Risalah Hati (4 - tamat)

Kemudian aku beranjak ke jendela. Hampir gelap di luar sana. Garis cakrawala hanya bias semu dari tatapan perempuan sepi.

Keputusan harus diambil. Aku hanya tinggal memilih, untuk terus terbungkam atau bangun, berdiri, mengeksplor kemampuan diri.

Terakhir bertemu Jos, lelaki yang katanya seorang suami itu kembali melemparku ke tepi biduk yang baru berlayar enam tahun. Goresan di sana sini karena cacimakinya membuat keretakan makin rapuh.

Aku tersuruk di tempat yang sekali hentak dapat menghanguskan seluruh langkah. Semua tentang Jos benar-benar membuatku mual. Menyebut namanya saja sudah menaikkan kolesterol.

Sebentar lagi Jos pulang. Aku sudah persiapakan teh hingga dingin. Laki-laki itu terlambat empat jam. Biasanya pukul sembilan malam sudah selesai makan.

Begitu ketel air menjerit, ku ganti cangkir teh yang sudah diam hingga dingin sejak tadi. Deru mobil yang berhenti di halaman membuatku bergegas membuka pintu depan. Joss turun dari mobil dalam keadaan rapi. Bahkan serapi pagi berangkat kerja. Naluri perempuanku bicara. Lelaki sudah seharian kerja pulang dalam keadaan rapi dan fresh. Siapa tidak curiga?  

Jos menyerahkan tas kerja ke tanganku lalu melepas sepatu. Melangkah ke wastafel Jos mencuci tangan dan kembali duduk di depan cangkir tehnya. Aroma melati menguar dari cangkir yang menguapkan kepulan asap. Teh masih panas.

Lelaki itu menyeruput teh panasnya lalu melangkah ke kamar. Jos kembali dengan kaos gantung dan celana pendek.

"Tumben sampai selarut ini ndak ada kabar, Mas?" tanyaku.

"Apa maksudmu?!" Nada tinggi seperti biasanya melengking.

"Kamu bisanya hanya curiga, curiga, dan curiga!" seru Jos.

"Mas kalau ditanya baik-baik marah tidak ditanya marah. Maksudnya apa?" 

"Kamu membentak aku?!" Jos makin meradang.

"Mas melarangku untuk mencurigai suami, lah ini Mas malah yang mencurigai aku. Ada apa sebenarnya?"

"Aku sampai malam kerja buat kamu! Kalau aku ndak kerja kita mau makan apa?!" bentak Jos.

"Astagfirullah ... Mas," seruku.

"Halah! Jangan sok istighfar! Sarjana kok ndak dapat kerja! Goblok!" Kebiasaan Jos memaki dan menghina muncul.

Banyak pembicaraan awal yang suamiku lupakan. Banyak ajaran agama yang dipelajari dilewatkan. Salatnya tiap hari tidak mampu membuatnya sabar mengemudikan biduk kecil keduanya. 

Teh masih separuh di tangan Jos. Tiga potong pisang goreng pendamping teh tinggal satu di piring kecil.

"Mas... kamu ndak ingin mengingat janji awal sebelum penghulu mengatakan sah?" tanyaku hati-hati.

"Percuma! Kamu selalu membuat suami marah." Jos menjawab penuh amarah.

"Kenapa sih, Mas, selalu ndak mau kalau diajak bicara dan mencari solusi untuk masalah kita?" Aku menyodorkan tisu. Kedua mata Jos melotot.

"Mas ndak pernah mau mendengar keinginan istri, tapi jika wanita lain, tanpa meminta pun, Mas langsung cawe-cawe?"  Aku menikmati geliat tubuh Jos yang mulai gemulai.

"Mengapa, Mas ... ndak pernah...."

Aku menghentikan bicara dan Jos pun terdiam. Dadaku begitu lega menyaksikan kepala Jos tersungkur di meja. Dia pergi pun tidak pamit pada istrinya.

Cangkir teh kucuci bersih lalu memgganti teh baru untuk diletakkan di depan jasad Jos.

----------------------------------

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7.

#oktober
#nulisodop7
#tokyo

#OneDayOnePost

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah