Galih

     Gadis berambut sebahu beralis tebal itu bernama Menik. Wanita jawa tulen yang dilahirkan dari rahim ibu Pergiwati mendapat sponsor dari bapak Gunardi. Menjadi anak semata wayang dari keluarga terpandang di desa Menjangan memang tidak mudah. Apalagi Menik cantik dan berpendidikan. Pasti segala tindak tanduknya mendapat perhatian khusus dari masyarakat sekitar.

     Hari ini Menik pulang. Yang biasanya dua minggu sekali dia pulang, bulan ini gadis itu telah satu bulan baru pulang. Jarak rumah ke pusat kota memang tidak jauh, tapi Menik memilih tinggal di asrama putri di kampusnya. Yah, gadis manis pak Gunardi itu kuliah sudah semester empat di pusat kota.

"Jok, kamu ndak ke rumah Menik, to?" Logat medok bahasa jawa terasa kental.

"Loh? Menik bali, Gus?"

"Masak kamu ndak tahu? Atau pura-pura ndak tahu?"

"Aku ra ngerti tenan, Gus. Lah kok kamu tahu... soko endi? Dari mana...."

"Bu Pergi kemarin ke rumahku ...."

Belum selesai kalimat Gus sudah dipotong Jok.

"Sik sik to bentar ... Ibunya Menik ke rumahmu? Ketemu Simbokmu?" tanya Jok. Kening laki-laki yang diam-diam menyukai Menik itu berkerut.

"Hemmm... cemburu," goda Gus.

"Ora ngono, Gus. Ndak gitu...."

"Terus...?" kejar Agus.

"Ada perlu apa ke rumahmu?" tanya Jok.

"Tenan ki rak cemburu? Benar ndak cemburu?" goda Gus.

"Ndak. Aku ndak cemburu," jawab Joko sambil memalingkan wajah ke arah lain.

"Nek Simbok melamar Menik, pie? Kalau Simbok melamar yakin kamu ikhlas?" Gus masih menggoda temannya.

"Ndak mungkin Menik mau sama kamu, Gus. Sekolahmu wae mung tamat SMK bagian mesin. Rupa mu kui kalah ngganteng karo Lik Bendod, lah Menik ayu koyok Dewi Sinta ngono kok," ejek Jok.

"Weleh weleh ... bujang lapuk siji iki kok malah ngece ...." Gus balik mengejek Jok.

Dua sahabat itu sudah seperti saudara kandung jadi saling ejek itu tidak menyakiti perasaan keduanya.

"Wes wes ... ono opo bu Pergi kok ke rumahmu?" Akhirnya Jok menengahi gurauan.

"Bu Pergi mau menjahit kebaya sarimbit dengan beskap buat pak Gunardi," jawab Gus.

"Kebaya karo beskap? Meh nggo kondangan po?"

"Ndak, Jok," jawab Gus. Mereka berdua saling tatap. Gus menatap Jok puas menggoda sedang Jok menatap heran penuh tanya.

"Koe ngerti ra...?" Gus sengaja menggantung kalimat agar Jok makin penasaran.

"Apa?" Jok memang penasaran. "Ayo to... koe ki nek ngomong sing jelas, ojo dipedot-pedot," lanjut Jok.

"Kata Simbok, buat menyambut pak Bupati sama bu Bupati. Mereka mau ke rumah bersama anak laki-lakinya. Teman Menik katanya." Kalimat Gus berhenti bersamaan melototnya dua bola mata bundar milik Jok.

"Rasah kaget koyo ngono, Jok. Diterimo wae nek awake dewe ki ora iso nggayuh rembulan." Kata-kata Gus terdengar telak dan bijak.

Diterima saja kalau kita berdua tidak mungkin menggapai bulan di langit.

     Memang Menik terlalu tinggi untuk laki-laki macam Gus dan Jok. Mereka berdua sangat menyadari itu. Jok dan Gus hanya mampu saling ejek berandai-andai memperebutkan kembang desa Menjangan.

     Namun, tidak dengan Bambang. Bujangan desa Mayang tetangga desa Menjangan yang selalu berambisi menaklukkan gadis dan janda-janda muda dan cantik.

     Hari itu Bambang mendatangi Gus dan Jok di pos ronda yang terletak di perbatasan antara desa Menjangan dengan desa Mayang.

"Gus, Jok ... besok malam antar aku ke rumah pakdhe Gunardi yo?

"Ada apa Kang Bambang mau ke rumah Menik?" tanya Gus.

"Aku mau mengajak Menik nonton di kota," jawab Bambang yakin. Wajah Jok dan Gus terlihat enggan menanggapi. Siapapun yang waras pasti malas berbincang dengan Bambang.

Pak Sastro terkenal kaya dan baik. Tanahnya terhampar hampir separuh desa Mayang ditanami beberapa macam palawija. Belum pabrik sepatu di kota. Juga beberapa ricemill di empat desa terdekat. Beliau hanya dikaruniai seorang anak laki-laki yang gagah bernama Bambang Wintako. Sayangnya sifat Pak Sastro dan istrinya tidak menurun pada satu-satunya pewaris kekayaan mereka. Bambang tumbuh menjadi laki-laki yang suka memanfaatkan kekayaan bapaknya untuk kesenangan pribadi.

"Selamat sore." Sebuah suara mengagetkan tiga bujangan di pos ronda. Mata Gus dan Jok sempat terpana melihat sosok laki-laki tinggi besar berkulit bersih. Meskipun hanya kaos lengan pendek dengan celana jeans tetapi terlihat rapi. Aroma parfum pun wangi. Sikapnya yang sopan dan tenang melengkapi kesempurnaan penampilan laki-laki itu. Membuat Gus dan Jok kagum. Namun membuat naluri persaingan Bambang langsung muncul.

"Sore," jawab Bambang ketus.

"Sore, Mas," jawab Jok dan Gus hampir bersamaan.

"Maaf, mau tanya rumah dik Menik sebelah mana ya?"

"Sebelah sana, Mas," tunjuk Gus spontan. Jok langsung menyikut Gus.

"Hussss, ngawur kamu. Sana mana, kan masih jauh," bisik Jok.

"Kamu siapa kok tanya rumah Menik," tanya Bambang masih ketus.

Jok dan Gus saling berpandangan menyaksikan tingkah Bambang. Sedangkan laki-laki yang ditanya hanya tersenyum dan sikapnya begitu sopan.

"Saya temannya kuliah," jawab laki-laki itu.

Sebuah mobil sport yang gagah ditambah warnanya yang hitammenambah kesan tangguh terparkir di seberang jalan. Jok yang tamat SMK bagian mesin dengan nilai tertinggi se kapubaten itu langsung berkomentar.

"Mobil keren. Car Of The year 2016."

Laki-laki teman kuliah Menik tersenyum ke arah Jok.

"Mas Galih?" Suara cempreng hadir di antara mereka.

"Lik Jarwo?" seru Gus. Jok langsung membalikkan tubuh ke arah Lik Jarwo. Siapa tidak kenal laki-laki berpeci hitam yang satu ini. Pemilik suara sopran itu pegawai kelurahan yang sambil kuliah di Universitas Islam Negeri ini dikenal akrab dengan keluarga pak Gunardi.

"Dari jauh seperti ada mobil Mas Galih terus saya bergegas ke sini. Eh bener ternyata Mas," cerocos Lik Jarwo.

"Iya, Lik," jawab Galih.

"Stiker nama mbak Menik itu loh yang saya hapal, Mas," kata Lik Jarwo sambil melirik Bambang. Mata ketiga laki-laki bujangan di sana langsung tertuju pada kaca depan sebelah pojok kiri. Stiker tulisan model kaligrafi terbaca kata Menik.

Bambang yang pertama mampu menguasai rasa herannya. Mungkin karena gengsi takut ketahuan perasaannya terhadap Menik. Gus yang berani bertanya pada Lik Jarwo.

"Lik Jarwo kenal?"

"Kenal, Gus. Mas Galih ini yang membantu lik kuliah di UIN. Dan mbak Menik itu calon istrinya," jawab Lik Jarwo. Lagi-lagi sambil melirik Bambang.

Kalau film kartun pasti jawaban Lik Jarwo membuat kepala Bambang mengeluarkan asap panas. Geram.

----------------------

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tantangan kedua menulis bersama ODOP7.

Tantangan bertema bebas.

#tantangan2
#odopbatch7
#weekend
#odop
#daretodare
#Sunday
#holiday

#tema_bebas

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah