Ibu

Aku, Widya, lahir dari rahim seorang wanita desa bernama Sumarti. Ibuku mempunyai delapan saudara. Tujuh wanita, anak kakek dan nenek terkecil bernama Om Mulyanto. Saat aku sekolah taman kanak-kanak hingga sekolah menengah, om Mul tinggal di rumah. Dia sekolah pembukuan, kalau zaman dulu biasa disebut SMEA alias Sekolah Menengah Ekonomi Atas. Om Mul pindah dari rumah ketika diterima bekerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara dan ditempatkan di luar kota. 


Sudah beberapa tahun aku tidak pernah bertemu adik ibu lagi. Tetapi hari ini aku melihat Om Mul sedang makan siang dengan perempuan yang setahuku bukan pacarnya yang dulu. Atau mungkin itu istrinya? Eh, tapi setahuku dia belum menikah, karena belum pernah terlihat ibu repot dengan tetekbengek keperluan melamar. Lalu perempuan itu? Hmmm... mungkin Om Mul sudah putus dengan mbak Hana.


Ketika bulan berikutnya kembali bertemu Om Mul...dengan perempuan yang berbeda, aku mulai berpikir untuk menyapa. Ibu sangat menyayangi saudara laki-laki satu-satunya di keluarganya itu. Almarhum ayah juga menyayangi adik iparnya itu. Sikap hati-hati Om Mul terhadap perempuan membuat tenang ayah dan ibu. Karena itulah aku merasa terusik saat melihat Om Mul berganti pasangan. Namun, perasaan ingin menyapa urung karena melihat kemesraan dua insan itu. Padahal laki-laki yang selama ini ikut di rumah orangnya dingin terhadap perempuan. Satu-satunya alasan untuk menerjemahkan pemandangan itu mungkin karena wajah ganteng Om Mul. Tetap saja rasa penasaran masih saja menyelinap di hati untuk kembali ke rumah makan prasmanan itu bulan depan. 


Hari ini sudah berganti bulan. Satu minggu pertama aku sempatkan untuk selalu makan siang di rumah makan prasmanan, tapi tidak pernah bertemu Om Mul. Sebenarnya sempat terpikir mungkin pertemuan bulan kemarin itu hanya kebetulan, sehingga kuputuskan besok hari terakhir memelihara rasa penasaran. Tetapi aku salah. Mereka datang sepuluh menit lebih lambat dari yang terakhir.  


Tiga bulan berturut Om Mul makan siang di rumah makan yang terbilang tidak murah dengan tiga perempuan berbeda. Jelas itu cukup mengerutkan kening. Adik ibu satu itu terkenal paling susah mengeluarkan uang. 


Mengakhiri rasa penasaranku adalah jika tahu apa yang sebenarnya Om Mul lakukan. Untuk itu aku datang sebelum pukul dua belas siang. Beruntung hari ini dua mata kuliah diganti hari jumat. Meski begitu berarti tidak bisa pulang jumat. Berarti sabtu langsung menengok ibu. 


Jam di tangan sepuluh menit sebelum pukul dua belas. Masuk rumah makan prasmanan pandangan kuedarkan. Sebuah kursi kosong di pojok kiri terlihat cukup strategis. Strategis melihat pintu masuk dan keluar para tamu yang untuk makan. 


Pukul dua belas lewat tujuh menit pesanan datang. Dan beberapa menit kemudian laki-laki yang aku tunggu datang. Perempuan yang menggelayut di lengan kirinya berbeda dari dua perempuan yang pernah aku lihat. Tiba-tiba perasaan aneh kembali merambati diri. Hari ini aku harus tahu apa yang terjadi dengan Om Mul. Setelah menyelesaikan makan siang, mereka keluar. Aku mengikuti pada jarak yang aman. Setidaknya begitu menurutku. 


Speedometer motor menunjukkan angka 60 berarti mobil sedan hitam di depan tak beda jauh angka speedo mereka. Dengan hati-hati aku berusaha tidak membuat mereka curiga. Tak terasa jalanan mulai lengang. Ini membuat deg-degan. Tetapi aku kaget ketika sedan hitam di depan mengambil belok ke kanan. Aku sangat mengenal jalan ini. Ini jalan menuju rumah Nini Buyut. Mungkinkah Om Mul pun rutin menemgok ibu? Sedan hitam melambat dengan lampu sein sebelah kanan berkedip. Mereka masuk halaman rumah sederhana yang dipagari tanaman perdu setinggi dada orang dewasa. Meskipun terlihat sederhana tapi halaman rumah Nini Buyut begitu bersih dan bangunan rumah cukup terawat. Untuk menghilangkan kecurigaan aku tidak ikut memasuki halaman rumah itu, tapi tetap lurus menjauh. Ada kebun pisang dan mangga yang membatasi rumah Nini dengan tetangga kana kiri. Aku memilih ke warung kopi milik teman SMP yang berjarak tiga rumah dari kebun itu. 


"Assalamuallaikum, Mbak." Istri Supri tersenyum melihat kedatanganku. Hanya ada dua bapak yang sedang ngopi. Sebelum duduk aku mengangguk sebagai sapaan pada mereka. 

"Wallaikumsalam," jawab Jum diikuti dua bapak itu. 

"Sendirian terus, Mbak Wid?" tanya istri Supri.

"Iya, Jum... Maklum jomlo." Jawabanku membuat Jum meringis.

"Mbak Widya ini cantik, tapi nggak mau cari pacar. Ada yang ditunggu ya?" kata Jum. 

"Menunggu Allah mengirim malaikat yang paling ganteng, Jum." Jum tertawa mendengar gurauanku. 

"Masmu nggak kelihatan?" Pertanyaan muncul setelah pandanganku tidak menangkap sosok Supri. 

"Baru mengambil dagangan, Mbak." 

"Es teh biasa ya, Jum?" 

"Iya, Mbak."

"Jum, di rumah Nini Buyut kok ada sedan hitam. Sering ya datang?" tanyaku.


"Aku kurang tahu, Mbak. Coba nanti tanya Mas Supri. Dia suka mengantar gula, teh, kopi, sabun ke sana," jelas Jum. 


"Jum, nitip motor sebentar ya." Setelah menyeruput es teh separuh aku ke rumah Nini Buyut menerobos halaman rumah tetangga dan kebun pisang. Pelan-pelan masuk rumah dari pintu belakang yang selalu ada Mbok Darmi di dapur. Wanita setengah baya itu sedang merebus air di tungku dan melihatku. Sebelum dia menyapa aku memberi isyarat untuk diam. 

"Mbok, itu tamu ibu?" bisikku. Mbok Darmi mengangguk. Aku melangkah masuk ke ruang dalam setelah mbok Darmi mengangguk menyilakan. 

Tirai pembatas dapur dengan ruang berikutnya kusingkap. Ada sepatu laki-laki dan wanita di luar kamar ibu. Perlahan tubuh dan telingaku menempel di pintu kamar. 


"Nak Mul, kakakmu masih butuh darah perawan dua orang lagi. Usahakan jangan di wilayah situ lagi." 

Suara serak itu aku kenal betul. Nini Buyut. Dan tiba-tiba hawa dingin terasa merasuki pori-pori membuat tubuh mengigil. Kedua tanganku dingin.

Darah perawan? Tiba-tiba kepalaku pusing dan mual. Jantung terasa berdegup keras. 


"Perjanjian kakakmu dengan Nyi Rimbang belum berakhir, kecuali ...."

"Kecuali apa, Ni?" 

"Kecuali anak gadisnya mampu menolak bisikan-bisikan Nyi Rimbang." 


"Lalu persembahan ini bisa selesai, Ni? Mbak Sum bisa selamat, kan?" 


Perutku seperti diaduk-aduk mendengar semua itu. Tiba-tiba tubuhku limbung dan jatuh. 



-----------------------

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7. 

#nopember 
#tokyo
#nulisodop7

#OneDayOnePost 








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes