Hanya Rindu

Tidak ada lagi lagu dari salon sembermu. Banyak keisengan yang telah kamu buat tapi tingkahmu waktu itu benar-benar tidak dapat kulupakan.

"Sampai besok, Wik," serumu. Langkah panjang menuju tempat parkir. Entah apa yang membuat seseorang setergesa itu di zaman merdeka seperti saat ini. Kalau menurutku alasan yang paling masuk akal untuk ketergesaan si usil itu adalah panggilan alam. Perut mulas! Tetapi dasar manusia usil ternyata sudah punya janji dengan tambatan hatimu.

Namun, sebelum meluncur keluar gedung kamu sempatkan menghampiri langkahku .

"Wik, jangan lupa email-mu dibuka," serumu. Lalu motor membawamu menjauh.

Dasar anak resek. Aku menjadi penasaran. Segera kupacu motor dengan angka di speedo meter 70. Sepertinya aku tertular ketergesaan untuk memenuhi penggilan alam.

Sesampai di rumah motor aku parkir di garasi. Sepatu kulempar di dari kaki. Entah mendarat samping motor atau meluncur menyusup di bawah meja makan. Sebelum sampai ke kamar aku dicegat bi Sumi.

"Non Denok mau sambal bawang atau sambal terasi?"

"Sambal terasi, Bik."

"Baik, Non...." Lalu bi Sumi membalikkan badan menuju arah berlawanan denganku. Aku ingat sesuatu dan  berbalik memanggil bi Sumi.

"Bik, jangan ganggu aku ya? Nanti aku turun jam tiga."

"Iya, Non. Makan siang bibi taruh di tempat biasa ya."

"Makasih, Bik."

Tempat paling nyaman di rumah ini adalah kamarku. Aku bisa melakukan apa saja di kamar tanpa gangguan. Kecuali menikmati sabu-sabu tropika!

Tas sudah kulempar di kursi. Karpet kecil tergelar. Aku menata posisi lengkap dengan komputer jinjing.

Perlahan kubuka email dengan debar penasaran tinggi. Tidak biasanya si usil itu memberitahu lebih dulu tentang email biasanya dua hari setelah kirim baru memberi tahu. Itu pun dengan pertanyaan, "sudah kamu buka emailku, Wik?"

Memakan waktu beberapa detik membuka email berisi dua video besar.

Video di awali dengan celoteh Si Usil, lalu adegan demi adegan tentang dirinya. Ketika dirinya malam-malam mampir ke rumah minta tolong dibuatkan resume kasus yang diajukan di peradilan semu di kampus. Dilanjutkan waktu aku mengantar dia ke klinik kakak sepupunya. Kemudian terlihat dia meneteskan air mata di depan tubuhku yang kurus ketika aku di rumah sakit karena usus meradang. Senyumku dan rasa haru menguasai selama menonton video kiriman Si Usil.   

Saat video kedua kubuka. Rasa heran dan kaget menguasai diri.

"Hai sahabat baik. Jangan kaget ya aku duduk di kursi roda sialan ini. Tapi inilah keadaanku yang sebenarnya. Aku minta maaf pada malam itu harus meninggalkanmu dengan memanggil taksi online untuk mengantarmu pulang. Aku juga menyayangimu, sahabat. Bahkan lebih dari rasa sayangmu. Tetapi mungkin setelah kamu menonton video ini kita tidak akan bertemu lagi. Tetapi aku lega sudah minta maaf, Wik. ...."

Aku langsung mengambil gawai. Memencet nomor Si Usil. Tidak diangkat. Aku ulangi beberapa kali tapi tidak ada reaksi. Dalam kepanikan aku pencet nomor kak Lidia. Lama tersambung tapi tidak diangkat. Lagi. Yah, aku coba sekali lagi. Setelah lama tersambung baru diangkat. Suara kak Linda di ujung gawai.

"Wik, maaf ya, kami di rumah sakit...." Kak Linda belum selesai bicara tapi aku sudah memotongnya.

"Siapa, Kak? Bukan Aldi, kan?" Aku hampir terisak.

Samar sempat kudengar suara kak Linda sebelum tubuhku lunglai.

"Sayangnya Aldi, Wik."

"Maafkan jika selama ini Aldi punya salah ya, Wik ...."

Tetapi semua sudah ketentuan ILLAHI. Apa daya manusia.
Hari ini lima tahun Si Usil pergi.
Dan hari ini pula Si Resek ulang tahun ke 32 tahun.

Selamat Ulang Tahun, sobat.
Tuhan, aku hanya rindu.

----------------

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah