"Sabtu dan Bapak"


"Kak Fandi, yang ini bagus nggak?" Adikku menunjukkan baju di depanku. 
.

"Yang itu kan masih kegedean, Pin."

Dia lari keluar kamarku, tak lama masuk lagi membawa bajunya yang lain. 
.

"Kalau yang ini... bagus nggak?" 
.

"Buat apa sih pakai baju? Biasanya juga pakai kaos?" Tapi dia tidak mempedulikan pertanyaanku.
.

"Bagus nggak, Kak?"
.

"Ipiiiin... Kenapa sih dari tadi ribut soal baju?!"  Aku mulai kesal melihat adikku bolak-balik ke kamarku menenteng baju dan kaos berbeda.
.

"Besok kalau penampilanku jelek, gimana coba?"
.

"Ya biarin aja."
.

"Nggak bisa gitu dong, Kak?!"  Kali ini adikku yang terlihat kesal dengan sikapku.
.

"Kak Fandi nggak sayang sama Bapak?!"
.

Bapak? Kali ini aku yang kaget. Jadi Ipin mengharapkan Bapak  datang? Lalu pengertian yang selama ini kutanamkan pada adikku tidak terekam sama sekali di benak maupun di hatinya?
.

"Pin, Kak Fandi kan pernah bilang kalau Bapak sudah melupakan kita."
.

Ada rasa jengkel dan cemburu menelusup  hatiku. Hampir empat tahun tugas seorang Bapak sudah aku lakukan pada adikku. Tapi sekarang? Kerinduan seorang Ipin pada Bapak telah membuktikan bahwa ajaranku tidak mempan buat laki-laki kecil itu.
.

"Hey Pin! Emang kamu yakin Bapak mau datang?!" Nada tinggi kulontarkan membalas kekesalan Ipin.
.

"Yakinlah... " Jawaban Ipin kali ini bernada melemah. Hmmm... Dia pasti kurang yakin juga.
.

"Sebentar lagi salat jumuah, ayo siap-siap." Akhirnya aku mengakhiri gejolak hati Ipin dan hatiku sendiri.
.

"Yaaaah...Kak Fandi." Ipin menggerutu meninggalkan kamarku sambil menyeret langkah.
.

---------
.
Pukul 23.30 wib, aku masih belum bisa memejamkan mata. Ponselku terbuka diposisi pesan whatsapp dari Bapak.
.

'Assalamualaikum, Mas Fandi, gimana kabar Mas dan Adik, sehat ya? Insya allah Bapak sabtu pagi sampai di rumah Mbah, Mas Fandi dan Adik tunggu ya?'
.

Pukul tujuh sore tadi wattapps dari Bapak masuk ke ponselku. Tapi aku tidak membalas pesan itu, meski pengirim tahu kalau pesan sudah terbaca. Sekitar satu jam kemudian ponselku berdering dengan nomor Bapak di layar. Aku hanya pandangi ponsel yang nyala di atas meja belajar. Beberapa kali masih berdering sampai akhirnya dering itu berhenti sendiri.
.

Selama ini setiap Bapak telepon aku tidak pernah mau menerimanya. Malas. Sudah aku abaikan pesan dan telpon Bapak. Tiba-tiba adikku satu-satunya berlari sambil teriak-teriak.
.

"Kak... Kak Fandi...!"
.

"Apa sih, Pin?!" Aku menghadap ke arah Ipin.
.

"Kak, ini Bapak mau bicara...."
.

Ipin terlihat begitu gembira. Aku segera kembali ke posisi semula, menghadap keluar jendela, memandang sedikit bintang di langit.
.

"Kak! Ini... Ayo Kak...." Ipin sudah berdiri di atas tempat tidurku sambil menyodorkan ponsel ke mulutku yang terpaksa kuterima. Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang Bapak bicarakan. Semua pertanyaan aku jawab dengan kalimat pendek-pendek. Hanya ya dan tidak. Aku hanya berusaha bersikap sopan dengan orang tua, itu saja. Orang tua?
Kembali dada terasa terhimpit dan sesak.
.

Suara Bapak sudah tidak terdengar ketika aku katakan "...insyaallah" Segera ponsel aku lempar ke tempat tidur di samping tubuh kurus Ipin yang sedari tadi menunggu.
.

"Tuh ponselmu!"
.

"Kak Fandi jahat! Kenapa dilempar?!"
.

"Dasar anak kecil, pergi sana!" Adikku menjauhi kamar dengan cemberut. Kasihan Ipin jadi korban pelampiasan kekesalanku.
.

----------
.

Aku tidak mau terlalu memikirkan pesan whatsapp dari Bapak. Semoga malam ini kelelapanan melenakan sehingga besok, hari sabtu aku tidak perlu bertemu Bapak.
Entah jam berapa akhirnya aku bisa terlelap, ketika aku dengar suara ibu berusaha membangunkan.
.

"Kak... Kak Fandi, bangun... Sudah ditunggu adikmu tuh."
.

"Aaah..." Aku hanya merubah posisi wajah agar tidak terkena sorot matahari dari jendela yang sudah dibuka ibu.
.

"Eeee... Ayo bangun..." Ibu menarik selimutku dan bertambah cerewet sambil menepuk pipiku beberapa kali. 
.

"Iyaaaa, iya...." Dengan malas aku bangun dan duduk di tepi tempat tidur.
.

"Awas, jangan tidur lagi ya Kak?" Ibu keluar kamar kemudian aku merebahkan punggung ke sandaran tempat tidur. Mata kupejamkan sambil berharap hari sabtu menghilang dan tidak pernah datang. Aku malas bertemu Bapak.
.

"Eeeeeh... Kak Fandi! Kok tidur lagi sih... Ayo bangun." Tiba-tiba ibu sudah di sampingku menyeret lenganku. Terpaksa aku bangun. Ibu mendorong punggungku keluar kamar.
.

"Sana mandi dulu." 
.

Beberapa langkah di depan kamar aku ingat harus ambil baju dalam. Terlihat ibu masih membenahi isi kamar dan tidak menyadari kehadiranku. Melamunkah ibu? Pintu lemari sudah mau kututup ketika ada suara getar di atas meja belajarku. Ponsel ibu? Aku mendekat melihat nama ayah pada dua pesan yang masuk. Naluri kurang ajarku tiba-tiba membisikkan kata : buka!
.

"Assalamualaikum, Nury ... tolong kali ini jangan kau halangi anak-anak ketemu aku. Biarkan Fandi melihat yang sebenarnya. Haruskah aku bawa ke pengadilan untuk masalah anak-anak kita?"
Irama jantung  terasa tak bernada. Ada apa ini?
.

.

Der! Der! 
.

"Kak! Cepetan mandinya!"  Ipin sudah gedor-gedor pintu kamar mandi. "Jangan tidur lagi!" 
.

"Apaan sih!"
.

"Cepet Kak, Bapak sudah datang!"
.

Oh, Tuhan...kenapa sabtu KAU biarkan menggantikan jumuah?
Aku benci hari sabtu.
Der! Der!  Sekali lagi pintu digedor.
.

"Bener kan Kak Fandi tidur di kamar mandi! "
.

"Ipiiin!!" 
.

"Cepet, Kak!"  Aku dengar Ipin berlari kembali ke dalam.
.

Dengan langkah dan hati yang diseret, aku melangkah ke kamar. Handuk masih kusilangkan di leher dan aku hanya duduk memandang keluar jendela. Kebiasaan ini memberi kenyaman.
.

"Kak Fandi!!" Tiba-tiba Ipin menepuk punggungku. 
.

"Cepet Kak! Bapak sudah nunggu dari tadi." Ipin berdiri di sampingku, tinggi tubuhnya yang sedikit melampaui tinggi meja belajarku membuatnya gampang meletakkan kedua tangan dan dagunya di meja.
.

"Kamu ngapain disitu?!" 
.

"Nungguin Kak Fandi biar nggak tidur lagi." 
.

"Keluar kamu, kakak mau ganti baju." 
.

"Nggak mau!"
.

"Ipin!"
.

"Nggak pokoknya." Adikku malah melipat kedua tangan di dadanya sok dewasa.
.

"Ya udah, Kakak nggak mau keluar." Aku kembali duduk di tepi tempat tidur. 

.
"Heh!" Aku melotot kearah Ipin.
.

"Aku keluar, tapi cepet ya, Kak?!" 
.

"Hhhhh...."
.

Sudah berpakaian rapi tapi aku masih males keluar kamar. Aku melangkah ke dekat jendela. Tanaman padi di luar sana sudah tumbuh tinggi, suara batang padi bersentuhan dimainkan angin segemerisik irama hatiku.
.

"Kakak..." tiba-tiba ibu sudah berdiri di sampingku. "Ada apa?"
Ibu menunggu jawabanku.
.

"Entahlah, Bu" 
.

"Fandi... Bagaimana pun dia itu Bapakmu, cobalah temui dia."
.

"Ccck..." hanya itu yang mampu keluar dari mulutku dan aku bergeming di depan jendela. Ibu tersenyum, merangkul pundakku.
.

"Fandi...setidaknya temui sekali saja." Ibu ikut melayangkan pandangan ke tanaman padi di luar sana. 
.

"Ibu tahu apa yang kamu rasakan, ibu pernah lebih sakit dan kecewa terhadap Bapakmu. Tapi ibu ingin kamu menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Bapakmu juga orang tuamu, Nak."

.

Aku menatap mata Ibu, ada keteduhan di sana. Mata yang pernah mengeluarkan air mata oleh kelakuan Bapakku. Sudah dua tahun lebih  Ibu tidak menangis lagi dan sudah tiga tahun Bapak tidak pernah menengok aku dan adikku. Tiba-tiba Bapak menelpon anak-anaknya  dan akan menemui kami?
Aku masih menatap mata Ibu. Wanita yang pernah disakiti itu tersenyum padaku dan  mengangguk. Sekilas terlintas pesan di ponsel ibu dari Bapak. Otakku belum bisa meraba apa yang akan aku dapati saat bertemu bapak.
.

"Temui Bapakmu, sekali ini saja." 
.

Senyum di mata Ibu membuatku mengangguk, mencium tangan beliau dan aku melangkah ke ruang tamu.
Berhenti sejenak aku lihat Bapak sedang berbincang dengan Ipin, mengusap kepala Ipin mesra. Sentuhan kerinduan seorang Bapak terhadap anaknya. Pemandangan itu menggetarkan hati. Ingin rasanya aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Tapi...
Hampir aku berbalik masuk ke dalam, tapi Bapak keburu melihat kedatanganku.
.

"Fandi...." Mata kami saling bertatap. Bapak berdiri mendekat. Jarak satu lengan, aku menarik kaki kanan ke belakang. Wajahku mengeras dan pasti tanpa senyum.
Bapak menghentikan langkah, kemudian mengulurkan tangannya.
.

"Apa kabar, Fandi?"
.

"Ba_ik..." jawabku tanpa membalas uluran tangan Bapak.
.

"Bapak minta maaf baru bisa datang...."
.

Aku masih terpaku di tempat, tidak bereaksi dengan kata-kata laki-laki di depanku. Kami terdiam beberapa saat. 
.

"Ayo Kak... Ayo kita jalan-jalan dengan Bapak..." tiba-tiba Ipin menarik-narik tanganku.
.

"Bapak mohon, Fandi mau keluar sebentar."
Ipin masih menarik-narik tanganku.
.

"Sekali ini saja, Fandi... Ada yang ingin Bapak bicarakan."
.

Kenapa tidak di sini saja? Kenapa mesti mencari tempat keluar? Biar Ibu juga dengar apa yang akan Bapak bicarakan. Tapi... Sekali lagi aku tidak mampu berkata apa pun di depan Bapakku. Aku masih saja tidak bisa melawan Bapak.
Kali ini Adikku menarik ujung baju. "Ayoooo Kak...."
.

Sorot mata memohon dari Bapakku juga tidak mampu membuatku bicara. Sebuah tangan mengelus punggungku dan Ibu sudah berdiri di sampingku.
.

"Pergilah, Anakku... Kamu akan tahu jawaban untuk semua rasamu."
Akhirnya aku mengangguk.
.

Bapak mengajak ke rumah makan cepat saji yang dulu selalu dia lakukan untuk kami, aku, Ipin dan Ibu. Setelah memesan dan membayar makanan, Bapak kembali ke meja kami dengan membawa tiga gelas minuman dingin. Sambil menunggu pesanan datang Bapak bicara.
.

"Fandi, Bapak minta maaf jika selama ini sudah membuat Fandi kecewa dan Bapak minta maaf jika baru hari ini bisa datang."
.

Sudah sekitar 144 kali sabtu aku selau menolak ketemu Bapak. Kemudian Bapak tidak pernah datang lagi. Bapak hanya menghubungiku melalui pesan, bbm atau watapps. Beberapa kali paket-paket dari Bapak menyapa Ipin dan aku. Baru sabtu ke 145 ini aku mau menemui Bapak.
.

"Rasa sayang Bapak tidak pernah berubah pada Kak Fandi dan Adik, hanya karena Bapak sakit sehingga lama Bapak hanya bisa kirim paket pada kalian."
.

Aku masih belum punya kata untuk menanggapi pertemuan dan pembicaraan ini. Masih jelas terbayang di benak. Bapak tidak pernah pulang ke rumah kemudian datang-datang mengusir Ibu tanpa menghargai pengabdian ibu selama menjadi istrinya yang telah merawat suami dan anak-anaknya dengan baik. 
.

Waktu itu Ibu langsung meninggalkan rumah tapi menginap di rumah tetangga. Untuk kembali esok harinya dan membawa aku dan Ipin  meninggalkan kota itu, kota kelahiran Bapak. Ibu membawa kami ke rumah nenek di Jakarta tanpa sepengetahuan Bapak.
.

Entah pertengkaran apa lagi yang terjadi. Setahuku Bapak menceraikan Ibu. Beberapa bulan Ibu selalu menangis. Kemudian Ibu memaki Bapak di depanku. Ditambah kejengkelan bude Marni, kakak Ibu, yang ditumpahkan dengan menjelekkan Bapak di depanku. Hampir tiap waktu hingga rasa kecewaku tumbuh menjadi dendam terhadap Bapak.
.

Sedangkan hari ini aku dapati pesan bapak ke ponsel ibu yang mengancam. Berkecamuk berbagai rasa teraduk tanpa pola. Tuut! Tuuut! Ponselku. Ada pesan masuk.
.

Pesan dari Pak De Pram, suami bude Marni.
'Fandi, apa yang dulu Bapakmu lakukan itu sudah benar. Ibu diusir karena ada om Ais. Maafkan bude mu yang salah memberi pengertian padamu. Apa yang bude katakan tentang Bapakmu tidak benar. Dia hanya merasa marah karena adiknya, yaitu ibumu, telah disakiti oleh Bapakmu. Karena Ibumu bersama om Ais. Maafkan pak de baru bisa meluruskan sekarang. Kamu sudah dewasa, sudah saatnya tahu yang sebenarnya.'
.

Aku tidak dapat menerjemahkan gejolak yang saat ini terjadi dalam diriku. Gemuruh di dada membuat perlahan menghancurkan benteng hati yang memisahkan kasih sayang Bapak dengan kerinduanku. Aku dengarkan setiap kata-kata Bapak.
.

"Fandi, tidak ada yang merebut Bapak dari Ibumu. Tidak ada yang membencimu. Tidak ada wanita lain yang berusaha memisahkan Bapak dari anaknya." Bapak menghela napas dan menatapku dalam.
.

"Semua buat Fandi dan adik tidak pernah berubah. Bapak hanya ingin menjelaskan itu saja. Mungkin suatu saat jika Fandi sudah menjadi laki-laki dewasa akan tahu apa yang sudah Bapak lakukan terhadap pernikahan Bapak dengan Ibumu."
.

Mata Bapak berkaca-kaca dan aku merasakan getaran oleh tatapan Bapak. Perlahan getar menggema menelusuri sendi diseluruh tubuh.
Aku mengangguk dan tersenyum pada laki-laki di depanku.
Tatapan Bapak sudah berubah warna, ada sesuatu yang terpancar dari kerut wajah tuanya. Dia tersenyum mesra membalas senyumku. Mataku berkaca ketika kulihat air bening menetes dari kedua mata laki-laki di depanku. Kerinduannya telah diterima oleh kerinduanku. Sabtu ke 145 ini menjadi sabtu paling melegakan buatku.
.
.
.
.



#writing project storial
#sabtubersamabapak
.

.

Ulasan penulis :
Cerita ini sedianya untuk diikutkan writing project #sabtubersamabapak namun terlambat,
Setelah mengalami beberapa suntingan dan edit sana-sini, akhirnya penulis putuskan tetap publish melalui www.storial.co/profile/gendhuk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah