Percakapan dengan Sahabat

Aku pernah membenci seseorang karena dia anak tunggal, fasilitas lengkap, otak encer dan tidak pernah makan di tempat rakyat jelata makan. Tidak sehat, tidak pantas, dan kotor. Aku benci dia. Laki-laki yang terlalu steril itu bernama Dodit Subahar.

Awalnya aku tidak memperhatikan sosok Dodit. Aku memang kurang suka dengan kaum borjuis model itu. Di benakku sosok laki-laki itu harus kuat. Kuat terkena sinar matahari, kuat mengeluarkan keringat untuk orang-orang di sekitarnya, termasuk untuk orang-orang yang membutuhkan. Siapapun. Lelaki, perempuan, anak-anak, remaja, apalagi orang tua. Melakukan kehebatan tapi bukan showoff. Bukan menolong hanya untuk kelompok-kelompok setipe mereka. Aku benci kaum sok dermawan, tapi anti debu.

Namun, suatu hari sebuah peristiwa telah memalingkan wajahku pada laki-laki steril bernama Dodit itu. Senin pagi jam kuliah ilmu negara di mulai pukul 06.30 wib. Sebuah mobil sport tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Dan membuat langkah langsung terhenti. Aku menatap dingin pada kaca di bagian pengemudi. Tatapan tak bersalah dari laku-laki steril kubalas dengan tatapan dingin. Akan kutemukan cara untuk memberimu pelajaran. Sebuah tekad muncul mengetuk hati dan otak sehatku. Dodit turun berpaling ke arahku sebentar lalu berjalan santai menuju tangga. Pagi itu tepat di depan gedung kampus dibuat parkir beberapa mobil. Dari situ letak tangga menuju lantai dua tempat kuliah kelas pagi.

Langkah Dodit terhenti dan menatap tajam ke arahku. Tapi .... tidak. Bukan menatapku, tapi tatapan lurus ke belakangku. Sontak kuikuti tatapannya. Seorang ibu tua menggendong seorang anak yang mungkin berusia delapan atau sembilan tahunan. Langkahnya tertatih karena tubuh kurus ibu tua itu dibebani tubuh anaknya dan sebuah tas yang sudah jelek warna dan bentuknya. Banyak sobekan di kain bahan tas itu. Belum selendang yang menopang anak kecil itu sudah tidak layak disebut selendang. Mungkin sebentar lagi tidak akan mampu menahan tubuh anak itu. Aku hendak mendekati ibu tua itu ketika sebuah tepukan menahanku. Dodit! Menyodorkan  kertas tiga lembar ke arahku.

"Nitip," katanya.

Tanpa menunggu reaksiku, Dodit mendekati ibu tua. Entah apa yang dikatakan laki-laki steril itu hingga ibu tua mau dituntun melangkah kembali ke arahku. Oh bukan. Tetapi Dodit mengajak ibu tua itu ke mobilnya. Dodit melepas anak kecil dari gendongan ibu tua itu, lalu membukakan pintu tengah mempersilakan ibu itu naik. Tapi tas terjatuh dari lengan ibu tua saat tubuhnya sudah duduk di jok belakang sopir. Refleknaku berlari membantu mengambil tas ibu itu sementara Dodit meletakkan tubuh kecil di samping ibu tua. 

"Terima kasih." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Dodit kepadaku tanpa ekspresi. Tak lama dia menstater mobil dan menghilang bersama penumpangnya.    

"Mbak, kuliah pak Barda?" Sapaan dari pak Jul, tukang parkir kampus menyadarkanku.

"Eh iya, Pak," jawabku singkat.

"Pak Barda, barusan naik," kata pak Jul.

''Yuk, pak Jul." Aku langsung meluncur mengejar pak Barda.

Sesampai di kelas pak Barda sedang menerima lembaran-lembaran kertas tugas dari mahasiswanya. Aku mengumpulkan dua. Dan absen atas nama Dodit Bahar aku paraf.

Itu enam tahun lalu.
Sekarang Dodit di hadapanku terbaring di atas tempat tidurnya. Ada slang infus di punggung tangan kirinya.

"Kalau kamu sudah yakin kenapa ke sini, Dew?" tanya Dodit.

"Setelah ijab terjadi mungkin aku tidak bisa sering-sering ke sini, Dit," jawabku.

"Dia cemburu ya?"

"Katanya, aku cemburu pada sahabatmu," jawabku.

"Gak papa, Dew."

"Tapi kirimi aku kabarmu sesering mungkin ya?"

"Siap, komandan."

"Kamu datang, Dit. Aku akan kirim undangan ke kamu."

"Nggak usah, Dew. Paling aku sakit hati."

Mimik Dodit terlihat merajuk.

"Nggak lucu, Dit." Aku menyodorkan tisu pada Dodit lalu membenahi piring makannya. Memberikan botol minuman dengan sedotan.

"Dit, aku pulang ya, minggu depan undangan sampai ke sini."

"Dew...." Tangan Dodit menahan gerakanku menjauh.

Kubalikkan badan menghadap Dodit. Tatapan Dodit terasa begitu dalam.       "Jangan kirimi aku undangan ya?"

Akhirnya aku mengangguk setelah memindai retinanya mencari jawaban.

Drrrt ... drrrt ... drrrt

Suara getar gawai di saku blouse mengakhiri keberadaanku di kamar Dodit.

Sebuah pesan masuk : Sayang, kamu bertemu sahabat lagi?

---------------------
#Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tantangan menulis odop7.

#tantangan
#nulisodop7
#september
#OneDayOnePost

Komentar

  1. Seharusnya Pak tertulis pak
    selang jadi slang

    BalasHapus
  2. Ada yg janggal, knapa ada ibu2 tua di kampus, ya?😢

    BalasHapus
  3. Ini ceritanya Dodit jatuh cinta ke Dew?

    BalasHapus
  4. Jadi penasaran kelanjutannya. We want more.

    BalasHapus
  5. elipsis kalau di tengah tetap tiga titik Mbak ��

    BalasHapus
  6. Bagus imajinasinya, hanya ada beberapa kata yg masih salah y kak. πŸ˜πŸ™πŸ‘

    BalasHapus
  7. Apakah, Mbakgen benci aku juga ?
    Aku juga anak tunggal🀭🀭😜

    BalasHapus
  8. Ini serasa masuk dalam imaginasi. Next ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah