Kata Uti

Aku dengar cerita dari Uti kalau Bunda ingin anak perempuan, tapi yang lahir aku. Muhamad Faiz Maulana. Dan kata Uti namaku adalah nama tiga orang yang digabung.

"Muhamad adalah nama almarhum Kungmu, Iz. Faiz, nama dokter yang membantu kelahiranmu, dan Maulana adalah nama orang yang paling bundamu cintai sebelum kamu lahir."

Aku lihat Bunda memang sangat mencintai Ayah. Meskipun waktu itu umurku belum mampu mencerna arti cinta istri terhadap suami. Tetapi, dari cerita Uti, sekarang aku jadi dapat menyimpulkan tindakan Bunda terhadap Ayah. Begitu pun sikap Ayah pada Bunda.

"Iz, cari istri itu yang seperti Bunda, perhatian pada suami, sangat menyayangi dan menghormati suaminya."

"Bundamu memang bukan wanita yang berpendidikan tinggi sehingga dalam menyelesaikan masalah sering tidak rapi. Kosa kata yang keluar juga agak liar. Tapi tugas-tugas sebagai istri dilakukan dengan baik."

Dulu aku akan terpana jika Uti menceritakan betapa hebatnya Bunda. Aku tenggelam dalam pesona seorang istri ayahku. Wanita bercahaya di rumah tangga bahagia. Sebenarnya sampai saat ini aku masih bangga mempunyai ibu seperti Bunda. Hanya saja sekarang aku tahu arti kata-kata Uti : Bundamu memang bukan wanita berpendidikan tinggi sehingga .... dst.

Namun, aku pernah dibuat tidak mengerti dengan sikap Uti. Setiap Uti cerita kehebatan Bunda ekspresi wajahnya tidak terlihat gembira atau bercahaya. Dari sorot mata Uti pun aku temukan mendung. Hingga di usia aku berani bertanya....

"Uti, yang anak kandung ayah, kan?"

Waktu kutanya itu Uti mengangguk. Mendung di wajahnya menebal. Bola mata bening Uti meredup.

Aku hanya berani bertanya, tapi tidak berani mendengar jawaban Uti.

Namun, semua akhirnya terjawab si suatu sore ketika Uti main ke rumah dan berbincang dengan Bunda di taman. Di bangku panjang di bawah pohon belimbing. Tempat favorit Bunda dan Ayah jika minum teh sore di hari libur.

"Ning, aku tahu anakku tidak berbuat baik terhadapmu. Sebenarnya kamu cukup baik menghadapi sikap anakku yang masih saja manja seperti anak-anak. Aku tahu setiap istri pasti ingin juga dimanja suaminya."

Langkahku terhenti. Kurapatkan tubuh di rimbun pohon bugenvil. Kata Awin, bunga ungunya seperti kertas. Jika berhububgan dengan bunga, adikku memang memiliki sensitifitas seperti wanita. Bunga bugenvil dibeli Ayah pada ulang tahun Awin ke empat. Mungkin darah sensitif itu diwarisi dari Ayah.

Aku semakin tahu apa yang terjadi dengan Bunda.
"Ning, ibu tahu kamu merawat semua hal yang berhubungan dengan anakku karena ada Faiz dan Awin di sini. Dan ibu paham apa yang sebenarnya ada di hatimu sejak perkenalanmu dengan Amsi."

Aku tidak dapat melihat langsung posisi Bunda dan Uti karena bunga bugenvil sangat terawat sehingga rimbunnya terlalu.

"Ibu ikhlas jika kamu ingin memulai hal baru. Semua tentang anakku memang masa lalu. Kamu hidupkan di rumah ini karena dua cucuku."

Nampan di tanganku sedikit bergetar. Dua gelas teh untuk Bunda dan Uti bergerak perlahan. Selama ini Bunda sudah menyimpan rapi perasaannya terhadap Ayah dan Om Amsi. Seperti kata Uti jika Om Amsi memang beda jauh dengan Ayah yang stylis dan ahli dalam dunia internet. Om Amsi lebih agamis dengan jenggotnya. Selalu mengenakan baju koko jika bertemu Bunda dengan aku dan Awin.

"Ibu tahu dari dulu jika kamu menyukai laki-laki yang memahami agama dengan baik. Ibu juga tahu anakku tidak sarjana."

Dengan kalimat basmallah aku keluar dari rimbunnya bunga kertas. Setelah menghela napas aku mendekat ke tempat Uti dan Bunda duduk. Aku tiba di bangku tepat ketika Uti mengucap ....

"Ning, ibu sudah lihat kalau Amsi itu baik buat anak-anak, tidak seperti yang dikatakan ayah Faiz.... Ibu ikhlas Ning...."

Bunda berpaling ke arahku. Tatapan Bunda kujawab dengan senyum dan anggukan kepala. Bunda tersenyum lalu menatap Uti. Ada haru dari pancaran mata Bunda. Tangan Uti sudah berada di rengkuhan tangan Bunda. Ucapan terima kasih meluncur setelah Bunda mencium tangan Uti.

---------------------

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan menulis ODOP7.

#nulishari03

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah