Retak - 4 (tamat)

Tiga bulan yang lalu ....

Udara malam kurasakan terlalu panas. Pendingin ruangan yang sudah disetel diangka 23 saja tidak mampu menyejukkan seperti kemarin-kemarin.

Sudah beberapa malam ini terasa susah tidur. Mungkin karena banyak persoalan yang terjadi di lapangan. Para pengemudi yang membawa muatan ke konsumen banyak yang mengeluh perlakuan pemilik toko. Kata mereka barang yang dibawa tidak selalu bongkar di toko yang tertera di surat angkut dari PT. Indom Perkasa. Pemilik toko mengirim lagi ke konsumen mereka yang jaraknya lebih jauh sehingga uang jalan yang diterima menjadi tidak sesuai. 

Kendala tersebut sangat menganggu cash flow kantor juga pengemudi sendiri. Sedangkan pihak pemberi surat jalan, yaitu PT. Indom Perkasa tidak mau tahu, terutama pak Leman yang seenaknya sendiri memutuskan masalah. 

"Mbak Bria, pengemudi menginginkan perubahan uang jalan," kata Untung. Dia yang setiap hari berhadapan langsung dengan penerima dan pembuat surat jalan.

"Berarti kita harus survey lagi," kataku. 

"Iya," jawab Untung.

"Coba surat jalan yang bermasalah kamu dampingi bongkar sampai tujuan. Pemberian uang jalan biar dibantu Alif."

"Baik, Mbak. Nanti sore serah terima total uangnya ke Alif dan besok saya meluncur ke dua surat jalan," urai Untung. 

Survey dilakukan dengan teliti. Satu minggu cukup menemukan pokok permasalahan. Dan memang meeting harus dilakukan, tapi pak Riyan baru kembali lusa. Meeting besar khusus pimpinan cabang di kantor pusat. 

"Mbak Bria!" 

Aku kaget Bima tergopoh masuk kubikel. Rincian persoalan yang hendak ku email ke pak Riyan tertunda. 

"Ada apa, Bim." 

"Pak Leman, mbak...." 

"Sebentar, aku kirim email pak Riyan dulu."

Selesai urusan laporan aku fokus dengan berita yang akan disampaikan Bima. 

"Pak Leman bersikeras tidak menerima surat jalan dengan stempel bongkar berbeda dari toko yang tertera di surat jalannya."

"Alasannya?" 

"Takut pengemudi kerjasama dengan pemilik toko memanipulasi data," kata Bima.

"Ngawur...." kataku.

"Dia mensinyalir itu permainan pengemudi untuk me-mark-up uang jalan," lanjut Bima. 

"Apa urusan uang jalan dengan dia, Bim?Dia suka melakukan pungli pada pengemudi kita?" Emosi yang berhubungan dengan satu orang itu, yang selama sudah kutahan terpancing juga setelah mendengar cerita Bima barusan. Leman menuduh rekan-rekan memanipulasi data.  

"Mbak!" Untung tergesa tiba di hadapanku. 

"Ya?" Aku menatap Untung.

"Surat jalan hari ini untuk kita tidak keluar, Mbak," jawab Untung. 
Alif datang pasti melihat suasana ramai di mejaku. 

"Aku sudah dengar semua, Mbak." Alif menatapku lalu bergantian menatap Bima dan Untung. 

"Kalian ke ruang meeting sekarang. Aku mau bicara dengan mbak Bria sebentar," kata Alif. 

Bria, Leman sudah gila." Alif duduk dengan kesal. Aku pun mengikutinya. 

"Maksudmu?" Aku ingin memastikan apa nada bicara Alif mengandung perkiraan sama dengan isi benakku. 

"Ya." Alif dan aku saling menatap dengan pikiran yang sama. 

"Gila!" geramku. 

"Orang itu ingin kamu menemuinya," lanjut Alif. 

_____________________________

Sejak pertemuanku dengan Leman waktu itu, pikiranku sebentar-sebentar teringat pada laki-laki itu. Pertemuan yang aku kira akan menjadi awal perseteruan dua perusahaan. Atau minimal berakhirnya karirku di perusahaan ini, tapi ternyata tidak terjadi apa-apa. Emosi yang sudah kutata untuk meluapkan tidak mendapat perlampiasan yang sepadan. 


Pak Leman terlihat santai. Tidak ada ketegangan di wajah maupun di tiap kata yang keluar dari mulutnya. Menurutku senyum yang muncul di wajah klimis itu sepertinya menyimpan misteri. 

Sebelum dipersilakan duduk aku lihat sudah ada dua teh botol tanpa camilan. Tetapi tak lama seorang laki-laki paruh baya datang membawa kotak donat. Dari logo di jaket yang dikenakan pengantar aku tahu donat itu dari mana. 

Sudah menjadi tekat awal kalau aku tidak akan menyentuh apapun yang disuguhkan laki-laki itu. Jadi teh botol itu aman hingga tiga puluh menit. 

"Eh, ada mbak Bria." Pak Ade masuk lalu melepaskan jaket yang diketakkan di punggung kursi kayu sebelum menyalamiku. 

"Sudah lama, Mbak?" Sepertinya pertanyaan pak Ade hanya basa-basi karena secepatnya dia berpaling ke arah pak Leman sambil bertanya, "pak Leman nggak memberitahu kalau mbak Bria akan datang." 


"Ya tidak perlu kamu tahu aku mau mengundang siapa." Jawaban pak Leman cukup mengganggu telinga. Tetapi kemudian tidak kupikirkan karena segera menyelesaikan permasalahan adalah inti kedatanganku. 

Tetapi kemarin aku minum teh botol itu bahkan menjadi tiga botol yang mengalir di tenggorokan setelah pendingin ruangan tiba-tiba mati. 

"Wah, pak Leman akhirnya berhasil bertemu mbak Bria." Kata-kata pak Ade ini juga cukup mengusik benak. Tetapi aku tidak membiarkan rasa curiga membesar. 


Udara terlalu hangat untuk ukuran malam. Jendela kubuka agar semilir angin mampu mengurangi kegerahan. Pohon mangga di halaman diam tak ada gerakan, daun-daun di ranting seakan memberitahu bahwa semilir angin tak mau berhembus. Ku tengok langit pun tak kelihatan bintang dan awan yang biasanya bermain disinari cahaya bulan. 


Mengapa semakin larut aku tidak dapat memejamkan mata? Perlahan muncul harapan ingin bertemu pak Leman? Ah! Aku renggut rambut kepala dalam remasan tangan. Ku acak untuk kemudian tangan menjauhi kwpala setelah teriakan sesak keluar.

"Ughhh!" 


_____________________________
Tamat 


#Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tantangan menulis ODOP7. 

#oktober 
#nulisodop7 
#tokyo

#OneDayOnePost


 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes