Senja

Langkah kaki kecil menapaki pematang dengan lincah. Sepatu kets tanpa tali warna krem terlihat belepotan tanah. Bayangan tubuh mungil berkejaran di belakang. Di depan terlihat dua laki-laki bercelana komprang di atas betis sedang berdiri berhadapan di samping sebuah gubuk kecil beratap tumpukan jerami kering. Seorang perempuan bercaping dengan kain latar putih membebat dari pinggang ke bawah sedang menurunkan bakul dari gendongan. Pemilik kaki mungil semakin mempercepat langkahnya. Sesekali dia melompat-lompat mengikuti irama lagu yang disenandungkan.

Senandung terhenti saat kaki kecil berada tepat di depan gubuk di tengah pematang. Tanaman padi di sekitarnya memang belum terlalu tinggi, tapi hembusan angin di hari hampir siang itu cukup mengacak rambut pemilik langkah ringan.

"Siang Pakdhe, Budhe ...." Suara nyaring menyapa orang-orang di sana.

"Hai, Le... kamu sama siapa?" Logat medok terdengar dari jawaban perempuan berkebaya dan berkain.

Bakul dari anyaman bambu di depannya sudah tertata di atas tikar, ada nasi dan lauk pauk sederhana. Urap-urap, ikan asin, tahu dan tempe.

"Sendiri, Budhe," jawab bocah itu.

Dua laki-laki yang tadi asyik berbincang kini berpaling ke arah bocah itu.

"Loh, Tole Aji ... pulang sekolah kamu?" tanya laki-laki bercaping. Celana kolor sebatas betis yang dikenakannya berwarna hitam kusam. Mungkin celana wajib untuk ke sawah.

"Ini putra Pak Jayus, Gan?" tanya lelaki satunya yang terlihat lebih muda dari pakdhenya Aji.

"Iyo, Gun. Loh kan dia suka ngampiri anakmu ke sekolah. Sopo kui namanya?"
Budhe yang menyahut dari tempatnya duduk. Kedua tangan Budhe sibuk menata nasi lauknya di pincuk. Daun pisang yang disematkan potongan lidi hingga membentuk wadah yang akan digunkan sebagai piring makan.

Aji menyalami orang-orang dewasa di sana sebelum dia melepas sepatu dan duduk di samping Budhe.

"Zahra, Budhe," jawab Gun.

"Zahra lak koncomu to, Le?" tanya Pakdhe pada Aji.

"Nggih, Pakdhe," jawab Aji lantang.

"Kalau mereka dijodohkan, pie yo, Gan?" gumam Gun. Tapi Aji dan Pakdhe mendengarnya. Jawaban Pakdhe hanya menepuk punggung Gun.

Itu peristiwa 13 tahun yang lalu. Yang aku tahu setiap mendengar nama Zahra ada getar aneh yang membahagiakan. Bahkan sampai detik ini pun masih kurasakan desir itu.

Baru satu tahun Zahra menjadi bidadari surgaku dan rumah minimalis yang menaungi pernikahanku bersama Zahra benar-benar surga dunia. Setiap dia mengingatkanku terasa tidak menggurui.

"Ya jangan gitu to, Mas... kita harus bisa mendengar pendapat adikmu." Zahra mendekati kursiku lalu merangkulku dari belakang dan mencium kepalaku sebelum berbisik, "seperti aku yang ingin didengar pendapatnya oleh suami sebaik kamu."

Senyum Zahra tiap pagi. Ciuman Zahra di keningku sebelum dia bangun meninggalkan tempat tidur di pagi pukul 4.30 wib. Cubitan mesra di pipiku saat aku susah dibangunkan di minggu pagi. Lalu... ngambek manja Zahra yang paling aku suka. Pipinya sedikit memerah karena tersipu jika ketahuan merajuk. Ah ... Zahraku, Cintaku, Matahariku.

Hari ini dia terbujur diam di ruang ICU. Sesak napas yang tadi dialaminya membuat tulang-tulangku seakan melunak hingga tak mampu menopang tubuhku yang kerempeng.

Yah, Zahra yang oksigen di tiap kedip mataku.

Tubuhku kembali lemas terpuruk di kursi tunggu. Sebentar lagi bidadariku harus menjalani operasi.

Ya Allah ... beri waktu yang panjang untuk membahagiakan istriku. Aku sangat mencintainya....

Senja kembali menjadi saksi peristiwa penting dihidupku.

------------------------

Tulisan ini untuk mengikuti tantangan menulis dalam ODOP7
#nulishari02


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah