Chapter ~ Akhir Ambisi RM. Sastro Sumitro (www.Storial.Co/book/ambisi-sesat)

Hai Meskipun RM. Sastro Sumitro sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit, bukan berarti dirinya sudah sembuh total. Seminggu sekali dia tetap harus memeriksakan perkembangan kesehatannya.

Sebuah kursi roda masih diperlukan menopang kegiatan tubuhnya yang belum siap bener untuk memulai aktifitas seperti semula. Sekembalinya dari sakit yang panjang, banyak yang berbeda ada diri RM. Sastro Sumitro. Selain perubahan pada tubuhnya, Kades Kembang Jati itu terlihat lebih pendiam.

Cermin di kamarnya telah memberitahu tentang lemak-lemak yang hampir seluruhnya menyingkir dari badan yang padat berisi milik Kades muda itu. Tubuh tinggi tegap itu sekarang sudah kerempeng. Cekungan di mata dan pipi yang terlihat sudah tipis itu menandakan sakit yang dialami RM. Sastro Sumitro menyerang organ dalam tubuh jangkungnya.

❇❇❇

Sudah beberapa pagi Reina perhatikan suaminya. Seperti pagi ini, masih saja Kades muda itu kedapatan senyum-senyum sendiri. Pagi sebelum pukul 8.30 wib di atas kursi roda, sambil menyerahkan seluruh tubuhnya untuk dijilat matahari, RM. Sastro Sumitro sebentar tersenyum, sebentar serius. Bukan senam wajah.

Raut muka yang cerah dan berbinar dari Kades Kembang Jati itu sedang menggambarkan adanya percakapan di benak tentang sesuatu yang indah. Kadang binar itu meredup, mungkin sisi lain di benaknya memperingatkan bahwa hanya ada angan di sana.

Reina, memperhatikan dari jauh dengan rasa iba, meski tidak dipungkiri ada sedikit rasa syukur dengan sakit sang suami. Istri Kades Kembang Jati itu berharap setelah sakit yang dialami, akan membuat suaminya berhenti menguji kesabaran istri dan mengakhiri menyakiti perasaan.

Selesai ritual dengan mentari paginya, Reina mendorong kursi roda suaminya masuk ke rumah. RM. Sastro Sumitro cengar-cengir sendiri dan sedikit rona merah di parasnya seakan dia tersipu oleh sesuatu. Jelas sekali jika Kades Kembang Jati itu sedang asyik bercakap dengan dirinya sendiri. Matanya menerawang entah ke belahan bumi bagian mana, dan hal itu membuat Reina takut.

Kenapa laki-laki itu sekarang lebih sering asyik dengan pikiran dan angan-angannya sendiri? Apakah yang akan terjadi dengan kondisi psikis suami Reina?

"Pah, ada apa kok senyum-senyum dari tadi?" berkali-kali pertanyaan Reina itu tidak mendapat jawaban yang jelas.

"Heheheeee...," jawaban suaminya membuat bulu kuduk meremang.

"Pah... Kenapa?"

"Nggak papa, Mah." Kemudian menyeringai.

❇❇❇

Seorang wanita cantik berhijab berkulit hitam manis, tidak sejangkung Reina memperkenalkan diri bernama Riri datang bersama Eko. Ada getar halus di hati istri resmi Kades Kembang Jati yang sulit diterjemahkan. Reina meraba keberadaan wanita cantik di sampingnya. Inikah istri siri suamiku? Kepekaan perasaan wanita untuk masalah yang satu ini memang tidak diragukan lagi.

"Assalamualaikum, Pak Kades."  Eko dan Riri kaget melihat sosok RM. Sastro Sumitro yang sudah jauh berubah.

Terakhir Eko menengok di rumah sakit, kondisi RM. Sastro Sumitro belum separah ini. Wajah Eko langsung mengapas. Angannya terseret  pada ombak tiga meter di laut kidul, buaya putih, Kyai Kelabang, Pak Kromo, Padepokan Rinjani, istri Pak Kromo... Semua nama itu telah dia catat sebagai tokoh-tokoh mistis dan sekarang sedang berkelebat di benaknya. Eko bergidik. Untung dia baik-baik saja.

"Hey, kamu siapa?" suara RM. Sastro Sumitro membuyarkan lamunan Eko. Mata Kades Kembang Jati berbinar melihat wanita cantik berhijab, dia mengabaikan salam itu.

Istri siri Kades Kembang Jati memandang wanita cantik di sampingnya. Reina mengangguk mempersilahkan tamu wanitanya duduk.

"Saya Eko, Pak Raden." Eko yang langsung menyahut.

"Saya tinggal ke belakang sebentar." dengan membawa riak kecil di hati, Reina meninggalkan kedua tamunya.

"Aku Riri, Kangmas." Riri yang sedari tadi tertegun mendekat, sorot mata  iba melihat keadaan suami sirinya yang jauh berbeda. Sudah tidak gagah lagi.

Kades muda itu memandang dua orang tamu di depannya, tersenyum dingin dan aneh. Sorot matanya tidak fokus pada lawan bicaranya.  Mengambang, meloncat-loncat dari satu titik ke titik yang lain demikian cepat. Gelisah dan marah.

"Bukan Inayah." RM. Sastro Sumitro mendengus. Eko tersentak melihat ekspresi wajah Pak Radennya.

"Kenapa, Kangmas?" Riri ingin menegaskan bahwa dia tidak salah dengar dengan apa yang barusan diucapkan Kades itu.

"Heheee...kamu bukan Inayah kan?"

Eko merinding. Kenapa jadi Pak Raden yang mengharapakan Inayah? Pak Raden yang sekarang tergila-gila pada Inayah. Heh?! Semua usaha itu telah berbalik menimpa Pak Raden. Astaghfirullahalazim.

Riri merasa ngeri mendapati reaksi RM. Sastro Sumitro. Istri siri Kades itu memandangi sosok di depannya. Riri mengernyitkan keningnya.

Kemana sosok yang dulu selalu gagah dalam bicara dan bertindak? Apa yang sebenarnya sudah dialami suami sirinya? Siapa Inayah?

Tatapan Riri beralih ke arah Eko. 

****

Sudah lima belas hari RM. Sastro Sumitro berada di rumah. Rencananya tiga hari lagi dia harus berangkat kerja. Kondisi fisik Kades Kembang Jati itu sebenarnya belum sehat benar. Tapi memang semuanya harus dilatih untuk memulai tugasnya sebagai kepala desa.

Reina masih bingung dengan kondisi psikis suaminya.Tatapan kosong sering dia temui. Istri RM. Sastro Sumitro tidak mengetahui lamunan suaminya. Kades muda itu selalu bermain-main dengan bayangan senyum Inayah.

Hari ini pun RM. Sastro Sumitro masih mengira tamu wanita yang datang itu Inayah. Sedikit saja suara wanita mampir di telinganya, pikirannya langsung Inayah. Untuk itu Reina harus berbesar hati mengibur dan menjelaskan pelan-pelan pada suaminya.

"Bukan, Pah..." sambil membenahi selimut Reina mengusap kening suaminya lembut.

"Papah menunggu siapa?"

"Inayah..." lirih bibir laki-laki itu menyebut nama janda muda di desa sebelah.

Perasaan marah, kasihan, dan cemburu meremas rasa cinta Reisa pada sang suami. Perih menghimpit kasih dan kesabarannya. Harapan akan pelajaran bagi sakit suaminya ternyata tidak terkabul. Disaat laki-laki itu terkapar masih saja menyebut nama wanita lain.

****

"Assalamualaikum, Pak Kades..." Suara lembut itu membuat mata RM. Sastro Sumitro terbelalak. Laki-laki itu segera bangun dari tidurnya. Senyum semanis coklat yang pernah dia kirim untuk anak Inayah, merekah di samping tempat tidurnya.

"Inayah?!" teriakan tertahan demi dilihatnya Reina masih berdiri di ambang pintu kamar. "Eh...wallaikumsalam."

Dengan wajah duka Reina pergi meninggalkan suaminya bersama Inayah di kamar. Inayah menebar senyum duduk di tepi tempat tidur.

"Makan dulu, Pak Kades..." RM. Sastro Sumitro mengangguk berkali-kali dengan durasi sepersekian detik, hati berbunga, dan sejuta warna tiba-tiba sudah bertebaran di kamarnya.

"Sebentar aku suapi ya?" Inayah melangkah mendekat ke jendela dan membukanya lebar-lebar.

"Matahari pagi, baik untuk kesehatan tulang." Inayah tersenyum mesra.

Sarapan bubur ayam bersama Inayah, membuat nafsu makan Kades Kembang Jati melesat naik. Suap demi suap diresapi benar oleh Raden Mas Sastro Sumitro, tatapannya tak dibiarkan lepas dari wajah Inayah.

Senyum kedua insan beradu diiringi degub jantung Kades muda itu. Pelan ruas jemari tangan kiri keduanya saling menggenggam, tubuh RM. Sastro Sumitro seakan melayang, ringan bangkit dari tempat tidurnya dan duduk berhadapan dengan Inayah.

Tangan kanan Inayah menyentuh ujung bibir RM. Sastro Sumitro dengan tissu. Tangan kanan laki-laki itu mengejar menghentikan aksi tangan Inayah, digenggamnya kedua tangan wanita pemilik senyum semanis coklat toblerone itu. Diciumnya kuat-kuat. Direngkuhnya tubuh mungil Inayah. Laki-laki itu memejamkan mata, menikmati pelukannya pada tubuh Inayah. Tersenyum penuh bahagia.

Tiba-tiba keningnya terasa hangat, seperti ada cahaya putih menerobos kamarnya. Matanya berusaha tetap terpejam sambil menahan rasa hangat yang mulai terasa menyengat wajah. Sentuhan dingin menepuk kedua pipinya.

"Pah... Bangun," suara Reina!

RM. Sastro Sumitro membuka matanya, sudah terlalu siang ketika jendela terbuka dan sinar matahari menyiram wajahnya. Tersadar laki-laki itu mendapati dirinya memeluk guling dengan erat, selimut dan batal yang lain berserak di lantai.

Oh...mimpi.

RM. Sastro Sumitro memimpikan Inayah. Perasaan yang satu itu ternyata sudah merasuk dalam hati.

****

Mimpi kehadiran Inayah terjadi berulang, membuat Kades Kembang Jati tidak pernah tenang dalam tidurnya. Gelisah dan rintihan lahir karena perasaan terhadap Inayah yang dipendamnya selama ini.

Mengapa aku yang tidak bisa melepas bayangan Inayah? Kenapa senyum wanita itu menggelayut di pelupuk mata? Kenapa dada berdebar ketika kusebut namanya?

Kesadaran yang timbul tenggelam menguasai benak dan angan Kades muda itu.

Sore mulai merambah, antara mengantuk dengan mata susah terpejam, RM. Sastro Sumitro merasakan kehadiran seseorang berjubah putih dengan blangkon bermondol kecil di kepala bagian belakang.

"Assalamualaikum, Aden." Suara berat seorang laki-laki tua yang memanggil Aden pada RM. Sastro Sumitro. Pelan-pelan ingatan Kades muda itu menata di tempatnya. Remang-remang pandangannya berkabut akan kehadiran sosok berjubah dengan blangkon di kepala.

Perlahan kesadaran RM. Sastrto Sumitro menyapu kabut yang menghalangi. Sosok di depannya sudah jelas berdiri satu meter dari ranjang Kades muda itu. Hey! Laki-laki tua berjubah dengan blangkon itu mirip--- yah, mirip kakek penjual jeruk di taman dekat penginapan Pak Kromo.

"Wallaikumsalamm, Aki..." Kades muda itu langsung mengangkat punggungnya ke sandaran tempat tidur di belakangnya.

"Aden harus semeleh."

"Memang kenapa, Aki?!" tiba-tiba watak yang satu itu muncul kembali dari Kades Kembang Jati.

"Wanita itu tidak bisa Aden sentuh."

"Tapi, Ki..." belum selesai RM. Sastro Sumitro bicara, sosok yang dipanggilnya Aki tadi sudah menghilang. Tidak ada siapapun di kamarnya. Sepi.

Kades muda merasa gemetar mengingat kejadian barusan, dia raih gelas di meja kecil di dekat tempat tidurnya. Gelas penuh air putih  langsung ditenggak habis. Tubuhnya masih lemah, tetapi ada yang mulai membakar hatinya.

Apa maksud Aki tadi? Apakah aku disuruh memjauhi Inayah? Tidak! Aku sangat menginginkan wanita itu. Wajah Inayah... Senyumnya... Aku benar-benar tidak bisa menghapus semua itu dari pikiran.

Ambisi RM. Sastro Sumitro tidak dapat menyakiti Inayah. Ayat kursi dan surat yasin yang selalu Inayah kumandangkan dalam sepertiga malamnya telah merubah ambisi Kades muda itu menjadi rasa kasih sayang. Pembayaran dari kekuatan hitam yang digunakan untuk merusak hati dan pikiran Inayah telah memantul balik menjadi rasa welas asih dan membuat RM. Sastro Sumitro malah kesengsem esem Inayah.

