Dejavu

Wanita bercelana kain warna haki melangkah satu satu mengelilingi meja. Rambut ikalnya dibiarkan jatuh di bahu.

"Kamu tahu semuanya. Kenapa tidak lapor polisi?"

Tatapannya berhenti pada sosok gadis usia belasan, tapi tidak dengan isi kepalanya. Sikapnya begitu tenang dan acuh terhadap keadaan disekitar. Kedua kakinya sudah di atas meja. Bergaya seperti bos di film-film mafia. 

"Dan apa yang membuatmu takut?" Intonasi kalimat tanya ini menegaskan bukan model seperti gadis itu yang menyukai takut.

Gadis kuncir kuda terdiam. Perlahan kedua kaki diturunkan dari meja. 

"Polisi?! Tidak. Kakek pernah bilang, berurusan dengan Polisi hanya membuang waktu dan uang." Jawaban ceplas ceplos khas remaja.

Gadis berkuncir kuda melipat kedua tangannya di dada, punggungnya menempel di sandaran kursi. Kaki kanannya menopang kaki kiri. Semua gerak gerik itu tidak lepas dari tatapan wanita berambut ikal.

"Rumah ini aneh dan sekian puluh tahun tinggal bersama kakek membuat siapapun ikut aneh," kata gadis berkuncir kuda.

"Aneh?" Wanita berambut ikal mengernyitkan dahi.

"Ya! Setiap orang di rumah ini mempunyai sisi jahat yang tidak dapat dikendalikan kapan mulai dan kapan berhenti," lanjut Gadis berkuncir. Matanya tak beralih dari lukisan besar di dinding. Almarhum Sang Kakek duduk memegang pipa yang mengepulkan asap.

"Omong kosong!" seru wanita berambut ikal.

Gadis itu mengangkat bahu dengan gerakan bibir mencibir.

"Kamu tahu itu penyakit, kan?" tanya wanita berambut ikal.

"Yah, lalu...?"

"Mana mungkin dua belas penghuni rumah ini gila? Lalu kakek?"

"Kakek orang paling waras. Dia kuat, tangguh, cepat belajar. Dan yang jelas ...."
Gadis berkuncir sengaja menggantung kalimatnya. Dia tahu wanita di hadapannya pasti penasaran.

"Apa? Apa yang jelas?" tanya wanita berambut ikal. Dari wajahnya tertangkap rasa jengkel dan penasaran.

Gadis itu membelakangi wanita di hadapannya. Bibirnya mencipta senyum sinis sebelum kembali membalikkan badan. Matanya menatap tajam wanita berambut ikal lalu membuka suara, "Dia hapal betul siapa yang tinggal di dalam rumahnya."

Tiba-tiba wanita berambut ikal merasa ada yang aneh pada ucapan gadis usia belasan itu.

"Mana mungkin gadis semuda ini mampu bersikap sesinis ini," gumam wanita itu.

"Jangan terlalu naif kamu. Kita hidup di abad 21. Banyak hal bisa dipelajari dari ujung jempol." Komentar gadis berkuncir itu kembali terdengar sinis.

"Seperti kata kakek, aku bisa menjadi seseorang yang melampaui pikiranku," lanjut gadis itu.

"Kamu mewarisi beberapa sifat kakekmu, Gadis remaja," kata wanita berambut ikal.

"Kakek benci perempuan cengeng," jawab gadis berkuncir tegas.

Tiba-tiba seseorang masuk dengan tergesa.

"Nona Prita!" seru perempuan bertubuh gemuk.

"Ya?!" Jawaban wanita berambut ikal lebih terdengar sebagai sebuah pertanyaan.

"Non Lili." Perempuan gemuk menatap gadis berkuncir.

"Ada apa, Bi Mina?" tanya Lili.

"Anu .... Anu non. Den Ger-- Geri...." jawab bi Mina terbata.

"Ada apa dengan tuan Geri, Bi?" tanya nona Prita.

"Den ... Den Ger--Geri ... meninggal, Non." Bi Mina terisak.

"Papa meninggal?!" teriak Lili. Tangannya kembali memainkan kuncirnya.

"Di mana, Bi?" tanya non Prita sedikit gugup.

"Di-- di ruang baca," jawab Bi Mina.

Non Prita bergegas menuju ruang baca pewaris tunggal kekayaan Raden Mas Broto Susetiyo, kakek Lili. Gadis itu mengekor Prita kemudian Bi Mina.

Di ruang baca seluas 5 x 6 sudah berkumpul anak-anak Tuan Geri, istri dan menantunya. Prita berhenti tepat di depan tubuh pria yang duduk di kursi kerjanya dengan pisau tertancap di dada kiri. Namun, bercak darah ada di beberapa tempat di sekitar dada yang berarti konglomerat itu ditusuk beberapa kali sebelum akhirnya tusukan berakhir di dada kirinya.

'Hanya gadis berkuncir yang terlihat berjiwa kejam, tapi sedari tadi dia bersamaku. Lalu siapa pembunuh sebenarnya?' 

Benak Prita berperang menghadapi kejadian di depan matanya. Dan .... Sebuah ingatan tetiba muncul. Prita tercengang....

'Hei! Bukankah keadaan ini sudah pernah muncul di benakku?'

----------------------------

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7.

#september
#menulisodop7

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Ulasan Cerita Historical Fiction (Rara Mendut / Roro Mendut)

Biografi PJ Yah Dyah