Mimpi


"Masih perlu waktu lagi, Rin?" tanya Blu waktu itu.

''Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang aneh saja. Aku ndak ikut," jawabku.

"Bukti sudah kamu lihat sendiri. Diajeng Nawang jatuh dipelukku. RM Ronggo pun bertekuk lutut. Aku pewaris tunggal kekayaan Sang Tuan Tanah dari desa Mlintir."

Blu selalu bangga dengan usahanya itu. Temanku ini sudah pernah diludahi oleh calon mertuanya. Aku hanya menatap Blu dengan kilatan berbagai peristiwa menyakitkan yang dialaminya.

"Ya sudah. Besok malam aku sama Topo berangkat. Kalau kamu berubah pikiran datang saja langsung ke kebun karet dekat terminal bus."

Aku berpisah dengan Blu. Setelah itu aku menduga tidak akan bertemu Blu minimal untuk jangka waktu tiga puluh hari ke depan. Tetapi perkiraanku meleset.

Hari belum terlalu malam istriku sudah merengek. Mendorongku untuk mencari pinjaman.

"Mas, kita tidak punya uang untuk makan besok. Bu Hindun sudah sengak saat tadi pagi lihat aku."

Aku tidak berani menatap istriku. Tubuhnya kurus dan daster yang dipakainya tinggal dua. Jika sekarang memakai yang warna biru berarti yang merah baru dicuci. Sedikit baju yang dia punya dan satu persatu sudah dijual di kios Wan Jalal untuk menutup utang di warung Bu Hindun agar tidak menumpuk terlalu tinggi. Tapi yah ...tetap saja utang masih banyak. 

"Dua hari lagi Minul harus bayar uang sekolah dan buku-bukunya. Kalau tidak dia tidak bisa ikut ujian minggu depan."

Istriku memang menerima cucian dan menyetrika baju-baju tetangga hanya cukup untuk membeli beras dan kerupuk buat makan Minul dan dua adiknya. Aku biasanya dibuatkan mi instan dibagi dua dengan ibunya Minul.

"Bu Mince sudah protes karena baju yang aku setrika tidak bau wangi."

"Mas! Diajak ngomong kok malah bengong. Lihat aku!"

"Aku tahu, Dik. Maafkan aku tidak bisa memenuhi kebutuhan kita." Aku tetap tidak berani menatap mata istriku.

Setelah menghela napas dengan berat hati aku bicara.

"Dik Susi, apa pun yang aku lakukan demi perekonomian kita akan kamu izinkan?" Aku masih menundukkan kepala.

"Lalu ... kenapa kamu tidak berani menatapku, Mas?"

"Aku ... a--ku...." Aku menarik napas panjang sebelum melepas dengan berat. 

"Ya sudah, terserah kamu, Mas. Atau anak-anak aku ajak pulang kampung."

Selama ini dik Susi mengikuti kemana pun aku berada, dia menjaga dan mengasuh anak-anak juga berani melakukan banyak hal agar pernikahan denganku hidup. Istriku tidak pernah marah kecuali keadaan sangat parah. Sekeras apa pun ombak mengombang-ambingkan biduk rumah tangga, tidak ada umpatan atau ungkapan rasa sesal karena memilih menikah denganku bukan dengan Bos Baskoro yang kaya raya yang kabarnya sekarang mempunyai empat istri. Susi tidak silau oleh harta.

Selain karena aku sangat mencintai dik Susi, istriku. Kakek juga mengancam akan mencoret namaku sebagai pewaris kekayaan kakek. Mungkin harta kakek tidak terlalu banyak, tapi setidaknya bisa untuk membiayai pendidikan anak-anak setinggi strata tiga. Itu kata almarhumah ibu.

Akhirnya aku pergi menemui Blu. Temanku itu sepertinya tidak terkejut ketika aku berubah pikiran.

"Santai, Bro, kita berangkat tiga hari lagi. Malam selasa kliwon kita ketemu di rumah mbah Kliwon. Jangan lupa."

Aku menepuk pundak Blu dan berlalu menuju rumah.
Tiga hari ini aku harus memanfaatkan waktu bersama dik Susi dan anak-anak karena apa yang akan terjadi setelah tiga hari itu aku tidak tahu.

Tiga hari ini aku memanjakan anak-anak dan ibunya. Mandi, membuat sarapan, malan siang dan makan malam yang selama tidak pernah mereka makan aku penuhi. Utang pun bersih tidak hanya di warung Bu Hindun saja. Utang di tempat bu RT juga lunas.

"Kamu sudah benar-benar yakin, Jek?"

"Yakin, Blu," jawabku mantap. Meskipun di dalam pikiranku ada rasa tidak tenang.

"Ya sudah, ini kartu atm dibawa. Ambil berapa yang kamu butuhkan untuk melunasi utangmu juga buatkan makanan enak untuk keluargamu." Blu menyodorkan kartu atm yang tidak biasa. Ada gambar pohon besar dengan buah yang lebat bergelantungan di ranting-rantingnya.

Rasa curiga terhapus oleh bayangan senyum bahagia istri dan anak-anakku. Benar saja, masalah ekonomi yang baik adalah sumber kebahagiaan suami dan istri. Kepala rumah tangga berfungsi dengan baik. Istri pun mampu membahagiakan anak-anak.

Tidak ada tagihan lagi dari sekolah anak-anak, tidak ada lagi sindiran pedas bu Hindun dan beberapa tetagga yang usil. Pikiran dik Susi tenang wajahnya selalu berseri tidak berkerut seperti biasanya.

Rasa nyaman dan aman itu selalu menimbulkan getar indah bila aku menatap atau tak sengaja bersentuhan tangan dengan dik Susi. Ada hormon pemicu libido kata Blu.

Semua yang dikatakan Blu benar. Dik Susi setiap malam bermain cantik di ranjang. Manuver-manuver sebelum Minul dan adik-adiknya lahir kini muncul kembali.

Namun, rasa deg-degan timbul tenggelam saat ingatan tertuju pada malam selasa kliwon harus ke rumah mbah Kliwon. Dp nya sudah aku terima kata, Blu. Dan itu berarti keberangkatanku tidak dapat dibatalkan.

"ATM itu sebagai dp alias down payment alias uang muka, Rin," pesan Blu.

Dan ....

Malam yang ditunggu akhirnya tiba. Besok selasa Kliwon nanti malam tepat pukul 12 aku harus sudah ada di rumah mbah Kliwon. Dari tadi sik Susi tidak.mau jauh dariku. Habis salat asar tadi aku sudah diajak bercumbu. Sehabis salat isya pun istriku masih bergairah. Dia berhasil membangkitkan gairahku seperti pengantin baru lagi. Aku bahagia tapi juga was-was. Pertanda apakah ini? Atau ini termasuk proses malam nanti?

Ketika aku harus bangkit untuk mandi, sepertinya dik Susi berat melepas pelukannya.

"Dik, mas harus mandi. Mas harus pergi."

"Tapi ...."

"Dik ... mas pergi demi masa depan kita, demi anak-anak."

Istriku menggeliat seksi melepas pelukannya. Melihat reaksi ibunya Minul sebenarnya aku pun berat meninggalkannya. Tetapi perjanjian dengan Blu sudah disepakati.

"Aku pergi dulu, Dik ...." Kucium kening istriku. Kebiasaan yang hilang setelah anak kedua lahir.

***

Sesampai di rumah mbah Kliwon aku lihat Blu sedang berbincang dengan lelaki tua berjenggot, sorban dan baju koko lelaki itu berwarna hitam. Keduanya duduk bersila di atas bangku lebar di teras rumah sederhana.

Aku mendekat sambil mengucap salam, tapi tidak ada jawaban dari Blu maupun orang tua itu.

"Eh Rin, sini Rin." Blu memberi tempat di sampingnya.

"Mbah, ini teman yang kuceritakan tadi."

"Rin, ini mbah Kliwon." Blu beralih menatapku. 

"Mbah ...." Aku dan mbah Kliwon bersalaman. Tiga buah cincin menghiasi jemari lelaki tua itu.

"Kamu sudah siap, kan?" tanya mbah Kliwon.

"Iya, Mbah, sudah," jawabku.

Mbah Kliwon sejenak menatapku. Apa mungkin dia tahu sedikit keraguan muncul dibenakku?

"Kembalikan kartu atm temanmu, kamu harus ke alamat ini malam ini. Ambil atm mu." Kalimat mbah Kliwon membuatku kaget dan ragu. Ambil atm? Secepat ini? Aku belum mengerjakan apa-apa.

Blu mengguncang lenganku.

"Rin ... ikuti saja kata mbah Kliwon. Sana," kata Blu.

"Pergi dulu, mbah ... Terima kasih." Aku bersalaman dengan mbah Kliwon dan Blu sebelum meninggalkan rumah sederhana itu.

Alamat di tanganku kenapa sebuah hotel? Sekali lagi aku baca kartu dari mbah Kliwon. Jalan Angkasa no. 2. Tapi benar alamat ini. Perlahan seperti ada yang mendorong langkahku untuk maju. Sebelum melewati pintu kaca demikian lebar dan tiba-tiba membuka sendiri aku kembali ragu. Penampilanku sangat tidak mendukung untuk datang ke tempat mewah ini. Tetapi aku harus memenuhi perjanjian.

Di depan resepsionis aku sudah disambut seakan mereka sudah tahu akan kedatanganku. Sebuah kunci bernomor 13 aku terima. Sesampai di depan pintu kamar nomor 13 aku ragu untuk membuka. Kata hati mengatakan aku harus balik, tapi apa daya kaki susah digerakkan seakan tertanam di lantai depan kamar nomor 13 itu.