****

Malam kembali membawa sosok Inayah dan senyumnya dalam mimpi-mimpi Kades Kembang Jati. Kali ini suara RM. Sastro Sumitro membangunkan Reina. Wanita itu bergegas menuju kamar suaminya.

"Pah...Pah..." Reina mengguncang tubuh suaminya.

"Inayah... Inayah..." Reina menepuk kedua pipi suaminya.

"Inayah... Kemari sayang..."

"Pah!" akhirnya tamparan mendarat di pipi RM. Sastro Sumitro.

Namun semua usaha Reina tidak dapat menyadarkan suaminya. Dia ambil air putih dari gelas dengan memejamkan mata, Reina mengucap bismillahirrohmanirrohim, mengusapkan air putih ke wajah suaminya. Sejenak sang suami terdiam, tidak ada rintihan ataupun gigauan tentang Inayah.

Reina tinggalkan kamar suaminya, dia ambil air wudlu. Kembali ke kamar itu dengan sajadah dan mukena di tangannya. Namun dilihatnya  sang suami sudah mulai menggigau lagi. Pilu dan lara Reina menggelar sajadah, hati dia pasrahkan dengan doa dalam balutan mukena, memohon ampunan untuk suaminya.

****

Sehebat apapun seorang paranormal yang dipilih RM. Sastro Sumitro, tidak dapat menumbangkan seorang Inayah. Tidak ada satu helai rambut pun yang tersentuh. Inayah aman dan baik-baik saja. Wanita itu sedang khusyuk berdoa di makam suaminya.

Seorang laki-laki tua berjubah putih dengan blangkon datang malam-malam ke rumah RM. Sastro Sumitro. Pandangan matanya sayu merasakan gejolak Kades Kembang Jati. Reina kaget dengan kehadiran laki-laki berjubah dan sedikit takut, meskipun reaksi suaminya menunjukkan bahwa mereka sudah saling kenal. 

"Aki...," RM. Sastro Sumitro berusaha berdiri dari kursi rodanya, tapi dicegah oleh Aki.

"Tolong ambilkan air putih, Cah Ayu." Aki menyuruh Reina.

"Aki...," RM. Sastro Sumitro belum mengerti maksud Aki.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Aki?" Kades muda itu tidak paham dengan apa yang terjadi selama ini.

"Semua perbuatan kita harus dipertanggungjawabkan oleh kita sendiri. Begitupun dengan perbuatan Aden."

"Maksud Aki apa?"

"Aki hanya bisa membantu Aden meninggalkan kursi roda itu."

Gelas berisi air putih di tangan Reina terjatuh, ketika melihat sinar putih membungkus seluruh tubuh suaminya. Pelan-pelan kursi roda menjauh dari tubuh RM. Sastro Sumitro yang sudah berdiri sigap, membuat mata Reina membulat. Sang Aki memegang ubun-ubun suaminya sambil memejamkan mata.

RM. Sastro Sumitro sudah berdiri seperti sedia kala, sudah tidak terlihat tubuh lunglai yang lemas. Aki mengambil gelas di dekat tempat tidur Kades muda itu. Membawa gelas itu berhenti sebentar di depan mulutnya, kemudian diberikan pada Reina yang masih bergeming di dekat ranjang suaminya.

"Cah Ayu, minum air ini, jangan lupa bismillah."

Reina tertidur setelah minum air putih itu. RM. Sastro Sumitro panik sambil memandang Aki.

"Jangan khawatir, sebentar lagi istri Aden akan bangun dan tidak ingat apa yang dilihatnya tadi."

Wajah Kades muda itu terlihat lega.

"Aki pulang dulu, Aden harus berusaha menolak mimpi-mimpi indah itu. Mimpi Aden mburu kidang lumayu." Sejenak Aki memandang Reina dengan khusyuk.

"Istri Aden wanita baik. Dia yang bisa menyembuhkan hati Aden."

Malam kembali merapatkan selimutnya, masih setia memeluk pekatnya. Malam kembali hening, dan Aki sudah tidak ada di kamar RM. Sastro Sumitro.

=

Tidak ada kekuatan hebat manapun yang dapat mengalahkan kekuatan Tuhanmu. 

*ini adalah chapter terakhir dari buku Ambisi Sesat yang telah terbit di Storial.co.
Sila dibaca dan berikan kritik dan sarannya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Puisi Terbit di Storial.co Karya Gendhuk Gandhes

Resensi Buku Hitam Putih karya Andriyana

Biografi PJ Yah Dyah