Kabut Pagi

     Sudah lima malam aku tidak melihat Purwadi, dan tidak ada yang tahu ke mana perginya. Yang membuat aneh itu sebelum adzan subuh anak fakultas teknik itu sudah tergeletak mendengkur di lantai teras tanpa alas. Selama dua minggu KKN di desa Blimbing khususnya di dusun Kunti, Purwadi dan tujuh temanku di tim tidak pernah meninggalkan rumah pak Kadus tanpa izin. Dan tidak pernah sendirian, tapi ini? Purwadi sendirian. Membuat keluarga pak Kadus dan teman-temanku kebingungan.

"Mil, kenapa sih kamu nggak mendengar kata-kata Anis dan bu Kadus?" tanya Joned. Dia bendahara di tim.

"Malam kemarin Anis melihat Purwadi berdiri di pinggir sawah juragan Kardi seperti sedang bicara tapi di sana dia sendirian. Jangan-jangan, kisah warga itu ...."

Rika tidak melanjutkan bicaranya. Dia menatap keluar rumah dengan wajah takut. Rika memang paling penakut di antara yang lain. Meskipun non muslim tetapi dia paling rajin mengingatkan teman-temannya untuk salat.

"Kamu tahu, kan, itu dekat dengan hutan diam, Mil?"

Aku menatap Rika sambil mengangguk.

"Namanya hutan diam, mungkin saja orang-orang menjadi pendiam tiba-tiba sebelum akhirnya mereka ditelan hutan itu," cerocos Rika.

"Rik, sok tahu ah kamu," sahut Bintoro. Anak yang paling tidak penakut tapi juga paling usil.

"Sudah sudah... sebaiknya kita berdoa sambil mencari informasi. Kita harus sering berbincang dengan umi Khusnul dan Abah Sobari." Aku berusaha menghentikan spekulasi-spekulasi di luar kendali pikiran Rika.

"Setidaknya Purwadi masih kembali dan bisa diajak bicara." Bintoro menatapku berusaha menenangkan.

"Oya, Bin, program ke rumah ibu Dar hari ini terakhir, kan? tanyaku.

Bintoro mengangguk sebelum menjawab, " Kemarin Cici bilang hari ini dia dan Rudi langsung ketemu pak Kades di kelurahan. Nanti setelah semua selesai mereka pasti telepon kok, Mil," kata Bintoro.

"Urusan jambanisasi di gang tiga sudah beres juga. Berarti kita tinggal sosialisasi program keluarga berencana demi kesehatan ibu-ibu desa Blimbing," kataku.

"Jadwal pertemuan Kordes di kecamatan dua hari, kan, Mil? Nanti sore kita kumpul minus Cici dan Rudi," kata Joned.

Aku dan Bintoro mengiyakan. Tiga cangkir teh sudah tidak hangat segera kami sruput.

"Assalmuallaikum ...." Suara salam terdengar lebih dari satu suara. Aku, Joned dan Bintoro berpaling pada sumber suara sambil menjawab salam.

"Wallaikumsalam."

"Hai Ujang... Lemi, kamu So?" seru Bintoro.

"Iya, Mas," jawab Lemi. Ujang dan Harso menyalami aku dan Joned.

"Ayo duduk... ada kabar apa, nih?" tanya Bintoro.

"Mbak Mil, kami lihat Mas Purwadi mandi telanjang di sendang bisu," kata Ujang. Lemi dan Harso mengangguk. Ada ketegangan di wajah tiga pemuda itu.

Joned menatapku sambil menggerakkan dagunya ke atas seakan memberi pertanyaan yang harus dijawab.

"Kamu sama Lemi jemput Abah, Ned," pintaku. "Pinjam motor bu Kadus tuh di belakang. Sekalian minta tolong bu Kadus menelpon pak Kadus," lanjutku.

"Aku sama Ujang ke TKP, Mil," seru Bintoro.

"Aku ikut." Aku harus melihat keadaan Purwadi di sendang bisu.

"Itu sendang yang sebelahnya akan kita bangun jamban kedua, kan?" tanya Bintoro agak berbisik. Aku menjawab dengan anggukan kepala.

Ayat kursi aku lantunkan berkali-kali di dalam hati hingga sampai di tempat Purwadi mandi. Sedianya aku was-was takut Purwadi benar-benar telanjang. Tetapi terlihat dia sedang berendam dari perut ke bawah. Matanya terpejam dan kedua pergelangan tangannya saling tindih persis seperti patung budha sedang semedi.

"Ssst ... lihat," bisik Bintoro. Entah siapa yang diajaknya bicara, tapi aku dan Ujang mengikuti telunjuk Bintoro ke arah sendang.

"Ayo, Mas, kita bangunkan, Mas Pur," ajak Ujang. "Takut kenapa-napa," lanjutnya.

Aku dan Bintoro mengikuti Ujang. Jalan menuju sendang tidak mudah. Disamping jalan tidak rata juga ada gundukan-gundukan bebatuan yang licin. Ujang telah jauh sementara aku dan Bintoro tertinggal di belakang beberapa langkah.

Ujang sudah turun digenangan air sendang setinggi perut. Tak lama posisi Ujang sudah tersusul. Sepatu sniker ku dan milik Bintoro dilepas diletakkan di atas batu bersama sandal karet Ujang. 

"Mas! Mas Pur! Bangun, Mas!" seru Ujang. Aku dan Bintoro ikut mengguncang tubuh Purwadi.

"Dingin, Jang!" seru Bintoro.

Melihat kepanikan Bintoro aku pun ikut panik.

"Jang ... gimana ini?" tanyaku bingung.

"Mbak, Mas ... kita bangunkan mas Pur bersama-sama. Jangan lupa sambil membaca ayat kursi dalam hati. Yakinkan diri," kata Ujang tegas.

Aku dan Bintoro mengangguk.

"Siap, mbak? Mas Bin?" tanya Ujang.

"Iya, Jang," jawanbku.

"Siap," jawab Bintoro.

"Bismillahirohnanirrohim ...."

Ujang melepas tautan tangan Purwadi tapi tautannya terlalu kuat sehingga harus dilakukan berkali-kali. Aku mengguncang pundak Purwadi dari belakang sedangkan Bintoro menepuk-nepuk pipi Purwadi. Tidak ada yang berubah dengan posisi Purwadi tubuhnya maaih dingin dan kaku. Tetapi kami tidak menyerah. Sekuat tenanga kami berusaha membangunkan dengan menyuarakan lantunan ayat kursi, tidak di dalam hati lagi.

Perlahan tubuh Purwadi melemas dan tak lama tubuh kerempeng anak fakultas teknik itu ambruk ke air, tapi tangan Bintoro cekatan segera menangkap tubuh Purwadi. Ujang membantu menyeret tubuh diam itu keluar dari air.

Beruntung Joned dan Abah cepat datang. Dua sepeda motor terparkir tak jauh dari sendang. Tubuh Purwandi tanpa baju memang tapi celana dalamnya celana kolor jadi tidak terlalu terbuka, dapat dibaringkan di tempat yang kering. Sorban Abah digelar untuk alas tubuh kerempeng itu.

"Bismillahirohmanirrohim ...." ucap Abah.

"Kita baca alfatihah, dan ayat kursi sebanyak mungkin sampai Purwadi tersadar. Usahan sebelum magrib kita sudah keluar dari daerah sini," kata Abah lagi.

Perintah Abah kami jalani. Abah terlihat sedang mengusap seluruh tubuh Purwadi berulng-ulang dari ujung kepala hingga perut. Lalu ditepuk-tepuk perut tubuh krempeng itu. Tiba-tiba Purwadi membuka mata sambil terbatuk dan air berleleran keluar melalui mulutnya.

"Alhamdulillah ...." Abah mengawali berucap syukur sebelum aku, Ujang dan Bintoro.

"Kita pulang sekarang, Bah?" ajak Ujang.

"Baik, Jang," jawab Abah.

Aku dan Bintoro mengangguk lalu segera membenahi barang-barang Purwadi.

"Aku kenapa, Bin?" tanya Purwadi.

"Kami yang harusnya tanya kamu," jawab Bintoro.

"Kita pulang dulu, Nak Pur. Nanti cerita di rumah saja," kata Abah.

"Bin, kamu sama Mila ya. Biar Abah dan Purwadi ikut motor satunya denganku," kata Ujang.

"Sip, Jang," jawab Bintoro.

Motor Ujang dinaiki bertiga melaju di depan motor Bintoro dan Mila.

"Kenapa Abah yang bareng Pur?" tanyaku.

"Abah masih belum yakin Pur sudah benar-benar sadar. Tuh tasbihnya dilingkarkan di leher Pur." Aku hanya diam.mendengar penjelasan Bintoro.

Kalau boleh jujur aku kurang yakin dengan kejadian di sendang tadi. Menurutku sih biasa saja. Purwadi yang menganut islam kejawen memang suka aneh-aneh sejak tiba di desa Blimbing tempat tim empat KKN dari Kampus Merah.

"Hampir magrib, Mil, berdoa biar lancar sampai rumah pak Kadus."

Aku mengangguk.

Syukur alhamdulillah magrib kurang tiga puluh menit sudah sampai di rumah pak Kadus.

Pak Kadus dan istrinya sudah menunggu, begitu pula Umi Khusnul istri Abah. Anis dan adiknya, Pitoyo pun tak ketinggalan. Ada dua pemuda yang setahuku pemuda yang bersorban dengan gamis warna hitam berdiri di samping pak Kadus itu anak juragan Kardi.

"Apa, Mil." Tiba-tiba Bintoro menyikutku.
"Itu Arif. Ganteng ya," kata Bintoro.

"Kamu!" bentakku lirih.

"Dia calon ustad, Mil. Jomblo," ujar Bintoro.

"Dasar laki-laki bawel," olokku.

Aku lihat Abah bicara dengan pak Kadus dan Arif. Tak lama kemudian pak Kadus meminta kami semua salat magrib berjamaah di rumah.

"Nak Pur, ikuti Abah ke kamar mandi ya? Untuk yang lain ambil wudlu di samping rumah atau di sumur depan ya, di rumah pak Wahid," perintah pak Kadus.

"Nak Bin, tolong ambil tikar kamar dekatnya ruang makan, ya?" kata pak Kadus.

"Ya, Pak," jawab Bintoro. Langkahnya diikuti Ujang dan Joned.

Setelah tikar menutup lantai ruang tamu di rumah pak Kadus dan semua sudah menutup shaf, salat magrib berjamaah dimulai dengan imam, Arif. Abah masih berdampingan dengan Purwadi.

Selesai salat, para jamaah tidak beranjak dari tempatnya duduk. Pak Kadus, Abah, Purwadi, aku, Joned, Bintoro, Rika, dan Arif duduk melingkar. Ketika Abah mulai tanya-tanya dan Purwadi pun bercerita.

"Seorang bocah laki-laki berbaju koko putih dengan sarung lurik minta tolong.  Saya digandeng sampai disebuah rumah berbentuk joglo." Purwadi terdiam sejenak lalu menelan ludah sebelum kembali cerita.

"Dari mana bocah itu muncul?" tanya Arif.

Purwadi tidak langsung menjawab. Dia terdiam cukup lama sebelum menatap  tajam calon ustad muda itu dan kemudian kembali bicara.

"Bocah itu keluar dari balik kabut pagi itu," jawab Purwadi tanpa ekspresi.

"Bocah itu meminta saya untuk mengambil kelapa di atas pohon dekat sungai yang berbatu,'' lanjutnya.

"Anda merasa ada yang aneh?" tanya Arif lagi. Kali ini wajahnya terlihat sejuk dan tenang.

"Hmmm ... saya melihat teman-teman di kejauhan tapi mereka tidak membalas lambaian tangan saya."

"Saat ini, di sini ... ada yang berpakaian aneh nggak?" tanya Arif.

Purwadi terdiam lama. Tatapannya seperti menerobos sebuah celah. Melihat keadaan ini Arif dan temannya langsung duduk di depan Purwadi. Abah semakin kusyuk memainkan jemarinya pada tasbih di tangan. Wirid panjang tak dilonggarkan sedikit pun.

Purwadi sempat terkekeh sebelum badannya menggeliat ke sana kemari. Lalu badan Purwadi menjadi kaku dan  kejang-kejang. Setelah terdengar suara seperti orang sendawa yang panjang Purwadi pun roboh.

Aku belum pernah melihat hal aneh seperti ini. Selama ini hal-hal yang jauh dijelaskan secara akal sehat tidak pernah percaya sedikit pun. Tetapi ini terjadi di depan mata.

"Kata orang, bu Ijah pernah melihat juragan Kardi melakukan ritual menggunakan kemenyan." Sebuah suara bisikan dekat di telinga.

Ketika aku menengok ke belakang, ternyata tidak ada siapa-siapa.

-------------------------

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tantangan menulis ODOP7.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah