Mantan


.

"Maksud, Mas?!" Kedua alis wanita hitam manis bertubuh subur itu hampir bertemu di atas hidungnya. Ekspresi seperti itu pasti diiringi degub di dadanya.

.

"Kita balikan," jawaban laki-laki yang rambut di kepalanya sudah dua warna.
.

"What?!" Mata Inun mencari kebenaran di tatap laki-laki di depannya.

.

"Aku ingin kita berkumpul kembali." Kalimat seperti itu memang terdengar indah jika meluncur dari orang yang mencintai kita ... dan kita mencintainya

Kulit cokelat wanita bertubuh subur terlihat mengkilat oleh cipratan rembulan yang hampir sempurna. Dua manusia yang lama tak bersua itu saling menatap.

"Inung?"

Panggilan nama seperti itu membuat angan wanita subur itu menjelajah waktu beberapa saat ke belakang. Ada yang berusaha menariknya untuk menikmati masa itu.

Namun, Inun tersentak. Ada tangan dingin menindih telapak tangannya berusaha menyusup di antara jemarinya. Secepatnya dia menjauhkan tangan dari penyusup.

.

"Jangan ngawur kamu, Mas."
Kalimat penyangkalan yang Inun tidak yakin telah mengucapkan. Rona wajahnya tidak bisa menutupi rasa indah yang masih dirasakannya. Inun tidak menyangka akhirnya mendengar kalimat itu dari laki-laki yang selama ini hadir dalam doa-doanya. Wajahnya kemudian tertunduk. Entah apa yang berusaha dia  sembunyikan tetapi sudah terlanjur dilihat laki-laki itu. Laki-laki di depan Inung tersenyum tanpa sepengetahuan Inung. 

.

"Kenapa, Inung?" Entah merayu atau rasa kangen masa lalu, laki-laki itu kembali memanggil nama kesayanganya pada wanita yang telah menjadi ibu dari anak-anaknya dan pernah mendampinginya selama hampir 16 tahun.

.

Desir indah sudah pasti meremas hati Ainun. Perasaan yang tidak bisa dipungkiri oleh wanita manapun yang masih mendapat perhatian dari mantan suami, bapak dari anak-anaknya. Wanita bertubuh subur itu tertunduk makin dalam. Mungkin dia sedang bimbang. Bimbang meresapi sejuta rasa yang tiba-tiba disodorkan laki-laki yang saat pertemuan terakhir enam tahun lalu masih meninggalkan luka yang belum kering betul dengan kata-kata pedas.

Entah rasa kangen atau hanya sekedar penghibur diri? Ada gerakan mata Ainun mengunggah gemuruhnya benak, rindu dendam berpendar di sana. Sebuah gerakan kompak dari barisan bulu mata di kelopaknya memberi tanda untuk tidak terlena mulut manis sang mantan.

.

Wanita itu sudah membangun mahligai baru yang disaksikan anak-anaknya. Mereka berseragam mendampingi sang Bunda merengkuh langkah untuk memulai hidup dengan laki-laki lain bernama Ahmad Mozy. Senyum bahagia yang terbalut busaha hijab pengantin hanya diiringi tatap diam sang anak sulung, waktu itu.

.

"Kamu sudah punya keluarga, Mas. Aku sudah ada Mas Amzy. Kamu menyodorkan hal yang tidak mungkin." Inung menatap mantan suaminya.

.

"Bukankah Kamu sudah pisah ranjang dengan suamimu?" tanya laki-laki bertubuh ceking yang kerutan di dahinya semakin memperjelas banyaknya pergantian tahun yang telah dilaluinya.

.

Inung kaget mendengar laki-laki yang pernah lima belas tahun menjadi suaminya mengetahui pertengkaran di dalam rumah tangga barunya.

.

"Mas tahu dari mana? Anak-anak?" Saling bersitatap menimbulkan aura lain di wajah mantan suami Ainun.

.

Laki-laki yang juga beralis tebal itu mengakhiri jeda dengan senyum dan menggeleng. 

.

"Aku baru ketemu anak-anak sekarang. Tapi ... sudahlah. Yang penting sekarang kita sepakat memulainya lagi." Dua retina mantan suami Ainun menawarkan kehangatan.

.

"Entahlah Mas." Inung berdiri menjauhi Bapak dari anak-anaknya. Mungkin wanita itu takut akan sihir dari dua retina dan senyum yang sudah terlalu lama menghilang dari pertautan mereka di masa lalu. Meskipun saat ini sudah ada pernikahan kedua tapi mereka berdua pernah hidup bersama dalam waktu yang tidak sebentar. Mungkin rasa itu ada yang tersisa.

.

"Ada apa Inung?" tanya laki-laki dari masa lalunya memutus gejolak batin wanita tambun itu.

.

"Saat ini aku masih berstatus istri mas Amozy," sahut Ainun.

.

"Lalu ...?" Kejar laki-laki yang kini sudah berdiri di sampingnya.

.

"Setelah tiga bulan kembali ke rumah Ibu, Mas menyusul aku dan anak-anak ke sini, sudah aku tawarkan untuk kita membuang ego. Kembali berkumpul demi anak-anak." Wanita hitam manis yang badannya semakin subur itu berdiri mendekat pada bapak anak-anaknya.

.

"Namun, Mas menolak tegas waktu itu." Ainun menjatuhkan tatap pada sosok laki-laki lawan bicaranya. Memperhatikan reaksinya. Dia membisu, perlahan tatapannya melemah. Inung bergeser posisi dua langkah ke kanan, membelakangi mantan suaminya. Angin menampar genangan masa lalu di antara keduanya. Kecipak ingatan pedih kembali menyentuh hati Ainun. Wanita itu kembali memutar badan menatap laki-laki ceking sebelum kemudian dia melanjutkan bicara. "Dan ... Kata-kata itu tidak pernah bisa aku lupakan."

.

"Kata-kata apa?!" Nada resah dari mulut mantan suami pertanda kelelahan batinnya.

.

"Tali yang sudah putus pasti akan bersimpul jika disambung." Wanita bertubuh subur itu menghujam tatapan tajam tepat di titik tengah jiwa mantan suaminya.

.

"Mas pernah mengatakan itu. Aku tidak pernah lupa, Mas," lanjut Ainun.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah