Patah Hati

Penulis : De' Gendhuk

  
Sinopsis :

Seorang laki-laki yang baru merasakan merindu dan mencintai tiba-tiba harus terhempas ke tempat yang tidak pernah terbayangkan. Hanya karena terlambat mengungkapkan perasaannya.

▪Kiky :

Hey, si ganteng ini mulai mendekatiku lagi. Sudah dua tahun aku dibiarkan dalam kesunyian. Dia memang sengaja menyembunyikan diriku. Hanya malam-malam dia berani mendekat, mengelus, meniup wajahku dan menyentuh seluruh diriku. Kemudian Dia akan menatapku, dalam. Dan kami pun larut bersama sejuta rasa.

Aku selalu tidak mampu berbuat apa-apa ketika laki-laki ganteng itu melakukannya hampir tiap malam. Hal yang paling menyebalkan pasti di penghujung pertemuan, karena Dia selau menyebut nama Aisyah.

▪Danang :

Maafkan aku selalu menjauhkanmu dari orang-orang, Ki. Jika keberadaanmu mereka ketahui, pasti mereka akan menuduhku lemah dan cengeng. Tapi aku benar-benar membutuhkanmu, Ki. Hanya kamu teman berbincang. Kamu-lah yang selalu menemani resahku.

• Philip :

Gara-gara Kiky, aku jadi ikut repot dengan perasaan hati Danang. Menemani laki-laki yang sedang galau dengan perasaannya. Untuk ukuran laki-laki, menurutku Danang memang cengeng. Lemah dan menye-menye. Aku yang selama ini menjadi saksi apa yang terjadi antara laki-laki itu dengan Kiky.

                                                       °°°

Kiky :

Hmmm ... Malam terasa semakin sepi. Suara binatang malam di luar sepertinya ikut terlelap dalam buai gelapnya.
Sudah pukul sepuluh Danang belum pulang. Biasanya kami sudah berbincang manis dan saling menatap lekat.

Pagi jam sembilan tadi Danang sudah meninggalkan rumah. Mungkin karena Bunda keluar kota, laki-laki ganteng itu sarapan di luar, langsung kuliah sampai sore. Juga makan malam di luar pastinya. 

Hey! Bukankah hari ini tanggal dua puluh? Kata Danang kemarin, Aisyah ngajak ketemuan tanggal dua puluh.

Mungkin malam ini Danang sudah berani menegaskan hubungan mereka selama ini. Kemudian Aisyah suka cita menerima cinta Danang, dan merayakan dengan dinner bersama di restoran favorite  mereka.

Yah ... pasti seperti itu. Sehingga hari-hari selanjutnya Danang sudah tidak membutuhkan aku lagi.

Sebenarnya aku bahagia jika laki-laki yang aku sayangi bahagia.  Meskipun itu berarti hari-hari akan terasa panjang dan sepi.

Waktu itu aku sempat jengkel pada Danang. Dia berani cerita tentang perasaannya hanya di hadapanku. Di depan gadis yang dicintainya, tidak berani sepatah pun ungkapan rasa cintanya terucap. Lidahnya kelu, katanya.

"Kamu laki-laki, harus berani katakan cinta pada Aisyah!" Pernah aku membentaknya.

"Tapi, kalau dia nolak?"

"Ya itu namanya resiko, Danaaaaang." Aku tidak dapat menahan rasa jengkel.

"Eh tapi, katamu Aisyah penuh perhatian, penuh kasih sayang .... Nah, Itu berarti dia juga tertarik padamu, Dan."

"Aisyah sangat memperhatikan detail kegiatanku dan selalu mengingatkan agar istirahat yang baik dan tidak melewatkan makan." Danang mengenang kebaikan Aisyah.

"Tapi aku juga perhatian balik ke Aisyah kok, harusnya dia juga tahu dong, aku juga care sama dia." Danang masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

"Danang, wanita membutuhkan kejelasan sikap dari laki-laki, bukan samar seperti yang sekarang kamu lakukan."

"Tapi ...." Danang masih bimbang.

"Ya sudah, jangan sampai kamu menyesal nanti," kataku ketus.

Perdebatan kita malam itu sangat membekas. Aku benci kamu Danang. Kata-kataku tidak Kamu dengar. Padahal hampir tiap malam kita berdua, menumpahkan rasa, meskipun aku lebih menjadi pendengar. Pendengar setiamu.

Tidak hanya perasaan untuk Aisyah yang kau sembunyikan, dari Bunda. Keberadaanku juga. Malu jika Bunda tahu sisi mellow-mu

Sempat aku berpikir bahwa kamu bukan laki-laki seutuhnya. Jangan-jangan kamu banci, Dan. Saat itu kamu pun marah pada dirimu sendiri. Kau katakan dirimu lemah, pengecut, penakut, dan sebagainya dan sebagainya. Lelah aku mengingat waktu itu.

Masing belum ada tanda-tanda kedatangan Danang. Ku intip celah sempit dari peraduan, masih gelap. Berarti Philip masih terlelap. Aku akan tunggu sampai Danang datang.

                                                            °°°

Danang :

Sudah tanggal dua puluh, aku segera SMS Aisyah.

Ais, jadi berangkat hari ini? Miss U?

Empat puluh menit berlalu. Belum ada balasan. Kenapa ya? Perasaan tiga hari yang lalu Ais masih membalas pesan-pesan dengan baik. Meskipun sudah setahun sejak Ais memberi kejutan di ulang tahunku kami berbincang tapi saat aku telepon Dia baik-baik saja. Memang terdengar lebih pendiam.

Aku tadi bergegas ke kampus karena jam sepuluh pendalaman Ilmu Hukum, takut telat. Lagian nggak ada Bunda di rumah jadi aku sarapan di kantin kampus. Jam satu langsung mata kuliah Kriminologi, materi diskusi. Aku tidak pernah melewatkan forum diskusi mata kuliah kriminologi.

Sudah puluhan kali handphone kutengok. Tidak ada satu pun pesan balasan dari Aisyah.

Mata kuliah Kriminologi, favorite-ku, sudah dimulai tapi yang melekat di otakku hanya senyum Aisyah. Kedatangan Aisyah yang akan membuat indah hari-hari ke depan. Aku gelisah, bingung dan... Hhhhhh!
Jika Aisyah berangkat pukul delapan pagi, harusnya sudah sampai. Tapi ....

Ah! Berbagai rasa berbaur sampai tidak dapat disinyalir rasa apalagi yang mampir. Aku telepon. Lagu Jogjakarta - Katon Bagaskara menemani aku menunggu pemilik telepon menerimanya. Tidak ada reaksi. Aku coba lagi. Masih sama.

Pukul dua siang, belum ada kabar dari Aisyah. Tiga puluh menit lagi mata kuliah kriminologi selesai.

Akhirnya kuliah hari ini selesai. Dosen dan beberapa mahasiswa sudah meninggalkan ruang kuliah. Aku putuskan untuk keluar mencari udara segar agar rindu ini tidak mencekik leher. Rasa lapar pun menguap entah kemana. Lagian biasanya Aisyah pasti menelpon jika sudah sampai atau jika batal datang. Tapi ... Bagaimana jika terjadi sesuatu di jalan? Ah! Rasa khawatir menggugah mual di perut.

Kaki melangkah menyusuri koridor menuju lapangan parkir di dekat taman universitas, telinga kiri kusumpal benda berkabel bernama earfone. Suara Brake mengiringi resah langkah dalam penantian.

Hampir di undakan tangga terakhir. Tiba-tiba mataku tertarik pada sosok berhijab warna biru muda dengan kerudung garis-garis warna-warni. Perpaduan warna yang indah.

Aisyah! Aku merasakan bunga yang ada di halaman parkir belakang ini bermekaran, dadaku berirama jazzy dengan soundspeaker doulbi stereo.

Aisyah ... Bibirku menyebut namanya penuh rindu. Ia baru turun dari tak ... Ah, bukan taksi. Itu mobil pribadi, dan laki-laki itu? Aisyah mencium tangan laki-laki itu, dan kecupan di kening Aisyah? Seperti ada sebuah tamparan mendarat di wajahku, panas dan pasti memerah. Hatiku juga memerah.

Mengalun lagu loving me for me milik Christina Aquilera dari handphone-ku. Foto Aisyah sedang menyuapkan es krim ke mulutku. Kenangan tahun kedua setelah kami kuliah di kota yang berbeda. Itu pertemuan kesekian, sampai tidak terhitung.

Rasa bahagia sebesar rasa kecewa menghantam dada. Aku tidak ingin menerima panggilan Aisyah. Tapi--aku ingin tahu apa yang sudah terjadi dengan Aisyah. Siapa laki-laki itu.

"Wallaikumsalam," aku menjawab salam Aisyah di ujung telepon.

"Aku di tangga menuju tempat parkir. Ada apa, Ais?" Rasa rindu dan sejuta kata indah yang sudah kutata, kabur entah kemana, tapi aku masih berusaha tenang.

"Baik. Aku segera ke sana."

Sampai di taman kampus aku lihat Aisyah sudah menunggu. Duduk di bangku di bawah pohon akasia. Tempat dimana kami pernah berencana kerja di satu perusahaan yang sama, saat Aisyah memberi kejutan ulang tahunku satu tahun yang lalu.

"Ais ...," aku menyapa lebih dulu.

"Maaf, aku terlambat, Dan."

"Nggak pa-pa," aku tersenyum hambar, tapi irama di dadaku masih mengalunkan rindu. Aku duduk di bangku taman berhadapan dengan Ais.

"Dan, aku mungkin sudah tidak bisa menemuimu lagi." Aisyah menatapku tegang. Kata-katanya terseret helaan napas beratnya.

Tiba-tiba aku merasa panik mendengar kata-kata Ais barusan.

"Kenapa, Ais? Kamu sudah tidak merasakan kangen kebersamaan kita?"
"Kamu sudah tidak mau aku sayang?"

Aku mengejar penjelasan. Aisyah menggeleng masih menatapku. Ada getar aneh karena tatapannya. Tatapan itu tidak pernah aku temui dalam pertemuan kami selama ini.

"Ais... Kamu sudah tidak sayang aku lagi?" nadaku melemah.

"Maafkan aku, Dan." Aisyah menundukkan kepala.

"Ais, tidak kah kamu tahu...?"

Tiba-tiba kata-kataku tertelan kejadian tadi ditempat parkir dimana Aisyah mencium tangan seorang laki-laki. Aku terpaku menatap mata wanita yang kucintai ini mulai berkaca-kaca. 
Aisyah kembali menatapku, kali ini tajam menusuk dada.

"Tahu apa, Dan?" pertanyaan Aisyah mengagetkan aku.

Ayo Danang, kamu harus katakan, ayo. Hari ini kamu harus tahu apa yang terjadi diantara kalian.

"Aku mencintaimu, Ais."

Dengan sisa kekuatan yang ada, akhirnya kata-kata itu meluncur. Meski ada sedikit rasa lega, namun aku sadar kata-kata itu keluar di tempat dan di waktu yang salah.

Aisyah hanya terdiam. Raut mendung mengundang sebutir air  yang sedari tadi ditahan agar tidak mengalir di pipi. Itulah jawabannya. Aku mendekat mengusap air mata gadis pujaanku.

"Kenapa, Ais?"

Aku angkat dagu Aisyah, dan kami saling memandang. Tatapan gadisku meredup.

"Dan, aku ingin memberikan ini." Aisyah menyodorkan kertas segi empat warna pink dengan pita keemasan membalut ujungnya. Undangan.

"Kau...," suaraku bergetar membaca undangan pernikahan itu.

Aisyah mengangguk sambil mengusap sisa air matanya.

Philip :

Aaah... Akhirnya Danang membangunkan aku. Remang-remang suasana kamar. Hei... Kenapa wajahnya kusut? Tas punggung dia lempar seenaknya, tidak peduli jatuh di sebelah mana. Tubuhnya dihempas ke tempat tidur tanpa melepas sepatu. Kedua tangan dilipat menjadi bantal kepalanya. Matanya menerawang mengais langit-langit kamar.

Kenapa listrik tidak dinyalakannya? Aku tidak mampu menerangi kamar seluas ini. Dalam temaram, mungkin Danang ingin menyembunyikan suasana hatinya. Ataukah malam ini dia ingin segera tidur?

Aku juga sudah terlalu lama terlelap, biasanya pukul sepuluh malam Danang sudah membangunkan. Tapi malam ini sudah pukul satu. Gila. Kemana saja dia sampai selarut ini? Oh pagi. Ini sudah jam 1 pagi. Sudah berganti hari.

Kemarin aku dengar perbincangan Kiky dengan Danang, tentang kedatangan Aisyah. Mungkinkah jalan-jalan dengan Aisyah? Tapi sampai jam satu? Rasanya tidak mungkin.
Ada apa dengan Danang?

Danang berbalik, menelungkupkan badan sambil meraih bantal untuk menutup penuh kepalanya dari belakang. Aku lirik jam di mejanya, sudah pukul tiga. Danang aku lihat sudah tidak bergerak. Syukur Dia bisa memejamkan mata.

Suara adzan subuh pukul 4.15 wib membangunkan Danang. Lumayan dia bisa memejamkan mata meski dalam tidurnya tadi terdengar igauannya. Gelisah dalam tidur.

Danang duduk di tepi tempat tidur sejenak, dan pikiran suntuknya masih tergambar jelas di wajah. Membungkuk melepas sepatu.

Melangkah gontai Danang ke kamar mandi. Bunyi gemericik air tidak terdengar lama, mungkin Danang hanya wudlu. Benar, dari kamar mandi wajah dan rambutnya terlihat basah.

Selesai shalat, aku lihat Danang mulai mendekati peraduan Kiky, mulai mengangkat Kiky dan diletakkan dihadapannya. Tanpa mengusap Kiky. Mengetahui rasa penasaranku, tiba-tiba tangan kiri Danang menggapai kepalaku, di dekatkan ke wajah Kiky.

Pelan Danang mulai menyentuh Kiky bagian dalam. Membukanya beberapa kali. Mencari batas yang selalu dia selipkan. Aku menahan napas menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Yah, Danang mulai menulis. Kiky menyimak dalam diam. Ekspresi Kiky dengan putih bercorak warna dilengkapi gambar aneka tokoh kartun di lembar-lembarnya, hanya terpaku. Itulah rasa sedih Kiky yang kutangkap. Masih terlihat keakraban dalam diam mereka. Wajah Danang mengeras menumpahkan semua rasa di lembaran-lembaran Kiky.

"Hei, Kiky... Jangan diam. Tanyakan Danang dari mana."

Kiky masih terdiam serius menanggapi perasaan Danang. Aku gelisah menanti jawaban Kiky.

"Philip, cinta Danang pada Aisyah tidak terbalas."

"Jadi...," aku sudah menduga tapi tetap saja aku kaget.

"Ki, kemana dia melepaskan kekecewaan?"

"Hanya nongkrong ditempat pertama kali Dia kunjungi bersama Aisyah. Pantai."

"Oh...," nyalaku meredup menyelami kesedihan laki-laki yang sudah sekian tahun aku temani ini.

Aku lihat Danang merogoh saku celananya. Handphone-nya bergetar. Pesan singkat masuk.

"Kiky, ada SMS ya?"

"Hemmm...."

"Dari mana?" Aku tidak sabar ingin tahu.

"Apa isi pesan itu?" Aku semakin tidak sabar menunggu jawaban Kiky. Sebentar lagi pasti Danang memberitahu Kiky.

"Sebentar, dia lagi nulis, komplit dengan tanggal, jam, menit dan detiknya."

Dan, selama ini aku menyayangimu bahkan mencintaimu, tapi aku merasa aneh dengan perasaanku itu. Kau tidak pernah mengatakan isi hatimu, aku menjadi ragu dengan kedekatan kita. Apakah kau mencintaiku, atau hanya menyayangiku sebatas sahabat saja. Dan, hari ini kau baru mengatakan perasaan cintamu, tapi semua sudah terlambat. Maafkan aku.

"Benar apa yang kamu katakan waktu itu, Ki," komentarku atas SMS tadi.

"Yaaah... Mau gimana lagi?" Kiky pun enggan mengomentari lebih jauh, tapi tetap saja dia sedih.

Danang konsentrasi penuh pada lembaran-lembaran Kiky, beruntung Bunda keluar kota kemarin, jadi subuh tidak ada yang ketuk-ketuk pintu meyakinkan Danang sudah bangun.

Semua selesai pukul 5.18 wib. Danang menghela napas. Menutup tubuh Kiky, menciumnya. Sebelum mengembalikan tubuh Kiky ke peraduan, masuk ke dalam laci meja belajar. Danang sekali lagi mendekap Kiky di dadanya. Entah kapan Kiky akan dikeluarkan lagi untuk menerima celoteh selanjutnya.

Danang berpaling ke arahku, kemudian berdiri mencari saklar di dekat pintu. Listrik kamar menyala terang. Danang mendekat, menepukkan jari telunjuk dan jari tengah ke kepalaku. Pelan-pelan nyalaku meredup. Kemudian padam.

******

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah