Mulyanto

Laki-laki itu membungkuk dan menunduk untuk melewati pintu ruang tamu. Tubuhnya terlalu jangkung untuk rumah semi permanen itu. Raut wajahnya terlihat keruh. Seorang wanita berambut penuh uban sudah duduk beralas tikar di ruang tengah. Ada sebuah tembikar berisi air berwarna merah. Di sebelahnya lilin berdiameter tiga puluh sentimeter menyala.


"Ni...." sapa laki-laki itu kemudian duduk bersila berhadapan dengan wanita itu. 


"Mengapa Mbak Sum melakukan semua ini, Ni?" tanya laki-laki jangkung.


Pertemuan seorang laki-laki jangkung dengan wanita beruban terjadi tiga tahun lalu. Wanita bertubuh kerempeng itu terserempet angkutan umum saat sedang menunggu angkutan lain yang biasa dia naik. Sore itu gerimis dan laki-lali jangkung menghentikan mobil sedan hitamnya lalu mengantar wanita itu sampai ke rumahnya. 

Selama perjalanan wanita itu bertanya banyak hal.

"Namamu siapa, Nak?" 

"Mul, Bu. Mulyanto."

"Nak Mul, panggil aku Nini saja," kata wanita itu. 

"Iya, Nini." 

"Di depan ada perempatan gantung, Nak Mul belok yang kiri, ya?"  Laki-laki itu mengangguk sambil memperhatikan jalanan yang lengang. Hawanya berbeda dengan jalanan tadi. Ada kerut halus di kening Mul. 

Tak lama perempatan yang dimaksud muncul. Melaju lambat Mul mengedarkan pandangan. Jalur ke kanan ada makam, tapi tidak ada kendaraan berlalulalang. 


"Yang ke kiri itu buntu. Hanya sampai makam. Konon itu makam keluarga sesepuh desa ini," kata Nini. 


"Desa apa ini, Ni?" 

"Desa Gantung, Nak," jawab Nini. 

"Lurus ke depan kemana itu?" 

"Ke gunung Ireng."

"Gunung apa itu, Ni? Kok baru dengar saya," kata Mul. 


"Pernah Nini temukan seorang wanita muda sedang hamil tergeletak pingsan di jalan depan dalam keadaan mulut penuh darah." 


"Banyak begal, Ni?" 


"Nggak, Nak. Wanita itu dari gunung item untuk membebaskan suaminya. Kasihan...." Tatapan Nini terlihat menerawang jauh ke depan. Mungkin ke masa dia menemukan wanita itu. Mul menyembunyikan kekagetannya. Cerita seperti membuat laki-laki itu bergidik. 


"Kok ada hutan jati di sini, Ni?" Sesekali Mul melihat ke arah Nini memperhatikan reaksi setiap pertanyaannya. 

"Zaman Nini masih SMP ada bupati yang mengusahakan penanaman pohon jati dan sengon. Meskipun waktu itu banyak tekanan dari pihak-pihak yang tidak suka, tapi pak bupati ingin warganya mempunyai pendapatan dari sesuatu yang ditanam.si wilayahnya." 


"Memang boleh, Ni?" 

"Buktinya... Hutan jati terhampar di kanan kiri jalan." 


Mul manggut-manggut sambil.mulutnya membentuk.huruf O. 

Sekitar tiga kilometer melewati hutan jati sekarang terlihat pohon sengon berjajar rapi. Ciri pohon itu batangnya agak.putih dari batang pohon biasanya. Belum terlalu besar diameter dari pohon. Mungkin.usia pohon baru tiga tahunan. Dan pastinya sudah ada yang menawar karena usia lima hingga tujub tahun akan membuat harga pohon melambung. Bupati yang baik.


"Sayang pak bupati meninggal di usia belum terlalu tua," gumam Nini. 

"Meninggal kenapa, Ni?" tanya Mul.

"Sakit. Tiba-tiba muntah darah selesai salat maghrib." 

"Muntah darah sampai seluruh tubuhnya pucat." 

"Berarti kenapa, Ni?" 

"Ada pejabat lain yang bermain klenik. Mistik." 

Tak lama kemudian, Nini menfisyaratkan untuk memperlambat laju kendaraan. Mul melihat ke arah wanita itu dengan penasaran. Pertanyaan yang siap terlontar ditelannya kembali. Nini terdiam namun wajahnya memerah. Ada titik air di jidatnya. 


"Bismillah ... Jalan lagi, Nak." 

Mobil Mul melaju dengan cepat. Dan berhenti di sebuah rumah semi permanen dipagari pohon-pohon perdu yang sangat terawat. Mul memperhatikan sekitar sebelum memasuki halaman rumah itu. 


Seorang wanita setengah baya muncul. Seperti inang yang mendapati asuhannya datang. Tangan Nini diraih dan dicium. Kemudian barang bawaan di tangan Nini berpindah tangan pada wanita separuh baya itu. 


"Tadi nggak asa tamu, mbok Darmi?" 

"Ada, Ni. Wanita yang dulu hamil dirawat Nini di sini. Dia membawa anak," jawab mbok Darmi. 

"Sumarti?" 

Entah disengaja atau tidak Nini mwngucapkan nama itu sambil menengok ke arah Mul. Tentu saja lali-laki itu itu kaget mendengar nama yang sama dengan nama kakaknya. 


--------------------------

#Tulisan ini dibuat guna memenuhi tantangan menulis ODOP7. 

#nopember 
#odop7
#tokyo 

#OneDayOnePost 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes