Tugas Ulasan ke dua : Cerma

Ulasan Cerma 

Judul    :  Titik Buta 
Penulis :  MGal
Pengulas : Gendhuk Gandhes




Fenomena bolos sekolah masih saja terdengar. Meskipun jumlah anak yang melakukan hal itu sudah sangat berkurang. Kurikulum yang makin ketat belum lagi peraturan sekolah yang mendukung program pendidikan, tidak kalah ketat membuat sempit ruang siswa didik untuk mengabaikan masa depan mereka.


Titik Buta ini membuat saya mengernyitkan kening. Apa mungkin maaih ada siswa yang meremehkan masa depannya sendiri? 
Tetapi tema cerita remaja ini cukup menarik. Bagaimana kelakuan Sidiq masih dipunyai anak Sskolah Menengah. 

Cerita dibuka ketika seorang siswa bernama Sidiq tidak mengikuti upacara di sekolahnya. Tetapi malah jajan di kantin. Pagi itu memng suasana kantin benar-benar sepi. Ibu kantin tidak di tempat sehingga Sidiq merasa aman. Mungkin juga karena kepala sekolah baru dianggap masih luwes dalam.peraturan. Terutama ikut upacara itu tidak wajib. Itu pemikiran Sidiq yang pendek.


Pagi itu guru dan murid menurut Sodiq pasti semua mengikuti upacara. Sidiq sendiri bosan mengikuti upacara yang hanya memuji siswa kelas IPA bukan kelasnya, IPS. Sidiq merasa bosan akan pujian yang selalu ditujukan untuk anak-anak IPA. Siswa siswi yang pandai, tidak banyak gaya tapi membuat guru-guru mudah dalam menggajar di kelas. Siswa yang membanggakan. Sidiq merasa sakit hati dibedakan seperti itu. 

Namun, dugaan Sidiq salah. Ada seorang laki-laki di kantin sedang merapikan makanan di kantin. Sidiq tidak terlalu memperhatikan penampilan laki-laki di kantin. Pikirannya diliputi rasa jengkel karena perbandingan-perbandingan jurusan IPA dan IPS. Bahkan ketika laki-laki itu mempertanyakan keberadaannya tidak ikut upacara Sidiq malah memesan nasi goreng sambil mengungkapkan kejesalannya terhadap kepala sekolah dalam berpidato lebih memuji anak IPA daripada IPS.  

Sidiq mengungkapkan tidak takut dengan ucapannya yang lancang. Dia merasa tidak ada guru yang mendengar apalagi kepala sekolah yang sedang memimpin upacara.


Tindakan Sidiq tentu mengandung konsekuensi. Dia telah melanggar peraturan sekolah, juga kalinat yang terucap dianggap menghina kepala sekolah. 

Isi cerita remaja ini sebenarnya bagus. Hanya saja enulisannya kurang rapi, menurut saya. Banyak tanda baca dan penggunaan huruf kapital yang kurang sehingga tidak kentara pembatasan tiap paragrafnya. Dalam kalimat dialog pun banyak yang mengabaikan tanda baca. Banyak kesalahan dalam menempatkan tanda koma dalam sebuah dialog. Untuk nama orang yang harusnya menggunakan huruf kapital tetapi tidak kapital. 

Sebenarnya hal ini cukup disayangkan. Tema dan tokoh serta penokohan susah cukup kuat. Penggunaan latar dan diksi pun cukup baik. Alur cerita pendek ini juga sudah mendukung tema. Penulis mungkin harus membaca ulang tulisannya sehingga dapat diketahui bagian mana yang masih harus dilengkapi atau dirubah. Self editing diperlukan di setiap penulis merangkai kata. Terutama twist di ending ini sungguh ciamik. Karena pembaca tidak menyangka jika Sidiq akhirnya dikekuarkan dari sekolah. 

Pesan yang disampaikan cukup jelas tentang pelajar. Sebagai siswa mempunyai tugas utama adalah belajar. Jauhi hal-hal yang dapat mengganggu perjalanan dalam menuju cita-cita. Jangan menerima mentah-mentah omongan orang tentang apa yang ada di benak kepala sekolah atau guru-guru. Sekali lagi, tugas pelajar adalah belajar dan mematuhi peraturan sekolah. Jangan bertindak brutal apalagi anarkis. Seorang pelajar akan memikirkan lebih dulu jika mendapati kabar atau pendapat yang condong pada pihak-pihak yang keliru. Siswa, yang seorang pelajar adalah identik dengan orang pandai, terpelajar. Sebagai orang terpelajar pasti akan berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak. 

Demikian ulasan cerma Titik Buta semoga dapat membuka mata kita tentang menggali kemampuan diri. 




-----------------------------------------------
Sumber : cerpenmu.com 



#ngodop7
#OneDayOnePost
#ulasan cerma
#tugas 3


@lutfi 
 @Yah Diyah 
@Sabrina Lamasa.
@hiyay nur
 
























Titik Buta
Cerpen Karangan: MGal
Kategori: Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 8 December 2019


Asap tipis mengepul di teras kantin sekolah. Asalnya dari sebatang rok*k yang Sidiq sulut belum lama ini. Dirinya adalah satu-satunya yang berada di kantin, mendengarkan sayup-sayup suara upacara dari kejauhan. Wajahnya akan benar-benar memerah jika ia berlama-lama berdiri di tempat yang disebut-sebut sebagai lapangan upacara. Disana tak henti-hentinya ia dan teman-teman satu jurusan IPS disiksa, dibanding-bandingkan dengan anak IPA yang katanya penurut, katanya pintar, katanya teladan dan segala omong kosong lainnya. Tidak peduli sesopan apapun atau berapa banyak basa-basi yang dipakai, hinaan, tetaplah hinaan. Karena itu, dari sekian banyaknya orang, hanya Sidiq lah yang berani kabur dan mengendap keluar dari neraka itu.

Tak terasa tersisa puntungnya saja, Sidiq membuangnya asal, lalu mengelus tangannya yang kepanasan. Kemudian, Sidiq beranjak pergi ke dalam kantin yang sepi. Disana berdiri seorang lelaki tua yang tidak dikenalnya, merapikan gorengan dan dagangan lainnya. Sidiq bertanya-bertanya kemana ibu kantin yang biasanya menerima hutang-hutangnya ketika uangnya terbakar jadi asap rok*k? Masa bodoh, selama ada yang jaga ia bisa makan dengan tenang, sekalipun ngutang.

“Pak, nasi goreng satu, pake telor dadar dua."
“Iya”, lelaki itu menjawab singkat pesanan Sidiq.

Sambil menunggu, Sidiq mengambil tempat duduk dan mulai mengunyah gorengan yang ia ambil tanpa ragu-ragu di depannya. Terlihat lelaki itu menenggelamkan gumpalan telur ke wajan penuh minyak. Tapi, karena ia menuangnya terlalu tinggi, kubangan minyak di wajan bercipratan keluar setelah dihantam oleh gumpalan telur tadi. Tidak biasanya, pikir Sidiq.

“Kok, gak ikut upacara, Mas?”, tanya lelaki sambil membuat pesanan Sidiq.
“Males, ah”, sahut Sidiq.
“Kenapa?”
“Males ya males”, Sidiq melempar gorengan ke mulutnya.

“Lho, bukannya sudah jadi kewajiban kalau jadi siswa? mau tidak mau, harus dijalani, kan?”, desak si lelaki. 

Sebelum menjawab, Sidiq menuang sendiri air dari teko kecil ke gelasnya hingga penuh, meminum separuhnya dan menghela napas.

“Biarpun dibilang kewajiban, aku harus apa? berdiri bak patung, ditimbun oleh panasnya mentari, ditambah dengan panasnya telinga kami mendengar cemooh mereka.”

“Dicemooh gimana mas?”, sela lelaki tua itu.

“Mereka bilang kami tak disiplin, mereka bilang kami memberontak, mereka bilang kami tidak bisa diatur, bahkan mereka menganggap kami tak berguna!”, seru Sidiq.

“Mereka benar-benar bilang gitu, mas?”, tanya si lelaki sambil menyerok telur yang hampir matang.

“Aku bahkan sampai lupa menghitungnya. Yang langsung, yang tidak, yang di depan, yang di belakang, yang teguran, yang bisikan aku sudah dengar semuanya! kewajiban yang dipikul bersama beban itu, bukan kewajiban, tapi kutukan! Cuma orang gila saja yang mau melakukannya!”, Sidiq menenggak sisa air di gelas dengan kasar, kemudian menghela napas berusaha menenangkan emosinya. 

Si lelaki terdiam sesaat, kemudian menatap Sidiq lagi.

“Apa salahnya? itu sudah biasa. Bekerja sambil menggendong bangkai itu wajar, kan. Mungkin mas belum tahu, tapi waktu kerja itu lumrah sekali, tahu? jadi, kenapa tidak tahan saja bau busuknya?”

“Bapak ini seperti guru saja. Ceramah sana sini, tapi akhir-akhirnya hanya karena gaji, kan?”, tukas Sidiq mendengus. 

Lelaki tua itu cuma menyunggingkan senyum simpul.

“Mas bilang gitu, tapi mas sendiri menyimpang sendirian ke sini, kan?” balas lelaki. 

Sidiq tak bicara, hanya diam, lalu mengambil gorengan lagi dan memakannya.
Tak lama kemudian, nasi goreng beserta dua telur dadar sudah tersaji di depan Sidiq.

“Sudah jadi”
“Iya." 

Sidiq langsung menyantapnya seperti pengemis yang belum makan berhari-hari. Banyak butir nasi berserakan di dekat piring, tapi ini bukan rumahnya, tak ada yang memarahinya, jadi ia tak perlu membersihkannya seperti saat di rumah.


Sidiq mendengar sayup-sayup suara tegas pemimpin upacara, kemudian melalui speaker sekolah ia mendengar suara pria yang tak asing, meskipun jauh, tapi Sidiq tahu pemilik suara itu adalah wakil kepala sekolah.

Heh, pemimpinnya anak IPA itu, ya? Tapi, bukannya ada kepala sekolah yang baru hari ini? Dasar pemalas, hari pertama kerja sudah molor, pikir Sidiq. Ceramah upacara atau apa yang disebut dengan amanat Pembina upacara dimulai. Namun, Sidiq asyik dengan santapannya jadi ia mengabaikannya.
Tanpa sadar seporsi nasi goreng telah lenyap. Setelah Sidiq meminum segelas air yang kedua, perutnya benar puas adanya. Ia pun lagi-lagi menghela napas.

“Negara bobrok, karena rakyatnya bodoh, rakyatnya bodoh karena gurunya pilih kasih”.

“Yakin? bicara jelek ke guru seperti itu?”

“Bodo amat, yang penting mereka tidak tahu. Lagian, mereka selalu memanjakan murid-murid penurut, seperti boneka, atau mesin penjawab soal. Oh ya semuanya berapa?”

“… Semuanya jadi tujuh ribu rupiah”, Sidiq asal menarik selembar uang dan meletakkannya di atas meja, kemudian dengan cepat berbalik ke pintu keluar, begitu saja.

“Lho, mas! upacara belum selesai mau kemana?”
“Pulang.”
“Terus mana tasnya?”
“Anak sekolah hanya pake kepala, kan? buat apa tas dan buku?” 

Sidiq berlari keluar kantin dan lenyap, meninggalkan suara langkah kaki yang kian memudar. Walaupun tak lama kemudian, jeritan terdengar. Menggema, seperti paduan suara.

Sidiq yang harusnya bolos sekolah, tertangkap basah tepat tak lama setelah ia keluar dari kantin. Guru-guru BK dan kesiswaan yang garang itu menyeretnya sepanjang jalan menuju sarang mereka. Anehnya, mereka melewati ruang BK- kandang singa-, tapi lurus menuju ruang kepala sekolah.

Kenapa ke sini? Bukannya Kepala Sekolah gak berangkat? Sidiq merasa was-was untuk alasan yang tidak jelas, ia merasa apa yang menunggu di balik pintu itu adalah akhir baginya.

“Masuklah”, perintah guru BK pada Sidiq. 
Ia mengikuti instruksi, tapi guru yang membawanya tak ikut masuk. Saat ia berpikir mengapa, pintu sudah tertutup. Singkatnya ia terkurung disini.

Apa ini hukuman model terbaru? Dikurung di ruang Kepsek? Serius? Sidiq benar-benar bingung sekarang. Untuk saat ini, Sidiq memilih duduk di sebuah kursi tamu yang disediakan.
Sekitar lima menit kemudian, pintu terbuka, sontak Sidiq menoleh ke belakang.

Deg
Sidiq merasa jantungnya berhenti, darah turun mengalir menyisakan wajah pucat pasinya. Seolah Sidiq lupa caranya bernapas, mulutnya ternganga sama lebar dengan matanya. Orang yang masuk adalah seorang guru dilihat dari pakaian dinasnya. Tetapi, apa yang mengejutkan bukanlah itu.

“Selamat pagi Sidiq”, sapa guru itu. Namun Sidiq tak menjawab.
“Ataukah harus bapak panggil mas? Dan apa nasi goreng buatan bapak enak? Tapi yang paling penting … kamu lupa kembaliannya”, uang lembaran tiga ribu rupiah tergeletak rapi, hampir tanpa kerutan.

Pernapasan Sidiq menjadi kacau, ia ingin mengaturnya, tapi ia tak bisa. Ada segudang pertanyaan yang ingin ia mutahkan segera. Namun, tenggorokkannya terasa sesak seolah kawanan lebah bersarang di dalamnya. Tapi, yang paling penting kenapa “dia” ada disini?

Guru itu duduk perlahan dengan tenang dan melipat kedua jarinya bersama-sama di depan mulutnya.
“Sekarang mari ke topik utama”, Senyuman lelaki di depannya sangatlah ramah seperti di kantin tadi, tapi Sidiq merasa bulu kuduknya berdiri kaku.

“Sidiq”, katanya perlahan. Guru itu adalah Kepala Sekolah tidak salah lagi, tapi, kepala sekolah itu adalah …

“Kamu dikeluarkan dari sekolah”
Penjaga kantin yang tadi!
 
__________
Cerpen Karangan: MGal
Blog / Facebook: MGal (The Fool)
Cerpen Titik Buta merupakan cerita pendek karangan MGal. 

Sumber cerma : cerpenmu.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes