Kaktus Milik Hilda.

Pagi ini Hilda sudah bersiap berangkat ke sekolah. Gadis itu mencium tangan bunda dan ayahnya sebelum mulai mengayuh sepeda.

"Hilda baik-baik di sekolah ya, Nak. Nanti bunda menjemputmu." Wanita langsing bergamis kotak-kotak mencubit mesra pipi montok gadis kecil berkuncir dua. Pita di rambut dan tasnya berwarna senada. Anggukan kecil itu mengguncangkan kuncir dan pita pink.

"Dah, Ayah," seru Hilda ke arah laki-laki berkumis tipis yang sudah rapi. Sebuah sepeda motor 150cc terparkir di halaman.

"Dah Sayang ...." Sang ayah melambai pada anaknya.

Setelah gadis kecil dengan sepedanya menghilang dari pandangan, ayah Hilda pun bersiap berangkat.

"Ayah berangkat ya, Bun," kata ayah Hilda.

"Iya.... hati-hati, Yah. Jangan lupa ikuti Hilda dari jauh saja."

"Siap komandan," jawab ayah Hilda. Ayah dan bunda Hilda saling senyum dengan gurauan sang ayah.

Lalu ciuman di tangan Sang suami dibalas ciuman di kening istri.

"Assalamuallaikum...." Motor segera distater.

"Walaikumsalam," jawab bunda. Tatapannya mengikuti sang suami melaju lalu menghilang dari pandangan.

Hilda anak perempuan berusia sembilan tahun itu berangkat sekolah selalu bersepeda. Sejak kelas satu tidak pernah mau diantar naik motor bersama ayahnya.

"Dekat, kok, Yah." Itu jawaban Hilda saat masih kelas satu.

Jarak SDN 45 dengan rumah Hilda hanya 100 meter, tapi orang tua mana yang tega anak gadis semata wayangnya masih kelas satu SD berangkat sendiri? Alhasil Ayah yang mengikuti keberangkatan Hinda dari jauh dan bunda yang menjemput pulangnya.

Kemudian ayah Hilda bertanya kembali saat anak gadisnya naik ke kelas dua.

"Benar nggak dibonceng ayah?"

"Nggak, Yah. Kata bu guru Hilda sudah kelas dua harus belajar berani. Lagian, kan, naik sepeda menyehatkan badan."

"Ya sudah, tapi tidak boleh ngebut ya, Sayang?"

"Iya, Yah. Beres...."

"Hah!" Sang ayah pura-pura kaget mendengar jawaban anaknya, lalu menatap bunda sambil tertawa.

Pada saat kenaikan kelas tiga pertanyaan satu tahun lalu pun masih keluar dari mulut ayah Hilda. 

"Hilda nggak capek naik sepeda?"

  "Nggak, Yah. Sudah biasa naik sepeda kok."

"Lagian kasihan teman kalau Hilda nggak naik sepeda, Yah."

"Kenapa?" tanya ayahnya waktu itu.

"Temanku harus pakai kruk kalau ke sekolah."

Rasa kaget terlihat pada ekspresi wajah Sang ayah. Laki-laki muda itu menatap istrinya yang sedang meletakkan dua gelas jus jambu di meja. Wanita itu mengangguk membalas tatapan suaminya. Hilda sudah cerita ke bunda lebih dulu.

"Kakinya sakit?" tanya ayah. Tangannya sibuk mengulir sekerup di keranjang sepeda Hilda.

"Makanya Hilda minta ayah memasang keranjang itu untuk meletakkan kruk Wiwin," jawab Hilda ringan.

"Jadi, teman Hilda namanya Wiwin?" tanya bunda.

"Iya, Bun."

"Rumahnya dekat toko roti itu?" tanya bunda lagi.

"Iya, Bun. Betul."

"Itu berarti anaknya bu Marta," kata Bunda.

"Bu Marta orangnya baik, Bun. Hilda suka dikasih donat kalau menjemput Wiwin."

Kali ini ayah dan bunda Hilda kaget. Dan ayah merasa harus meluruskan jalan pikiran Hilda.

"Sayang, Hilda mengajak Wiwin naik sepeda bersama bukan karena sering dikasih donat, kan?" 

"Hehee, ayah lucu." Jawaban Hilda malah membuat ayahnya bingung.

"Kok lucu?" tanya ayah Hilda.

"Kata bunda, Hilda harus ikhlas menolong teman kalau ingin disayang Allah, Yah."

Wajah ayah Hilda nampak bersemu merah. Guratan lega dan haru jelas di wajah ayah Hilda.

"Alhamdulillah ... anak gadis ayah benar-benar solehah," kata ayah. Keranjang Hilda sudah siap.

"Hilda, Ayah ... ayo jusnya diminum dulu, keburu nggak dingin loh," kata bunda Hilda.

Keluarga kecil itu dilingkupi rasa bahagia terutama ayah Hilda. Bukan karena banyaknya harta yang melingkupi mereka, tapi karena anak semata wayangnya, Hilda tidak manja, tidak sombong, berani dan suka menolong. Sambil mencium pucuk kepala Hilda tiba-tiba mata ayah menangkap sebuah pot kecil dengan tanaman kecil di dalamnya.

"Loh, itu kaktus siapa?" tanya ayah.

"Kaktus anak ayah tuh," jawab bunda.

"Hilda suka kaktus? Kok ayah baru tahu...." kata ayah Hilda.

"Itu tugas sekolah dan yang satu buat teman, Yah," jawab Hilda sambil meringis.

"Teman Hilda suka kaktus? Kapan ulang tahunnya?" Ayah memberondong pertanyaan.

"Teman Hilda ini adiknya yang suka kaktus," jawab Hilda dengan murung.

"Kok sedih?" tanya ayah Hilda.

"Adiknya ulang tahun bulan depan, Yah. Baru pulang dari rumah sakit, tapi masih sakit," jawab Hilda sedih.

"Loh... masih sakit kok dibawa pulang?" tanya bunda Hilda.

"Mereka kasihan, Bun, biaya rumah sakitnya mahal kata ibunya jadi mereka nggak punya uang lagi."

Mata Hilda berkaca-kaca.

"Hilda dan Wiwin hanya bisa bantu beli kaktus itu, Yah," jawab Hilda lirih.

"Sudah dikasih tahu ke bu guru belum?"

Hilda menggeleng lemah.

"Ya sudah, besok ayah akan cerita ke kepala sekolah Hilda. Bahwa salah satu muridnya sakit butuh pertolongan."

"Ayah mau membantu juga?" tanya Hilda senang.

"Insyaallah, Sayang ...."

"Terima kasih ya, Yah. Hilda berterima kasih pada Allah punya ayah baik"

"Eee ..." Ayah mencubit mesra hidung mancung Hilda.

"Ya sudah, ayo kita salat magrib dulu. Sudah adzan tuh,' ajak bunda.

----------------------------

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7.

#september
#nulisodop7
#OneDayOnePost

Komentar

  1. Penggunaan huruf kapital untuk Ayah dan Bunda ada yang masih menggunakan huruf kecil

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah