Jim

Sejauh ini senja kurang obyektif dalam memandang sesuatu. Dia seharusnya belajar bahwa tidak selalu kisah sedih mengantar kemunculannya. Hanya, harus ada cerita indah sebagai penyeimbang.


Senja ini Jim sedang duduk di kedai kopi Arabica. Selalu saja cappucino menjadi kopi pilihannya di kala senggang.

"Jim, sekali-kali coba kopi Arabica asli, heh?"

 

Laki-laki berambut ikal meletakkan secangkir kopi di meja, satu cangkir lagi dipegangnya lalu duduk berhadapan dengan Jim. Sesekali ujung cangkir didekatkan mulut, ditiup lalu diseruput sedikit demi sedikit.


"Kamu yakin, Jim?"


"Ya,'' jawab Jim. Laki-laki itu menatap tepat di bola mata orang dihadapannya.


"Kamu harus bisa mengubur masa lalumu," kata lelaki berambut ikal. "Itu butuh kekuatan besar," lanjut lelaki itu.


Tatapan Jim tertuju pada pemain piano di ujung ruangan. Laki-laki bertubuh tambun dengan jas biru memainkan jemari dengan lincah. Cuping telinga Jim bergerak menangkap kata-kata laki-laki berambut ikal. 


"Lima belas tahunmu bersama Nur bubar, Jim. Lima belas tahun." Lelaki berambut ikal kembali menyeruput kopinya.


Jim masih diam sambil menikmati My Way dari piano laki-laki tambun. Tatapannya menaiki nada tiap hentakan lagu. Mungkin hatinya pun sedang mencari irama yang pas.


"Ken sangat berbeda dari mantanmu. Belum perbedaan latar pendidikan kalian ...." Lelaki berambut ikal memberi jeda pada ucapannya dengan menyeruput sisa kopi di cangkir.


Suasana kedai semakin ramai ketika dentingan piano mengiringi seorang wanita muda menyanyikan lagu lawas milik Broeri Marantika.

Kedai Arabica memang tempat mangkal para pecinta lagu lama. Broeri, Daniel Sahuleka, Celion Dion, Frank Sinatra, sering diminta khususnya malam rabu seperti sekarang.


"Don, kamu masih simpan buku Leyla S Chudori yang Pulang?" tanya Jim.

"Dasar laki-laki gila kamu, Jim," seru Don pada lawan bicaranya. "Aku ngomong apa kamu menanggapinya apa!" Don terlihat kesal.


"Dia suka membaca, Don. Terutama karya Leyla S Chudori."


"Terserah kamu, Jim."


Don melambaikan tangan pada lelaki yang berdiri di belakang meja menggunakan celemek. Jempol terangkat dari tangan di ujung sana membalas lambaian tangan Don.


"Aku hanya mengingatkan saja. Tidak semua kakakmu menyukai Ken. Terutama mbak Tatik."


Don terdiam sejenak. Tangannya merogoh kantong kaos tanpa krah. Rokok dan koreknya tak pernah dia lewatkan bersama kopi.


Jim sepertinya tidak memahami betapa lima kakaknya tidak menyukai Ken. Ada banyak pihak, banyak perasaan yang harus dijaga. Penyatuan dua keluarga yang jelas berbeda pasti sulit. Tetapi Jim sepertinya sudah tidak memedulikan itu. Dia ingin segera memiliki Ken.


"Jim, mental Ken akan diuji begitu kalian menikah. Ospek besar pasti dilakukan Mbakyu mu."


Don terdiam menerima nampan berisi dua piring kue. Satu piring berisi roti bolu kukus dan satu piring yg lain berisi salad buah.


"Don...."

"Jim... ingat ketika Nur lepas dari kamu? Dia merasa bebas dan nyaman. Tidak lagi dihantui perasaan takut karena kekerasan kepalamu. Keegoisanmu yang terlalu tinggi."

Jim menenguk habis isi gelas yang sedari tadi diabaikannya.


"Don, aku menemukan suasana lain. Ken kreatif, dia tahu banyak hal sehingga aku merasa percakapan dengannya menjadi hidup."

Jim mengambil piring berisi salad sebelum melanjutkan bicara.

"Ken pandai merawat diri, Don."


Tiba-tiba seorang wanita berdiri di depan Jim. Rambut sebahu tanpa poni, kaos tanpa krah warna merah muda, dan tas tangan warna hitam senada celana kain yang dikenakan membuat cantik sosok langsing itu.

"Maaf...dari tadi saya perhatikan, Anda seperti sedang bicara dengan seseorang?"

Denting piano melantunkan lagu Ibu, Iwan Fals, dalam modifikasi aransemen menjadi sangat lembut.

---------------------------------

#Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan menulis ODOP7.

#oktober
#nulisodop7
#OneDayOnePost


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes