Menunggumu

Cerita tentang cinta memang tidak ada habisnya. Cinta sebenarnya sebuah rasa yang mempunyai arti sangat luas, tapi kadang kita memahaminya secara egois. Maunya cinta ya sepengertian yang kita inginkan. Padahal cinta itu luar biasa. Dia mampu membuat seorang manusia tiba-tiba menjadi baik, sangat baik bahkan sangat alim. Cinta pun dapat menyihir manusia menjadi hero atau pahlawan, bisa menjadi manusia hebat atau bahkan sebaliknya.
.

Seperti siang ini aku lihat Bejo sedang duduk di warung mbak Leha di samping pabrik sepatu. Jika melihat isapan rokok yang terselip di antara jemarinya, mungkin laki-laki berkulit gelap itu benar-benar sedang galau.
.

Jam istirahat baru lewat lima menit, tapi di depan Bejo sudah ada secangkir kopi yang isinya tinggal separuh. Berarti sebelum pukul dua belas tadi dia sudah bersiap kabur.
.

"Hai, Jo," sapaku. Dia sedikit kaget dengan tepukan di pundaknya.
.

"Hai, Mat," jawab Bejo. "Suka amat membuat kaget orang ganteng," lanjut Bejo.
.

"Ganteng? Siapa yang ganteng?" Aku duduk di samping Bejo yang kembali asyik dengan hisapan rokok dan kepulan asapnya.
.

"Berisik," seru Bejo. Posisinya masih tidak berubah.
.

"Orang ganteng kok setiap hari galau. Memangnya dunia hanya selebar daun pepaya ya?" ejekku.
.

"Dasar jomlo ... jomlo abadi." Bejo mengejek balik. Posisi duduknya berubah. Satu kakinya dia tekuk di atas bangku dan kini tubuhnya menghadap ke arahku. Aku yakin setelah ini pasti ada yang akan dibicarakan Bejo. Tapi aku pura-pura tidak perduli.
.

"Mbak Leha, aku mie instan saja yang rasa soto, tambah cabai dan sawi biasa."
.

"Iya, Mas," jawab mbk Leha dengan senyum manis. Wanita dengan satu anak ini baru tiga bulan menjanda karena suaminya meninggal kecelakaan. Keadaan itu pula yang membuat warung mbak Leha selalu ramai. Apalagi satpam-satpam pabrik dan perumahan dekat sini saling berebut perhatian mbak Leha. Tetapi aku lihat selama ini mbak Leha tidak pernah terpengaruh.
.

"Mat, aku dengar Tutik mau nikah," kata Bejo. Membubarkan tatapanku pada mbak Leha. Kalau tentang Bejo tebakanku selalu benar.
.

"Loh? Ya biarkan ... memang kamu ke ganggu, Jo?" sahutku.
.

"Ke ganggu nggak keganggu sih...."
.

"Loh? Kamu cemburu, Jo? Tidak rela mantanmu ada yang menyukainya?"
.

"Bukan gitu, Mat," dalih Bejo.
.
Aku perhatikan wajah Bejo memerah.
.
"Mi nya mas Amat." Mbak Leha meletakkan mangkuk di atas piring kecil ke depanku.
.

"Terima kasih, Mbak."
.
Mbak Leha hanya mengangguk. Aku lihat ada kecemasan di wajahnya yang sesekali tatapannya beralih ke jalan.
.

"Niken dijemput pakde Karyo, Mbak?" tanyaku.
.

"Iya, Mas ... tapi kok jam segini belum pulang."
Benar mbak Leha sedang cemas.
.
"Bawa gawai, kan, mbak?" tanyaku.
.
"Iya, tapi ditelepon nggak diangkat, Mas."
.
"Habis ini aku susulkan, Mbak," sahut Bejo tiba-tiba.
Tanganku langsung menepuk punggung Bejo sambil mendekatkan wajahku ke telinganya.
.
"Modus?"
.
"Dasar jomlo," bisik Bejo.
.
"Nggak usah, Mas Bejo. Sudah Leha kirim pesan kok," kata mbak Leha lirih. Kecemasan di wajah putih mbak Leha tidak mengurangi manisnya senyum di wajahnya.
.
"Budhe Karyo masih sakit, Mbak?" tanya Bejo lagi. Tatapannya melekat di paras ayu mbak Leha.
.
"Ibu sudah mendingan, Mas," jawab mbak Leha.
.

"Mungkin jalanan hari ini macet, Mbak," hiburku.
Perlahan mbak Leha kembali ke belakang.
.
Aku menikmati mi buatan mbak Leha dan Bejo mengambil sebungkus kacang untuk dimakannya.
Tak lama suara sepeda motor yang sangat akrab di telingaku mendekat dan berhenti di sisi kanan warung, tepat di sampingku sebelah kanan.
.

"Assalamuallaikum....." Suara salam menghentikan gerakan tanganku di mangkuk. Ku berpaling pada si empunya suara.
.

"Wallaikumsalam ... pakdhe Karyo, Niken," seruku. Aku ikut lega mendengar suara kakek dan cucu itu.
.

Setelah pakdhe Karyo menurunkan Niken dari motor dia menggandeng sang cucu ke belakang. Mbak Leha tiba-tiba muncul dengan wajah semringah sambil membalas salam orang tuanya. Niken pun mencium tangan ibunya.
.

Pakdhe Karyo keluar kembali lalu mendekat ke bangku yang melintang di sisi warung.
.
"Kok kelihatan lelah, pakdhe?" sapa Bejo.
.
"Iya, Nak Bejo. Tadi ada kecelakaan, jadi pulangnya muter lewat jalan kampung," jawab Pakdhe Karyo.
.

"Kecelakaan apa, Pakdhe?" tanyaku.
.
"Sepeda motor sama sepeda motor di tikungan jalan Diponegoro," jawab Pakdhe.
.

"Tidak ada korban jiwa, kan?" tanyaku.
.

"Hanya laki-laki yang bawa motor warna putih metalik yang jatuh tertindih motornya."
.
Aku dengar Bejo tersedak dan itu memancingku untuk tidak mengabaikan wajah laki-laki mantan suami Tutik itu. Segera dia seruput kopi di cangkir yang tinggal sedikit.
.
"Ada yang boncengan nggak, Pakdhe?"
Mendengar pertanyaan Bejo membuat alisku bergerak. Aku penasaran.
.

"Oh ya syukur...," kata Bejo. Ada nada lega di suaranya.
.
"Siapa, Jo?"
.
"Bukan siapa-siapa," jawab Bejo. Kopi diseruput hampir dengan gelasnya.
.
"Jo?" tanyaku mengejar.
.
"Tutik," jawab Bejo singkat. Aku melihat wajahnya sedikit memerah bata.
.
"Jadi ...?"
.
"Iya. Motor itu mirip motor pacar Tutik." Ada semburat rasa malu di wajah Bejo.
.
"Heeem ... paham aku."
.
Bejo menurunkan kaki dan memutar tubuhnya tidak berhadapan lagi denganku.
.
"Nggak gitu, Mat. Tutik kan ibu anak-anakku." Jawaban Bejo kali ini sangat realistis sehingga aku nggak bisa mengejeknya.
.

"Dian dan Budi, kan, ikut Tutik, Mat...." Bejo menghela napas sebelum melanjutkan bicara. "Jadi dengan orang macam apa Tutik menikah lagi itu penting buatku.''

------------------

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tantangan menulis #ODOP7
#nulishari01

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah