan sosok Dodit. Aku memang kurang suka dengan kaum borjuis model itu. Di benakku sosok laki-laki itu harus kuat. Kuat terkena sinar matahari, kuat mengeluarkan keringat untuk orang-orang di sekitarnya, termasuk untuk orang-orang yang membutuhkan. Siapapun. Lelaki, perempuan, anak-anak, remaja, apalagi orang tua. Melakukan kehebatan tapi bukan showoff . Bukan menolong hanya untuk kelompok-kelompok setipe mereka. Aku benci kaum sok dermawan, tapi anti debu. Namun, suatu hari sebuah peristiwa telah memalingkan wajahku pada laki-laki steril bernama Dodit itu. Senin pagi jam kuliah ilmu negara di mulai pukul 06.30 wib. Sebuah mobil sport tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Dan membuat langkah langsung terhenti. Aku

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Judul Buku : Hitam Putih Penulis        : Andriyana Penerbit      :  PT. Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit.         : 2017 Cetakan Pertama : 2017 Latar Belakang Resensi Buku Ini. Awalnya aku tidak kenal Andriyana. Tetapi kami sama-sama menulis di sebuah platform menulis online. Hingga suatu hari dia memberi komentar di tulisan-tulisanku. Komentar pendek dan kadang ada sedikit joke ringan di sela komentar. Kemudian aku penasaran dengan tulisan Andriyana yang irit komentar itu. Jadilah aku diperkenannya jalan-jalan ke palaknya. Buku-bukunya tidak banyak. Dan tema tulisannya juga tidak aneh. Tetapi judul yang diambilnya selalu menarik. Dimana tiap judul mengandung filosofi sendiri. Setidaknya demikian menurut penulisnya. Kemudian aku memohon pada beliau agar mau ikut kompetisi menulis yang harus ditulis oleh dua orang. Cerita harus nyambung tapi tiap bab ditulis bergantian. Alhmdulillah beliau mau. Selama kolaborasi menulis bersama Andriyana aku mendapat banyak pelajaran. Dian

Rinduku

Ilalang yang mulai menutup tanah lapang Membuat nanar tatap rinduku, Rumput-rumput bertumbuh subur tak mau tahu penantianku, Waktu terlalu cepat melompati hasrat, Sementara anganku kembali ke tempat kita, Ku palingkan ke depan, tapi kembali ke waktu kita, Sekarang ilalang di sana tanpa melati, tanpa putri malu, Dia bersama kelompoknya memenuhi kenangan, Kibasan anginnya kini semakin kentara, Juntai daun-daun langsing di sana enggan kompromi lagi Melenggok kanan kiri menertawakan kepedihan, Langkah kecil berusaha mengitari harapan, Mungkin bisa kutemui sedikit aromamu, Walaupun tak lagi ada genggaman, Angin pun mulai enggan bersahabat bersama waktuku, Hempasan gemulai ayunan daun iallang mengikis rindu akan kenangan, Seandainya kita kembali berdiri di sini mungkin alam akan memberi jawaban, Kepergianmu tanpa kata, tanpa tatapan angkuhmu, Akhirnya harus kukuak rimbun ilalang si ladang rindu. ------------------------- #Tulisan ini dibuat dalam rangka meme nuhi tantanga

Kaktus Milik Hilda.

Pagi ini Hilda sudah bersiap berangkat ke sekolah. Gadis itu mencium tangan bunda dan ayahnya sebelum mulai mengayuh sepeda. "Hilda baik-baik di sekolah ya, Nak. Nanti bunda menjemputmu." Wanita langsing bergamis kotak-kotak mencubit mesra pipi montok gadis kecil berkuncir dua. Pita di rambut dan tasnya berwarna senada. Anggukan kecil itu mengguncangkan kuncir dan pita pink. "Dah, Ayah," seru Hilda ke arah laki-laki berkumis tipis yang sudah rapi. Sebuah sepeda motor 150cc terparkir di halaman. "Dah Sayang ...." Sang ayah melambai pada anaknya. Setelah gadis kecil dengan sepedanya menghilang dari pandangan, ayah Hilda pun bersiap berangkat. "Ayah berangkat ya, Bun," kata ayah Hilda. "Iya.... hati-hati, Yah. Jangan lupa ikuti Hilda dari jauh saja." "Siap komandan," jawab ayah Hilda. Ayah dan bunda Hilda saling senyum dengan gurauan sang ayah. Lalu ciuman di tangan Sang suami dibalas ciuman di kening istri. "Assala

Dejavu

Wanita bercelana kain warna haki melangkah satu satu mengelilingi meja. Rambut ikalnya dibiarkan jatuh di bahu. "Kamu tahu semuanya. Kenapa tidak lapor polisi?" Tatapannya berhenti pada sosok gadis usia belasan, tapi tidak dengan isi kepalanya. Sikapnya begitu tenang dan acuh terhadap keadaan disekitar. Kedua kakinya sudah di atas meja. Bergaya seperti bos di film-film mafia.  "Dan apa yang membuatmu takut?" Intonasi kalimat tanya ini menegaskan bukan model seperti gadis itu yang menyukai takut. Gadis kuncir kuda terdiam. Perlahan kedua kaki diturunkan dari meja.  "Polisi?! Tidak. Kakek pernah bilang, berurusan dengan Polisi hanya membuang waktu dan uang." Jawaban ceplas ceplos khas remaja. Gadis berkuncir kuda melipat kedua tangannya di dada, punggungnya menempel di sandaran kursi. Kaki kanannya menopang kaki kiri. Semua gerak gerik itu tidak lepas dari tatapan wanita berambut ikal. "Rumah ini aneh dan sekian puluh tahun tinggal bersama kakek

Kami Sakit

Aku tidak diam! Kami peduli, sangat. Jarak terentang ribuan kilometer tidak mampu menjauhkan tekad. Saudara-saudara yang gelisah oleh asap-asap yang tak berhati. Berbagai cuitan meresahkan udara menggemuruh suara gemerisik di kuping. Langit pingsan oleh hempasan awan putih yang melemahkan. Aku di sini, tapi mata dan jiwa merasakan keresahan mereka, ketakutan akan pertumbuhan janin yang paling rentan, dan amarah yang tak mampu terluap membentuk keberanian yang tak terbayang. Genangan di kelopak orang-orang seperti kami hanya mampu menggaung dzikir di tiap sujud. Langkah kami terpasung oleh ketidakpunyaan, kepapaan. Ada pihak yang seharusnya menaungi. Kami dan aku adalah rakyat. Yang di manapun tinggal selama masih wilayah Republik Indonesia mendapat perlindungan. Lengan-lengan telah tersingsing merangsek maju, Menuntut sebuah keadilan bagi seluruh rakyat. Terima kasih, bapak Presiden menemani doa untuk sebuah hujan.  Apapun bentuknya dibutuhkan Riau, termasuk gerakan jema

Kamu dan Aku

Kamu pernah mencintai seseorang? ------Yap, aku juga. Mari kita bicara tentang rasa itu. Cinta memang luas dan cinta juga mempunyai arti berbeda bagi sebagian orang. Tetapi kita pasti sepakat bahwa cinta adalah obat yang luar biasa. Obat rindu, obat sakit, obat marah, obat kuat, obat tegar, obat malu, dan banyak lagi. Awal aku jatuh cinta pada pria yang sebenarnya membuat takut. Karena keadaan fisiknya terlihat keras. Wajah, bentuk tubuh, dan beberapa tingkahnya sempat membuatku takut. Kemudian seseorang merencanakan agar aku bisa duduk berhadapan untuk mengobrol berdua. Benar ungkapan : tak kenal maka tak sayang. Kesan pertama saat akhirnya aku dan dia berbincang mendapat nilai cukup baik. Kemudian pertemuan-pertemuan berikutnya memberi tambahan informasi buatku. Banyak obrolan yang membuat aku harus rajin membaca, mengikuti berita dan rajin mendengar. Pria itu telah memberi tambahan ilmu pengetahuan yang selama ini tidak kuketahui. Dan aku malu jika tidak dapat mengikuti jalan pik

Masa Puber.

Sudah menjadi pengetahuan umum jika usia mulai beranjak remaja tentu kemudian mempunyai rasa ingin diperhatikan dan memperhatikan lawan jenis. Seperti si Belang yang sudah beranjak remaja. Hari masih pagi ketika aku lihat si Cokelat mondar mandir di depan rumah Belang. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik melihat Cokelat di depan rumah Belang apalagi aku harus belanja mengejar waktu. Bunda menyuruh aku beli ayam di pak Lan. Sedangkan pak Lan biasanya jam tujuh pagi sudah habis. Selesai belanja aku lihat Belang juga mondar mandir di depan rumahnya. Sementara Cokelat pun berdiri dengan gagah di luar pagar rumah. Sesekali mencuri tatap pada Belang. Aku perhatikan Belang memang terlihat montok. Mungkin makin doyan susu dia. Ketika pintu pagar kubuka Cokelat bereaksi hendak mendahului, tapi aku membentaknya. Cokelat urung masuk. Setelah meletakkan ayam di kulkas, aku kembali ke depan. Ternyata Cokelat masih mondar mandir dengan dada membusung. Apa sih yang sedang  dia pamerkan? Si Belan

Mimpi

"Masih perlu waktu lagi, Rin?" tanya Blu waktu itu. ''Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang aneh saja. Aku ndak ikut," jawabku. "Bukti sudah kamu lihat sendiri. Diajeng Nawang jatuh dipelukku. RM Ronggo pun bertekuk lutut. Aku pewaris tunggal kekayaan Sang Tuan Tanah dari desa Mlintir." Blu selalu bangga dengan usahanya itu. Temanku ini sudah pernah diludahi oleh calon mertuanya. Aku hanya menatap Blu dengan kilatan berbagai peristiwa menyakitkan yang dialaminya. "Ya sudah. Besok malam aku sama Topo berangkat. Kalau kamu berubah pikiran datang saja langsung ke kebun karet dekat terminal bus." Aku berpisah dengan Blu. Setelah itu aku menduga tidak akan bertemu Blu minimal untuk jangka waktu tiga puluh hari ke depan. Tetapi perkiraanku meleset. Hari belum terlalu malam istriku sudah merengek. Mendorongku untuk mencari pinjaman. "Mas, kita tidak punya uang untuk makan besok. Bu Hindun sudah sengak saat tadi pagi lihat aku."

Hanya Rindu

Tidak ada lagi lagu dari salon sembermu. Banyak keisengan yang telah kamu buat tapi tingkahmu waktu itu benar-benar tidak dapat kulupakan. "Sampai besok, Wik," serumu. Langkah panjang menuju tempat parkir. Entah apa yang membuat seseorang setergesa itu di zaman merdeka seperti saat ini. Kalau menurutku alasan yang paling masuk akal untuk ketergesaan si usil itu adalah panggilan alam. Perut mulas! Tetapi dasar manusia usil ternyata sudah punya janji dengan tambatan hatimu. Namun, sebelum meluncur keluar gedung kamu sempatkan menghampiri langkahku . "Wik, jangan lupa email-mu dibuka," serumu. Lalu motor membawamu menjauh. Dasar anak resek. Aku menjadi penasaran. Segera kupacu motor dengan angka di speedo meter 70. Sepertinya aku tertular ketergesaan untuk memenuhi penggilan alam. Sesampai di rumah motor aku parkir di garasi. Sepatu kulempar di dari kaki. Entah mendarat samping motor atau meluncur menyusup di bawah meja makan. Sebelum sampai ke kamar aku dicegat b

Misteri Berbumbu Horor atau Horor penuh misteri

     Ketika aku disodori tiga buah buku yang tebalnya kurang lebih 450 lembar, jujur saja ada rasa bahagia dan merasa puas. Kebayang membaca tanpa gangguan.         Bahagia, dapat tiga buku gratis yang tebal. Puas, karena penulis buku-buku itu penulis besar. Sebut saja Cantik Itu Luka, oleh Eka Kurniawan. The Firm karya John Grisham, dan Danur oleh Risa Saraswati. Novel berjudul Danur yang aku baca pertama, lalu The Firm. Di dalam buku Danur, diceritakan tentang kehidupan tak kasatmata. Interaksi dua alam ditulis gamblang. Sedangkan The Firm, cerita penuh intrik, ketegangan dan teror. Mirip cerita-cerita detektif. Menurutku Danur bergenre horor dan The Firm bergenre misteri. Tidak bisa dipungkiri masih ada beberapa pembaca yang sulit membedakan tulisan bergenre misteri dengan horor. Awalnya aku juga kurang paham kalau keduanya itu genre cerita berbeda. Namun, setelah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama aku mulai belajar tentang dunia tulis menulis. Kemudian bertemu teman-teman

Kabut Pagi

     Sudah lima malam aku tidak melihat Purwadi, dan tidak ada yang tahu ke mana perginya. Yang membuat aneh itu sebelum adzan subuh anak fakultas teknik itu sudah tergeletak mendengkur di lantai teras tanpa alas. Selama dua minggu KKN di desa Blimbing khususnya di dusun Kunti, Purwadi dan tujuh temanku di tim tidak pernah meninggalkan rumah pak Kadus tanpa izin. Dan tidak pernah sendirian, tapi ini? Purwadi sendirian. Membuat keluarga pak Kadus dan teman-temanku kebingungan. "Mil, kenapa sih kamu nggak mendengar kata-kata Anis dan bu Kadus?" tanya Joned. Dia bendahara di tim. "Malam kemarin Anis melihat Purwadi berdiri di pinggir sawah juragan Kardi seperti sedang bicara tapi di sana dia sendirian. Jangan-jangan, kisah warga itu ...." Rika tidak melanjutkan bicaranya. Dia menatap keluar rumah dengan wajah takut. Rika memang paling penakut di antara yang lain. Meskipun non muslim tetapi dia paling rajin mengingatkan teman-temannya untuk salat. "Kamu tahu, k

Sebuah Narasi.

Sudah hampir sepuluh tahun aku meninggalkan rumah lama. Selama itu pula kubiarkan kosong. Dulu sempat aku sewakan dengan harga yang murah. Tetangga memang membicarakan murahnya harga sewa yang aku berikan. Alasanku sederhana saja, karena yang menyewa adalah tetangga sendiri yang masih belum punya rumah. Alih-alih membantu juga agar ada yang merawat rumah. Namun, harapan tinggal keinginan. Yang menyewa rumah ternyata tidak seperti bayanganku. Tidak berpikir sama dengan yang kumaksud. Sewa pun tanpa surat perjanjian hitam di atas putih. Alasanku sama, membantu tetangga dan berharap penyewa tahu membalas bantuanku. Hanya sederhana permintaanku, cukup dirawat rumahku. Dibersihkan rumputnya, disapu dan dipel lantainya, dibersihkan kaca-kaca jendelanya, dibersihkan kamar mandinya, dapurnya .... Semua tidak terjadi. Setelah dua tahun. Masa sewa mereka selesai. Meskipun ada rasa lega tapi juga bingung. Terus nanti siapa yang akan menjaga dan merawatnya. Aku pindah tempat kerja di luar propin

Keputusan.

Menikah?! Tiba-tiba kata itu membuat hidupku tidak tenang. Bukan karena Cipto tidak ganteng atau aku bingung ada Adrian, bukan. Ini peristiwa yang tidak biasa menurutku. Bagaimana tidak! Dalam waktu yang panjang aku akan tinggal bersama laki-laki. Apalagi kalau harus .... Agar punya anak! Jika pertemuan sperma dan sel telur dilakukan di luar sih aku masih bisa memikirkan sebuah pernikahan. Jangan berpikir yang ena-ena ya. Pertemuan dilakukan di luar itu ya melalui bayi tabung. Yang kacau lagi ... hari ini Cecep muncul menawarkan ide gila. "Ge, besok aku beli tiket pesawat, loh. Kita jadi ke Tibet, kan?" Gila! "Kamu kaget, Ge?" seru Cecep. "Kamu takut apa?!" Cecep sudah mulai gusar. Takut usulnya aku tolak. Tapi pasti aku tolak. Cecep sudah tahu reaksiku. "Kamu bilang bukan karena Cipto maupun Andrian, lalu...?" "Cep! Kamu lupa ada mami?" Ganti aku yang berteriak. "Ah kamu, Ge!" Cecep kecewa. "Sejak kapan mami Yu

Galih

     Gadis berambut sebahu beralis tebal itu bernama Menik. Wanita jawa tulen yang dilahirkan dari rahim ibu Pergiwati mendapat sponsor dari bapak Gunardi. Menjadi anak semata wayang dari keluarga terpandang di desa Menjangan memang tidak mudah. Apalagi Menik cantik dan berpendidikan. Pasti segala tindak tanduknya mendapat perhatian khusus dari masyarakat sekitar.      Hari ini Menik pulang. Yang biasanya dua minggu sekali dia pulang, bulan ini gadis itu telah satu bulan baru pulang. Jarak rumah ke pusat kota memang tidak jauh, tapi Menik memilih tinggal di asrama putri di kampusnya. Yah, gadis manis pak Gunardi itu kuliah sudah semester empat di pusat kota. "Jok, kamu ndak ke rumah Menik, to?" Logat medok bahasa jawa terasa kental. "Loh? Menik bali, Gus?" " Masak kamu ndak tahu? Atau pura-pura ndak tahu?" "Aku ra ngerti tenan, Gus. Lah kok kamu tahu ... soko endi? Dari mana...." " Bu Pergi kemarin ke rumahku ...." Belum selesai

Kasus

"Kita sudah tahu pasti modus operandinya, Wil, tidak perlu diperjelas lagi," kata pria berkumis tipis. Dia melangkah ke dapur bersama pria berkulit sawo matang berperawakan gagah. Meja makan sepanjang dua meter menjadi tujuan mereka. "Hanya saja kita harus mencari cara untuk menangkap basah perempuan itu," lanjut pria itu. Papan kecil sepanjang 15 cm bertuliskan Andika Pratomo di dada kiri kemeja putihnya terlihat jelas ketika jas hitam dilepas. "Okey," jawab laki-laki yang dipanggil Wil. "Nanti malam kita intai di tempat biasa dia nongkrong," kata Andika. "Jam tujuh siap, Kep?" Wil menepuk pundak Kapten Andika sambil meraih kunci mobilnya di atas meja. "Siap, Let," jawab Andika. Kedua perwira itu saling senyum. Langkah Wil ke depan diiringi Andika sebagai pemilik rumah. "Akhirnya aku bisa mendampingimu, Kak. Moment ini sudah aku inginkan sejak kakak wisuda. Aku bangga." "Aku tidak menyangka cita-citamu

Saputangan

"Kamu nggak bisa menuduh seperti itu, Ben." Wanita berkaos tanpa krah menatap laki-laki berjidat mulus bertubuh tambun. " Aku nggak menuduh, Jen," jawab Ben. Laki-laki tambun itu memutar berkas di atas meja lalu mengarahkan pada wanita berkaos tanpa krah yang dipanggilnya Jen . "Kamu lihat foto ini? Coba perhatikan baik-baik." Jen menarik foto lebih dekat. Setelah beberapa saat retinanya memindai gambar berwarna ukuran 20R itu lalu wajahnya kembali pada Ben. "Apa, Ben?" "Kamu tidak melihatnya, Jen?" Jen menggelengkan kepala. "Lihat yang dia genggam... benda itu ada di saku tuxsedo laki-laki dari PT. Indosemiar," kata Ben. Jen mengeryitkan dahi sambil masih menggeleng pelan. Raut wajahnya masih  memancarkan ketidakpahaman ucapan Ben.  "Warna merah bata dengan sulaman benang emas membentuk huruf L," jelas Ben kesal. Jen kembali memperhatikan foto cukup lama sebelum akhirnya wajahnya terlihat mengeras karena

Bunga Bangsa

Nusantara mempunyai seorang laki-laki kecil dan tangguh. Siapa sangka nyiur melambai membelai cinta kasihnya untuk seorang gadis manis. Laki-laki kecil bertumbuh menjadi putra angkasa. Terbang ke negeri orang untuk menimba ilmu. Tidak ada yang berani meragukan kecerdasannya. Otak brilian.... Dia laki-laki yang mampu melantunkan Indonesia Raya hingga bergetar seantero negeri. Laki-laki muda tumbuh menjadi Bapak yang gagah. Hentakan Garuda berserta Pancasila telah mendudukan dirinya menjadi nomor satu. Bapak pula yang menggedor semangat penerusnya dengan derap syair Bangun Pemuda Pemudi Indonesia. Lihat angkasa telah mengibarkan Sang Saka. Pesawat-pesawat mengudara dari kutak katik kedua tanganmu, nurani dan segenap jiwamu ... adalah negeriku. Pendidikan yang kau perjuangkan adalah bekal masa depan Bhineka Tunggal Ika. Kemudian Ibu Pertiwi benar-benar berduka, saat Merah Putih terikat setengah tiang mengantar kepergianmu. Anak Negeri yang cintanya pada Sang Kekasih tak per

Kata Uti

Aku dengar cerita dari Uti kalau Bunda ingin anak perempuan, tapi yang lahir aku. Muhamad Faiz Maulana. Dan kata Uti namaku adalah nama tiga orang yang digabung. " Muhamad adalah nama almarhum Kungmu, Iz. Faiz, nama dokter yang membantu kelahiranmu, dan Maulana adalah nama orang yang paling bundamu cintai sebelum kamu lahir." Aku lihat Bunda memang sangat mencintai Ayah. Meskipun waktu itu umurku belum mampu mencerna arti cinta istri terhadap suami. Tetapi, dari cerita Uti, sekarang aku jadi dapat menyimpulkan tindakan Bunda terhadap Ayah. Begitu pun sikap Ayah pada Bunda. " Iz, cari istri itu yang seperti Bunda, perhatian pada suami, sangat menyayangi dan menghormati suaminya." "Bundamu memang bukan wanita yang berpendidikan tinggi sehingga dalam menyelesaikan masalah sering tidak rapi. Kosa kata yang keluar juga agak liar. Tapi tugas-tugas sebagai istri dilakukan dengan baik." Dulu aku akan terpana jika Uti menceritakan betapa hebatnya Bunda. Aku te