Tanpa aku tahu dari mana datangnya, tiba-tiba seorang laki-laki muda berseragam hotel menyapaku.

"Bapak butuh bantuan kami?"

"Kunci ini ...." tanyaku menggantung. Ingin rasanya meninggalkan kamar itu dan keluar dari hotel aneh ini, tapi lagi-lagi kaki tidak dapat digerakkan kecuali melangkah maju.

"Iya, Pak. Ini kamarnya."

Aku mengangguk mengucapkan terima kasih lalu membuka pintu kamar nomor 13. Kamar begitu besar dan harum. Kasurnya rapi dengan sprei dan bantal corak bunga mawar mekar begitu besar. Seumur-umur aku belum pernah tahu ada kamar sebagus ini. Ini pasti mahal.
Bagaimana aku membayar kamarnya? Kenapa mbah Kliwon mengenal tempat seperti ini? Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul.

Namun, aku beranikan diri memegang tempat tidur, memijitnya. Empuk dan lembut. Mungkin ini springbed seperti yang Blu katakan. Aku duduk di atas tempat tidur itu. Pantat ku tenggelam dalam busa kasur. Dalam kekaguman dan kebingunganku tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Sebelum aku berdiri pintu sudah.terbuka. Mataku melotot melihat makhluk yang berdiri di depan pintu kamar lalu menutupnya.

"Selamat malam, Mas Rin?" Suara merdu dan manja itu membuat naluri kelelakianku tergugah tapi kemudian timbul rasa malu mengingat dik Susi. Wanita yang sangat kucintai dan menyintaiku.

Tubuh tinggi semampai dengan dandanan yang enak dipandang mengenakan blaser sewarna dengan roknya. Bagian dada blaser terlalu rendah sehingga dua gundukan daging di sana mengintip. Terlihat tegak dan putih mulus. Ku telan liur. Saat wanita itu melangkah rok bawahan sepanjang mata kaki itu ternyata menyimpan belahan hingga di atas lutut. Kaki jenjang putih mulus itu berhasil membulatkan bola mataku. Sepatu hak tinggi berwarna hijau lumut dilepas seiring langkah wanita itu mendekat ke arahku.

Tubuhnya kini berjarak sekitar tiga puluh sentimeter dari tubuhku. Aroma parfum menggelitik jiwa. Perlahan gerakan seksi menggoda iman. Melihat aku gugup wanita itu tersenyum manja. Satu kakinya diangkat ke tepi tempat tidur semakin menampakkan pemandangan di balik belahan rok bawahan. Tanpa basa-basi blaser dia lepas. Mataku tak bisa lepas dari sana. Sebuah bentuk keindahan yang mampu menitikkan keringat di dahi hanya tinggal separuh uluran tangan. Sangat dekat. Bayangan ibunya Menul kembali muncul. Bagian-bagian indah di tubuh istriku tidak seindah di depan mataku saat ini. Tubuhku bergetar.

"Panggil aku Mayang, Mas. Sebentar lagi aku akan melepas semua beban Mas Rin."

Belum juga aku dapat menguasai diri tiba-tiba Mayang menarik tanganku ke dadanya. Selanjutnya gerakan erotis yang tidak mampu aku tolak. Namun bayangan ibunya Menul pun tidak menjauh dari benakku. Kemudian Mayang memulainya. Meskipun hatiku menolak, tapi semua terjadi dengan hebat. Wajah dik Susi tidak lepas dari otakku, dari benakku dan dari mataku. Aku melayani Mayang dengan air mata menetes. Kuakui pergulatan itu lebih hebat dari pergulatanku dengan ibunya Menul, hingga membuatku mengulangnya lagi, lagi, dan lagi. Kenikmatan yang luar biasa baru saja berakhir. Ekspresi kepuasan di wajah wanita seksi itu terpancar jelas. Mayang mengenakan kembali blaser, rok bawahan dan sepatunya. Rambutnya disisir dengan jari-jari lentik. Mayang membungkuk di depanku yang masih terbaring lemas. Tenagaku memang habis terkuras bersama Mayang. Bibirnya melumat bibirku yang tidak menolak. Lalu perlahan melepas bibirku yang enggan dijauhkan.

"Ini atm-mu. Isinya sehebat layananmu."

Aku terhenyak mendapati kartu warna hijau lumut dengan gambar pohon dan buah yang bergelantungan di ranting-rantingnya. Sama persis milik Blu.

"Kamu sekarang mengabdi padaku. Sudah tidak zamannya bermain dengan bunga tujuh rupa maupun kemeyan. Aku ingin setiap selasa kliwon Mas menemui Mayang di sini."

Ucapan selesai dan Mayang menghilang. Aku langsung bangun mencari Mayang. Pintu masih terkunci.

Sebuah sisik warna hijau lumut keemasan kutemukan di samping kartu atm.

"Maafkan aku, dik Susi...."

--------------------------------------

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah